Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Review Film Ali & Ratu Ratu Queens: Pencarian Ibu dan Potret TKI di New York
19 Juni 2021 17:16 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Ali & Ratu-ratu Queens menambah daftar panjang film yang mengisahkan petualangan mencari sesuatu yang hilang, entah hewan, manusia, ataupun barang. Walau begitu, bukan berarti hal tersebut buruk. Film karya sutradara Lucky Kuswandi yang tayang di Netflix ini tetap berhasil membawa kisah yang heartwarming dan wholesome soal perjalanan seorang remaja mencari ibunya di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Kisah Ali & Ratu-ratu Queens disampaikan dari sudut pandang Ali (Iqbal Ramadhan), remaja yang ditinggal pergi ibunya ke Queens, New York ketika dirinya masih kecil. Pada awalnya, Ali mengira ibunya tak lagi menyayanginya karena tak pernah sekalipun mengirim kabar dari negeri Paman Sam. Apalagi, kerabat Ali selalu mendorong dirinya untuk melupakan sang ibu, Mia (Marissa Anita), yang mereka anggap sudah lama “mati”. Namun, Ali berubah pikiran ketika mendapati almarhum ayahnya menyimpan banyak surat dari ibunya.
Dari surat-surat itu terungkap bahwa Mia beberapa kali mencoba menghubungi Ali, namun selalu dihalangi oleh sang ayah. Salah satu surat bahkan mengikutkan tiket pesawat terbang ke Queens untuk Ali dah ayahnya agar mereka bisa berkumpul lagi. Mengetahui ibunya masih ada dan berusaha untuk menemuinya, Ali memutuskan untuk nekat terbang ke Queens, melawan tentangan kerabat-kerabatnya, dan mencari ibunya yang belasan tahun hilang.
ADVERTISEMENT
Tiba Queens, Ali langsung mengunjungi apartemen lama ibunya. Di sana, ia berkenalan dengan empat sekawan, seorang PRT bernama Party (Nirina Zubir), pekerja lepas bernama Biyah (Asri Welas), single mother bernama Ance (Tika Panggabean), dan tukang pijat bernama Chinta (Happy Salma). Dari keempatnya, hanya Party yang mengenal Mia, menyebutnya sudah lama pindah dari Queens untuk mengejar karir musiknya, sebelum Ali tiba.
Salut dengan kenekatan Ali, keempatnya menawarkan kamar untuk ia sewa. Kebetulan, Party berencana membangun restorannya sendiri, Ratu-ratu Queens, dan ia butuh uang untuk itu. Ali awalnya sempat ragu, namun menerima tawaran tersebut setelah dijanjikan bakal dibantu mencari ibunya. Petualangannya di New York pun dimulai, menyusuri sudut-sudut kota Queens yang tidak pernah sekalipun tidur itu.
Seperti disebutkan sebelumnya, di atas kertas film Ali & Ratu-ratu Queens memang terdengar klise. Konsepnya tentang pencarian seseorang sudah banyak ditemukan di berbagai film seperti Everybody’s Fine, Central Station, August Rush, hingga Under The Same Moon. Namun, fakta itu tidak mengingkari bahwa film Indonesia ini memiliki banyak hal yang membuatnya tetap layak untuk ditonton, mulai dari pesan utama kisahnya hingga pengembangan karakternya.
ADVERTISEMENT
Di Ali & Ratu-ratu Queens, penonton diajarkan bagaimana caranya menghargai dan memperlakukan anggota keluarga. Definisi dari keluarga itu sendiri digali lebih jauh, apakah itu terbatas pada hubungan darah saja atau termasuk tempat di mana kita merasa nyaman berada. Ali pada awalnya memandang keluarga pada definisi yang pertama. Namun, pengalaman-pengalaman di Queens mengantarkannya pada pemikiran bahwa apa yang ia anggap keluarga selama ini mungkin tidak pas untuk disebut “keluarga”. Pada titik tersebut, film ini menghadirkan gut punch moment, rasa sesak di dada ketika melihatnya.
Pada satu sisi, Ali & Ratu-ratu Queens juga potret kehidupan imigran di New York. Sebagai melting pot dari berbagai kebudayaan, imigran memenuhi hampir seluruh sudut kota yang disebut “city that never sleeps” itu. Mereka yang berada di sana menggunakan segala cara untuk bertahan hidup, bekerja, mengejar American Dream yang dikenal elusif. Struggle itu terlihat pada karakter empat sekawan dan juga Mia.
ADVERTISEMENT
Mia nekat ke Queens, meninggalkan Ali dan suaminya, untuk mengejar mimpinya menjadi penyanyi. Menurutnya, Indonesia tidak menawarkan dukungan yang ia perlukan untuk tumbuh kembang. Namun, realita yang ia dapat tak seindah pikirannya. Datang jauh-jauh ke New York, Mia mendapati dirinya menjadi pelayan di bar di mana ia seharusnya menyanyi. Ia ternyata tidak cukup bagus untuk standar New York.
