Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Review Film Dune: Megah di Presentasi, Kebingungan di Paruh Terakhir
9 Oktober 2021 12:30 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film Dune (2021) dari Denis Villeneuve adalah percobaan kesekian untuk mengadaptasi novel berjudul sama karya Frank Herbert.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya ada karya Alejandro Jodorowsky yang gagal produksi, karya David Lynch yang underwhelming, serta mini seri yang rilis di televisi. Semuanya gagal menangkap esensi dan kemegahan Dune yang dibuat Herbert. Untungnya, Dune garapan Villeneuve 'partly' berhasil menangkap dan mempresentasikan kisah buatan Herbert yang katanya "unfilmable" itu.
Dune, atau Dune: Part 1 sebagaimana tertulis di awal film, adalah salah satu sci-fi termegah yang pernah kami lihat. Film berdurasi 2,5 jam tersebut adalah technical marvel secara audio maupun visual yang mampu menyedot kami ke dunia bentukan Herbert dan merasa "kerdil". Sayangnya, kemegahan presentasi auditory dan visual tersebut tidak diimbangi eksekusi cerita yang sama-sama "megah".
Setia ke sumber aslinya, kisah Dune berlatar konflik politik antara House of Atreides, House of Harkonnen, dan House of Corrino atas status sebuah planet bernama Arrakis. Di dunia Dune, Arrakis adalah planet gersang, tandus, sulit ditinggali, namun memiliki sumber daya alam terpenting berupa rempah bernama Melange.
Melange bukan rempah sembarangan. Jika diolah, siapapun yang mengkonsumsinya akan sakti mandraguna secara mental. Karena mental kuat diperlukan Spacing Guild untuk melakukan perjalanan interstellar di dunia Dune, tak ayal harga Melange luar biasa mahal di pasar. Pengaruhnya pun tak main-main dalam menentukan peta politik Kekaisaran pimpinan Shaddam IV dari House of Corrino.
ADVERTISEMENT
Selama puluhan tahun, eksploitasi Melange di Arrakis ditangani langsung oleh House of Harkonnen, rumah dari Baron Vladimir Harkonnen (Stellan Skarsgård). Namun, Kaisar Shaddam IV tiba-tiba menarik Harkonnen keluar dari Arrakis dan menempatkan pesaingnya, House of Atreides, sebagai penggantinya.
Di Caladan, rumah dari House of Atreides, perintah kaisar disambut dengan curiga. Duke Leto Atreides (Oscar Isaac) menduga Kaisar Shaddam IV mencoba mengadu domba ia dengan Harkonnen untuk menyingkirkannya. Ia tahu betul Shaddam IV memandangnya sebagai ancaman dan ingin menguasai eksploitasi Melange.
Paul Atreides (Timothee Chalamet ), anak dari Leto, mencoba tidak terlibat langsung dalam konflik Arrakis. Namun, lewat mimpi, Paul mendapat serangkaian pertanda bahwa bencana akan menyerang keluarganya di Arrakis dan ia akan memimpin perlawanan dari sana bersama para pribumi bernama Fremen. Dalam mimpinya, ia disebut sebagai 'the chosen one', Kwisatz Haderach.
ADVERTISEMENT
Siapapun yang pernah membaca kisah Dune, minimal buku pertama dari total enam, tentu tahu betapa megahnya kisah garapan Herbert. Kisah Dune di novel memiliki periode waktu begitu panjang, beberapa tahun, untuk menegaskan betapa rumitnya konlik Melange di kekaisaran (Landsraad) dan pencarian jati diri Paul. Menerjemahkan kisah panjang itu ke format film bukan perkara gampang.
Alejandro Jodorowsky (El Topo, The Holy Mountain), ketika mendapat hak adaptasi Dune pada 1974, mencoba mengembangkannya sebagai epic berdurasi 10-14 jam. Menurutnya, itu cara terbaik menyampaikan kisah Herbert. Hollywood menolak pitchingnya, hanya akan menerima film dengan durasi paling banter dua jam.
Sutradara berikutnya, David Lynch (Blue Velvet, Mulholland Drive), memenuhi standar durasi itu. Ia memangkas banyak elemen untuk memaksakan kisah Dune ke dalam satu film berdurasi 2 jam 17 menit . Hasilnya bisa ditebak, film Dune (1984) garapannya berakhir underwhelming dengan kisah yang mbulet untuk dipahami.
ADVERTISEMENT
Mini series Frank Herbert's Dune, rilis di televisi tahun 2000, mampu bercerita dengan lebih baik karena faktor durasi. Walau begitu, budget televisi tidak mampu mempresentasikan kemegahan Arrakis yang ada di novelnya. Hasilnya, technical-wise, underwhelming juga seperti pendahulu-pendahulunya.
