Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Post Mortem WandaVision: Pathos dan Korban Ekspektasi Fans
7 Maret 2021 13:23 WIB
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - WandaVision berakhir divisive. Itu tidak bisa dipungkiri. Beberapa menit setelah serial yang disutradarai Matt Shakman itu tamat, fans terpecah belah menjadi dua kubu. Satu kubu menganggap WandaVision sebagai serial televisi yang solid, mengandung pathos yang mengajak penonton merasakan langsung penderitaan Wanda Maximoff aka Scarlet Witch (Elizabeth Olsen).
ADVERTISEMENT
Kubu lainnya menganggap WandaVision sebagai wasted opportunity. Sebagai serial yang mendahului film Dr. Strange and The Multiverse of Madness, beberapa menganggap Wandavision adalah kisah yang tepat untuk memperkenalkan konsep multi semesta. Bagaimana tidak, di komik, Wanda terkenal akan kemampuan melipat realita sesuka hatinya.
Kami di PSR sebenarnya jarang, bahkan nyaris tidak pernah, mereview serial. Kami ingin fokus ke film. Namun, mengingat WandaVision adalah satu bagian lagi dari arsitektur transmedia storyelling Marvel Studios, di mana melengkapi lini filmnya, sulit untuk mengabaikannya.
Di satu sisi, kami paham kenapa WandaVision bisa terasa seperti Marvel Studios mengacungkan jari tengah ke para fans dan beberapa kanal pembuat teori. Sebagian besar teori yang dikembangkan terpatahkan, memberi kesan Marvel tidak mendengarkan diskursus yang berkembang di komunitas. Mulai dari teori multiverse, kehadiran Dr. Strange, hingga Mephisto, tidak ada yang benar-benar terwujud.
ADVERTISEMENT
Kami condong ke sisi satunya. Wandavision adalah sebuah serial yang solid dengan konsep yang tidak berlebihan untuk dikatakan jenius. Presentasi ala sitkom menjadi fasad atas tragedi tentang rasa kehilangan, gangguan kejiwaan, dan zona nyaman. WandaVision sekali lagi menunjukkan bagaimana Marvel Studios adalah well-oiled machine, storyteller yang berani berksperimen dengan konsep-konsep baru untuk menghindari kejenuhan.
Previously on WandaVision!
Dibagi menjadi sembilan episode dengan durasi masing-masing kurang lebih 40 menit, WandaVision berkisah tentang kehidupan Wanda dan Vision pasca "menikah". Usai kemenangan (dan kehilangan) dalam perang infiniti, keduanya mencari kehidupan damai dengan pindah ke kawasan suburban bernama Westview di New Jersey. Tapi, ada yang aneh dengan perayaan pernikahan mereka.
Perayaan "Just Married" Wanda dan Vision ditampilkan bak sitkom hitam putih. Dengan aspect ratio 4:3 yang "kotak" dan pengambilan gambar satu kamera, perayaan mereka lebih seperti episode mingguan Dick Van Dyke Show atau I Love Lucy di tahun 50an. Padahal, mereka hidup di setting modern.
ADVERTISEMENT
Hari pertama menjadi pasangan suami istri, mereka kedatangan tetangga baru. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Agnes (Kathryn Hahn). Anehnya, sebagai tetangga, Agnes tahu terlalu banyak soal Wanda. Ia juga tidak kaget dengan kemampuan "sihir" Wanda. Namun, masa-masa Honeymoon membuat Wanda abai dengan keanehan-anehan tersebut, mencoba menikmati status barunya sebagai Mrs. Vision.
Kehidupannya berkembang ke arah yang liar dari sana. Keanehan demi keanehan muncul. Satiap satu hari, tampilan dunia Wanda bertambah satu dekade. Dari presentasi ala sitkom 50an menjadi 60an, 70an, 80an, dan seterusnya hingga ke setting modern. Lebih anehnya lagi, Wanda sampai memiliki dua anak kembar, Tommy dan Billy, yang seharusnya mustahil dengan status Vision sebagai synthezoid weapon.