Dari empat sekawan, Chinta dan Biyah adalah contoh yang paling ekstrim. Datang ke New York tanpa skill kerja apapun, Biyah menjadi pekerja serabutan. Segala pekerjaan ia ambil untuk bertahan hidup, mulai dari jadi tukang foto hingga berjudi. Pekerjaan-pekerjaan itu tidak akan membuatnya kaya, namun membuatnya mampu bertahan hidup. Sementara Chinta, ia menjadi tukang pijat dan bergonta-ganti pria. Ia mengaku sudah memacari belasan pria yang (sepertinya) secara implisit mengindikasikan ia memberikan layanan di luar pijat untuk bertahan di New York.
Daily struggle yang dihadapi para perempuan tersebut memang tidak digambarkan dengan sepenuhnya realistis. Mereka diperlihatkan selalu happy, memiliki apartemen besar, living their dream in New York dengan interpretasi soal perjuangan mereka dikembalikan ke penonton. Walau begitu, kehadiran mereka sukses memberi bumbu tersendiri soal perjuangan para tenaga kerja Indonesia di Amerika yang dikenal punya biaya hidup mahal itu.
ADVERTISEMENT
Komedi menjadi bumbu lainnya yang digunakan sutradara Lucky Kuswandi untuk membuat Ali & Ratu-ratu Queens terasa wholesome. Komedi-komedinya ringan dan mengundang tawa, walaupun tidak sampai terbahak-bahak. Tidak ada komedi yang mencela satu pihak dan celetukannya pun spontan seperti guyonan sehari-hari. Penempatan jokesnya juga tepat, selalu on point. Dari sekian karakter yang ada, Biyah lah yang menjadi comic-relief di sini, hadir sebagai ice breaker untuk melontarkan candaan, umpatan, yang bisa mencairkan suasana di kala duka. Penonton tidak mungkin tidak tertawa jika melihat tingkah lakunya.
Di luar drama keluarga dan komedi, romance menjadi sub plot lainnya di film Ali & Ratu-ratu Queens. Hal itu diwakili kehadiran anak Ance, Eva (Aurora Ribero), yang lahir dan dibesarkan ibunya di Amerika seorang diri. Eva adalah orang pertama yang Ali temui ketika tiba di New York.
ADVERTISEMENT
Sub-plotnya sama klisenya dengan premis Ali & Ratu-ratu Queens. Ali digambarkan jatuh cinta ke Eva pada pandangan pertama dan mulai mengejarnya ketika sudah mengenalnya dengan lebih baik. Untungnya, sub-plot tersebut tidak terasa out of place dan mengambil porsi besar kisah Ali & Ratu-ratu Queens. Sebaliknya, sub-plot yang tampil secara sporadis itu malah melengkapi kisah utama film, memperjelas adaptasi dan asimilasi Ali di New York. Tidak ada adegan-adegan selingkuh ataupun putus cinta yang malah merusak ritme kisah utama.
Perihal akting, tidak bisa dipungkiri bahwa highlight ada pada para karakter perempuannya. Pemeran para “ratu”, misalnya, layak mendapatkan standing applause karena berhasil membuat karakter-karakter mereka terasa relateable dan mudah diterima. Akting Nirina, Asri, Tika, dan Happy apik, mempertegas fungsi masing-masing karakter mereka di kisah Ali & Ratu-ratu Queens. Seperti kelompok pertemanan pada umumnya, pasti ada yang bertindak jadi pemimpin, pemecah suasana, powerhouse, dan ada yang memiliki dunia sendiri.
ADVERTISEMENT
Peran Marissa Anita sebagai Mia juga tidak kalah hebat. Kami senang dengan artikulasi dan pengejaan Bahasa Inggris milik Marissa. Kesan bahwa dia sudah lama menetap di New York menjadi lebih ngena. Di sisi lain, tanpa bermaksud spoiler, ia berhasil menampilkan dilema-dilema ibu yang muda yang harus memilih antara karir atau keluarga dan bagaimana ia sebaiknya bersikap ketika berhadapan dengan anaknya.
Sayangnya, kualitas serupa malah tidak tampak pada sang pemeran utama, Iqbaal Ramadhan . Kerap kali ketika Ali kedapatan adegan sedih, akting Iqbal bukannya membuat kami ikut merasa iba dan malah canggung. Mungkin ini sudah menjadi penyakit lama Iqbal yang belum juga mendapatkan raut muka yang pas saat berperan di adegan seperti itu. Masalah tersebut tidak muncul hanya sekali dua kali walau masih bisa ditolerir.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, apa kata sutradara Joko Anwar bahwa film ini akan meningkatkan benchmark film Indonesia ada benarnya. Dalam hal production value dan eksekusi cerita, Ali & Ratu-ratu Queens tidak setengah-setengah terlepas premisnya yang relatif klise. Dibanding film-film Indonesia yang mengambil setting luar negeri, Ali & Ratu-ratu Queens juga berhasil membuat kehadiran-kehadiran karakternya tidak terasa out of place di New York. Mereka seperti sudah menjadi bagian dari New York, masuk dalam melting pot budaya itu.
Endrapta Ibrahim Pramudhiaz, Istman