Belajar dari kasus-kasus sebelumnya, langkah Denis Villenueve membagi kisah buku pertama Dune menjadi beberapa part bisa dikatakan tepat. Di satu sisi, ia memberi ruang relatif lega bagi dirinya untuk membangun lore dari Dune dan menjelaskan semua elemen yang vital di dalamnya. Di sisi lain, budget besar memungkinkannya untuk mereplikasi kemegahan Dune di novel ke format layar lebar.
Villenueve paling berhasil di sisi kemegahan. Dune garapannya sungguh breathtaking, berhasil membawa kami ke lanskap alien lewat capaian-capaian teknisnya mulai dari production design, kostum, sound effect, visual effect, hingga cinematography. Arrakis, misalnya, terlihat hidup dengan gemerlap Melange di permukaannya dan gerakan cacing raksasa, Shai Hulud, di baliknya. Ketika sandworm yang panjangnya 400 meter itu muncul ke permukaan, bagaimana ia ditampilkan di Dune sukses membuat kami merasa kerdil.
ADVERTISEMENT
Kemegahan lainnya terlihat pada invasi Harkonnen ke Arrakis. Di bagian itu, Villenueve bersama cinematographer Greig Fraser dan composser Hans Zimmer tampil all out dengan hasil kerja keras mereka patut membuat malu Michael Bay. Penonton tidak hanya akan melihat ledakan di situ, namun juga hasil ketelatenan Villenueve cs mengkoordinir set piece, battleship ajaib, dentuman score pembetot telinga, dan peperangan di darat udara untuk menghadirkan invasi berskala masif.
Kemegahan-kemegahan itu didukung kesetiaan Villeneuve pada hal-hal yang membuat kisah Dune unik mulai dari konsep suku Fremen, "space witch" Bene Gesserit, Kwisatz Haderach, hingga Still Suit. Still Suit adalah pakaian wajib penjelajah di Arrakis, memastikan penggunanya tidak dehidrasi dengan mengolah segala cairan (termasuk kencing) menjadi cairan tubuh. Sungguh kentara betapa nerdy-nya Villenueve di Dune.
ADVERTISEMENT
Nah, giliran storytelling, Villenueve kurang perform. Ia berusaha sebisa mungkin setia dengan novelnya, membuat filmnya padat akan eksposisi untuk membangun lore dari Dune. Bagi mereka yang belum tahu akan lore Dune, penekanan Villenueve pada eksposisi adalah nilai plus tersendiri mengingat skala ceritanya. Sementara itu, bagi mereka yang sudah tahu, pendekatan yang terlalu exposition-heavy membuat filmnya terkadang terasa draggy. Patut diakui, mencari balancenya memang tidak mudah.
Problem draggy tersebut kian problematik ketika bagian-bagian terbaik dari Dune ditaruh semua oleh Villenueve di paruh pertama filmnya. Memasuki paruh kedua, Dune kehilangan energi untuk maju, berujung pada penyampaian cerita yang antiklimatik dan kurang menghentak. Villenueve seperti kebingungan bagaimana ia harus mengakhiri Dune: Part 1 agar penonton tetap tertarik untuk menonton Dune: Part 2.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kekurangan yang ada dalam perkara cerita, akting para aktor dan aktris dari Dune patut dpuji. Timothee Chalamet berhasil menampilkan dilema yang dialami Paul ketika mencari jati dirinya. Stellan Skarsgård juga tampil mengerikan sebagai Baron Vladimir Harkonnen yang berdarah dingin dan buruk rupa luar dalam. Namun, favorit kami ada pada Jason Momoa dan Josh Brolin yang memerankan Duncan Idaho dan Gurney Halleck. Mereka hadir menyuntikkan momen-momen levity dan witty, sebagai uncle-figure dari Paul, di tengah kisah Dune yang sarat akan pesan-pesan free will, environmentalism, dan ubermensch-nya Nietzsche itu.
Akhir kata, Dune adalah entry yang pas untuk mereka yang belum pernah mengenal karya Herbert sebelumnya. Pendekatan yang diambil begitu komprehensif, setia, dan didukung presentasi audio visual yang memanjakan panca indera. Bagi penggemar lama, Dune adalah film yang lumayan bermasalah dalam hal penyampaian ceritanya di mana terlalu exposition-heavy dan kehilangan energi (bahkan arah) di paruh kedua.
ADVERTISEMENT
ISTMAN MP