Fakta baru terungkap ketika Wanda menghempaskan tetangganya, Geraldine, dari Westview. Ketika Wanda bercerita tentang saudara kembarnya, Geraldine secara refleks menyinggung Pietro (Aaron Johnson). Sebagaimana diketahui, Pietro adalah saudara kembar Wanda yang tewas dalam event Battle of Sokovia (Avengers: Age of Ultron). Wanda tidak pernah menceritakan hal itu kepada siapapun, membuatnya mempertanyakan siapa sesungguhnya Geraldine.
ADVERTISEMENT
Ternyata, Geraldine sejatinya bernama Monica Rambeau (Teyonah Parris), anak dari Maria Rambeau yang merupakan wingman Carole Danvers aka Captain Marvel. Ketika menyelidiki kabar orang hilang di Westview, ia mendapati WestView dikurung oleh perisai energi, HEX. Ketika ia mencoba menyentuhnya, ia malah tersedot masuk ke dalam dunia lain tersebut dan terjebak dalam satu role baru bernama Geraldine.
Dunia baru itu diciptakan Wanda. Usai mendapati Vision dibongkar oleh agensi bernama SWORD (Sentient Weapon Oberservation and Response Division), ia mengalami mental breakdown. Kesedihannya berujung luapan energi yang melahap Westview dan mengubahnya menjadi pocket universe dengan referensi dunia-dunia sitkom kesukaan Wanda. Itulah kenapa tampilan dunia Wanda terus berubah.
Tak hanya mengubah Westview, Wanda bahkan menciptakan Vision baru di luar kendalinya, hanya bermodal keinginan untuk bertemu kembali dengannya. Agnes, yang belakangan terungap sebagai penyihir bernama Agatha Harkness, tertarik dengan "ledakan" Wanda tersebut. Datang ke Westview, menyamar sebagai tetangga yang kepo, ia menyakini Wanda adalah penyihir dengan potensi kekuatan tiada batas.
ADVERTISEMENT
Hero atau Villain? Itulah Pertanyaannya
Kesempatan untuk memulai hidup baru dan damai dengan Vision, bahkan hingga memiliki anak, membuat Wanda "buta". Ia tidak menyadari bahwa warga Westview telah ia paksa menjadi bagian dari dunia yang ia anggap ideal. Mereka terpaksa menjalani peran-peran spesifik, yang ditetapkan Wanda lewat alam bawah sadarnya, untuk memastikan WestView bebas dari konflik. Jika kata "Cut!" belum diteriakkan, maka mereka akan selamanya terjebak dalam role tersebut.
Hanya Vision dan Agatha yang menyadari problem tersebut. Mendapati sejumlah clue mulai dari transmisi dunia nyata hingga warga yang terjebak dalam loop, Vision sampai pada satu kesimpulan bahwa Wanda telah menyandera warga Westview. Ketika Vision mencoba memperingatkan dunia luar, Wanda memperluas HEX untuk memastikan Vision tetap berada di dalam.
ADVERTISEMENT
WandaVision adalah tantangan kepada fans untuk mempelajari kembali karakter Wanda, mempertanyakan apakah sebenarnya dia hero atau villain, pahlawan atau ancaman. Terkadang, perbedaan kedua begitu tipis dengan perspektif menjadi pembedanya. Bisa juga orang-orang jahat itu hanyalah orang baik yang tersakiti (Uhuk!).
Benih konflik antara pahlawan atau ancaman itu sudah lama ditanam Marvel Studios. Kemunculan pertama Wanda di jagat sinema Marvel adalah sebagai villain. Di Avengers: Age of Ultron, ia adalah subjek eksperimen mind stone Hydra yang bekerjasama dengan Ultron untuk mengincar Tony Stark aka Iron Man.
Menurut Wanda, Tony adalah penyebab kematian orang tuanya. Seperti diperlihatkan di penultimate episode WandaVision, rumah Wanda hancur diterjang misil Jericho buatan Tony. Orang tuanya tewas tertimpa reruntuhan. Sejak saat itu, Wanda dan Pietro bersumpah untuk balas dendam kepada Tony.
