Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Review Film Belle: Beauty and The Beast Era Metaverse
18 Januari 2022 15:07 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film Belle menunjukkan sutradara Mamoru Hosoda (Summer Wars, Mirai) belum kehilangan sentuhannya. Ia berhasil menata ulang (bahkan reimagine) kisah klasik Beauty and The Beast dan membawanya ke era Metaverse yang lagi ramai dibicarakan akhir-akhir ini.
ADVERTISEMENT
Dengan mengutip lirik lagu dari film Beauty and the Beast , “Tale as Old as Time”, langkah yang diambil Mamoru sebenarnya bukan hal baru. Faktanya, sudah ada banyak adaptasi cerita Beauty and The Beast dari zaman dahulu dengan yang paling terkenal adalah versi 1991 buatan Disney. Namun, dari sekian banyak versi yang ada, it's safe to say Belle adalah adaptasi yang paling unik dan fresh. Saking uniknya, Belle dikabarkan mendapat standing ovation 14 menit di Cannes Film Festival.
Kisah Belle mengabil setting sebuah Metaverse bernama 'U'. Di sana, generasi muda pengguna media sosial bisa berganti identitas secara seamless, dari dunia fisik dan online, dengan avatar masing-masing. Walau begitu, perlu digarisbawahi bahwa Belle tak melulu soal Metaverse, tetapi juga mengeksplor sisi dunia nyata yang lebih grounded.
ADVERTISEMENT
Kurang lebih separuh dari film Belle yang berlangsung di "dunia nyata" . Untuk membedakan dengan setting Metaverse yang menekankan animasi 3D, setting dunia nyata di-render dengan gaya kartun tradisional Jepang yaitu 2D.
Karakter utama Belle sendiri bernama Suzu. Di dunia nyata, ia adalah siswa SMA yang 'biasa' saja dan tak memiliki banyak teman. Ketika masuk ke 'U', ia berganti wujud dengan avatar bernama Belle yang cantik rupawan layaknya Disney Princess. Sebagai Belle di U, Suzu menemukan banyak orang yang menerimanya dan terkagum-kagum dengan talenta bernyanyi miliknya.
Segalanya berubah bagi Suzu ketika makluk berjubah penuh memar bernama The Dragon masuk ke kehidupan virtualnya. Suzu mendapati The Dragon diburu oleh para Justice keran mengamuk di U. Berfungsi layaknya admin social media, Justice memburu siapapun penghuni U yang berbeda dengan standar yang mereka tetapkan. Penasaran (dan kasihan) terhadap The Dragon, Suzu pun mulai mendekatinya dan mencari tahu kenapa makhluk tersebut terlibat berbagai aksi kekerasan di U.
ADVERTISEMENT
Belle memiliki dua sisi dalam ceritanya, layaknya identitas ganda yang dimiliki Suzu. Di satu sisi, lewat visualisasi yang cantik, Belle adalah dongeng soal pasang surut ketenaran online, kaburnya realita, dan krisis identitas di era digital. Sebagaiana kita tahu, setiap orang bisa memiliki sifat, identitas yang berbeda-beda ketika terjun ke dunia online. Di online, banyak orang bebas berbicara, berekspresi, menjadi siapapun yang selama ini mereka tahan atau sangkal. Di dunia nyata, banyak orang menjadi apa yang diekspektasikan dari diri mereka.
Jelas sekali Mamoru mendesain Belle dengan cermat sebagai studi (dan kritik) terhadap relasi Gen Z dengan budaya internet, penuh dengan warna dan kecemasan remaja yang melodramatis. Hal tersebut bukan hal baru, bahkan untuk Mamoru sendiri, namun ia terlihat sadar betul bahwa fenomena itu masih patut dieksplor lagi seiring dengan hadirnya Metaverse .
Di sisi lainnya, Belle adalah drama remaja yang diperlihatkan dari keseharian Suzu yang awkward dan tidak memiliki banyak teman. Penonton akan melihat tropes drama remaja atau coming of age di mana Suzu mencoba 'diterima' di circle sosialnya. Ia ingin dirasakan kehadirannya, memiliki teman, memiliki kekasih, dan diakui. Di keluarganya saja, Suzu tidak memiliki hubungan dekat dengan ayahnya walaupun sang ayahnya sudah setengah mati mencoba mengajaknya berbicara. Seiring berjalannya cerita, penonton akan mendapati apa yang mendorong Suzu akhirnya kabur ke U dan membentuk identitas Belle di sana.
ADVERTISEMENT
Berbagai dualitas tersebut, mulai dari Suzu dan Belle hingga Real dan U, mendukung pesan yang hendak dibangun Mamoru walaupun kontras. Mamoru ingin meperlihatkan potensi yang dimiliki Metaverse, dampaknya terhadap society, dan apakah Metaverse akan menggantikan realita. Di Metaverse, penonton diperlihatkan potensi yang nyaris tanpa batas, diiring musik nan indah yang memainkan emosi. Di dunia nyata, penonton diperlihatkan kehidupan yang lebih membumi, lebih manusiawi, jika tidak ingin dikatakan "biasa saja".
In the end, “Belle” adalah adaptasi Beauty and the Beast yang indah dan cocok untuk dunia modern dengan fokus budaya internet dan Metaverse. Film ini juga berani menyentuh topik yang bisa dianggap sensitif oleh beberapa orang lewat peran The Dragon dan orang di baliknya. Harus diakui, elemen dunia nyata di Belle mungkin tidak akan membosankan untuk sejumlah penonton karena pendekatannya yang berbeda. Namun, jika bersabar, dualitas dunia itu akan berujung pada puncak character development Suzu yang sedikit banyak patut dikontemplasikan.
ADVERTISEMENT
Isaac William Jefferson Mandagie