ADVERTISEMENT
Age of Ultron berakhir dengan tewasnya Pietro dan Wanda berpindah ke kubu Avengers setelah mendapati Ultron lah ancaman sesungguhnya. Namun, benih konflik terus tumbuh dengan Wanda kemudian bertanggungjawab atas ledakan di Lagos (Civil War). Belasan orang tewas karena dia. Kesalahan Wanda, walau tidak disengaja, kemudian memicu Sokovia Accord yang memecah Avengers menjadi dua kubu.
Kematian Vision di Avengers: Infinity War, Dua kali di depan Wanda, menjadi puncaknya. Di momen itu, Wanda telah kehilangan semua orang yang disayanginya, orang tua, Pietro, dan Vision. Dalam posisi tersebut, ia sudah nothing to lose. Jika memang ada cara untuk mengembalikan mereka, maka Wanda akan melakukannya dengan sukarela, apapun resikonya.
Di WandaVision, ketika dirinya tanpa sengaja berhasil menghidupkan Vision, pada titik itu Wanda sudah tidak peduli lagi terhadap hal lainnya. Wanda tidak mau kehilangan Vision lagi, apalagi sekarang keduanya memiliki anak. Ia mengabaikan atau memilih abai terhadap kehidupan warga WestView yang ia sandera. Tak mengherankan, ketika para warga Westview akhirnya bebas, mereka bersikap hostile terhadap Wanda.
ADVERTISEMENT
"Apapun yang kulakukan, hal itu tidak akan mengubah cara mereka memandangku," ujar Wanda kepada Monica.
Monica kemudian mencoba menghiburnya dengan mengatakan Wanda sudah berkorban besar untuk mereka. Monica sepertinya lupa (atau tidak tahu?) bahwa Wanda lebih dulu menyandera para warga Westview. Bahkan, di saat-saat terakhir, Wanda masih mencoba mempertahankan mereka dengan janji hidup damai walau tanpa free will sedikitpun. Wanda memenangkan ego sebelum sadar ia telah menjadi diktator selama ini.
Dalam banyak hal, Wanda sebenarnya lebih villain dibanding Agatha. Familiarity, kedekatan dengan perjalanan Wanda selama ini membuat mudah bias terhadap karakternya. Apalagi, Wanda berkali-kali menjadi korban. Tak ada cara yang lebih mudah untuk memicu simpati selain menempatkan diri sebagai victim.
ADVERTISEMENT
Di permukaan, Agatha jelas terlihat lebih sinister dibanding Wanda. Selain karakternya penuh misteri, ia juga dikesankan telah memanipulasi Wanda. Hal itu diperburuk dengan musical number Agatha All Along yang secara lirikal memposisikannya sebagai manipulator. Namun, dari sekian warga Westview, hanya satu yang ia manipulasi, Ralph Bohner alias Pietro kw (Evan Peters). Sisanya? Wanda All Along.
Agatha, jika ditilik kembali, adalah investigator. Ia hadir untuk menyelidiki Wanda, tertarik dengan Chaos Magic yang ia miliki. Melihat betapa rapuhnya Wanda dan sejauh apa ia memanipulasi WestView, Agatha sadar Wanda adalah bom nuklir berjalan. Oleh karenanya, menurut Agatha, lebih baik dirinya yang memegang Chaos Magic dibanding Wanda yang tidak tahu harus berbuat apa dengannya.
ADVERTISEMENT
"Kelemahanmu bukan kekuatan, tetapi kurangnya pengetahuan...Aku bisa memperbaiki apa yang kurang dari sihirmu," ujar Agatha, mencoba membujuk Wanda untuk memindahkan gelar Scarlet Witch kepadanya.
Wanda sudah membuat banyak keputusan yang patut dipertanyakan. Pertanyaan selanjutnya, apakah ia belajar dari kesalahannya. Belajar sama dengan menambah pengetahuan dan, seperti kata Agatha, hal itu lah yang Wanda perlukan. Wanda mungkin sudah menjadi figur terkuat Marvel Cinematic Universe, lebih kuat dibanding sorcerer supreme sekalipun. Namun, hal itu bukan berarti ia tak perlu belajar.
Korban Ekspektasi Fans?
Kurang lebih setahun Marvel Studios meninggalkan para fansnya tanpa produk mereka satupun. Pandemi mengubah segalanya, memaksa Marvel Studios dan Walt Disney Company untuk memikirkan ulang strategi bisnisnya dan perilisan produknya. Salah-salah, kerugian yang menanti. Kasus Mulan jadi pelajaran mahal untuk Walt Disney.
ADVERTISEMENT
WandaVision menjadi produk Marvel Studios pertama sejak vakum selama 2020 lalu. Bagi kita yang terbiasa dimanjakan 2-3 film Marvel Studios per tahun, WandaVision jelas menjadi pemuas dahaga di masa-masa pandemi. Tak ayal, banyak yang berharap WandaVision akan kembali membawa fans ke citra MCU yang selama ini dikenal.
Selama ini, kebanyakan produk Marvel Studios berupa film panjang. Ekspektasi dan teori dibangun bermodal 2-3 trailer yang dirilis sebelum film tayang. WandaVision adalah mini series. Setiap episode rilis dengan jeda sepekan. Dengan kata lain, fans dan theorist memiliki lebih banyak ruang, waktu, dan materi untuk membangun ekspektasi dan menyusun teori.
Jeda yang lebih panjang membuat teori lebih liar berkembang. Satu fans bisa menerima berbagai teori, baik dengan banyak ataupun sedikit kesamaan. Dampak lanjutannya, ekspektasi pun semakin tinggi. Fans menjadi berharap-harap teori-teori itu ada yang terwujud.
ADVERTISEMENT
Dari sekian banyak teori, multiverse adalah salah satu yang terpopuler. Dengan House of M menjadi salah satu kisah Wanda yang paling accessible ke penggemar baru, mayoritas menebak kisah itulah yang akan jadi acuan, berharap WandaVision menjadi jembatan antara MCU dengan semesta yang lebih besar. Apalagi, Evan Peters, pemeran Quicksilver di X-Men Universe, direkrut oleh Marvel Studios. Semua clue seperti mengarah ke terwujudnya multiverse.
Ekspektasi dan teori tak terjawab. Sejumlah fans memaki, menyebut WandaVision sebagai wasted opportunity. Beberapa bahkan melampiaskannya ke kanal-kanal breakdown atau teori, menyindir para theorist-nya bahwa teori-teori mereka meleset karena terlalu liar. Apa yang seharusnya menjadi diskusi asyik malah menjadi toxic.
Tidak ada yang salah dengan teori. Harus diakui, teori membuat diskusi terus berjalan, membuat kita menanti apa langkah selanjutnya dari Marvel Studios. Namun, fans perlu ingat bahwa para storyteller Marvel tidak bekerja berdasarkan teori fans, mereka bekerja berdasarkan struktur, logika, visi, dan sedikit banyak kepentingan bisnis.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada teori fans akan membuat WandaVision kehilangan identitas, visi yang sudah ditetapkan oleh storyteller-nya. Dan, karena maunya fans tentu banyak, memenuhi semua kemauan itu tentu akan membuat kisah WandaVision menjadi convoluted. Fokus terhadap tujuan utama ceritanya, mengisahkan bagaimana Wanda menghadapi rasa kehilangan dengan membuat dunia kecilnya untuk live happily ever after, sudah merupakan langkah terbaik.
Setup ke Multiverse bisa saja ada apabila mengacu pada post-credit scene WandaVision, namun itu bukan fokusnya sejak awal. Marvel Studios sudah cukup lama meninggalkan model satu film berisi terlalu banyak setup yang malah mengorbankan kualitas ceritanya (Age of Ultron, uhuk!!).
Post Age of Ultron, cara Marvel Studios membangun semestanya lebih subtle, tidak terlalu banyak eksposisi. WandaVision mengikuti formula itu. Namun, satu tahun tanpa produk Marvel tampaknya membuat fans ingin WandaVision sebagai ledakan besar, memulai Phase 4 sebagai era Marvel Cinematic Multiverse. Jika begitu adanya, ya WandaVision sejak awal terkutuk untuk mengecewakan.
ADVERTISEMENT