Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Review Film Jakarta Vs Everybody: Kota Jakarta yang Nakal
21 Maret 2022 12:04 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film Jakarta vs Everybody adalah sisi 'nakal' dari ibu kota tercinta ini. Beberapa mungkin sudah mengetahui sisi tersebut, namun selalu ada mereka yang ignorant atau lupa dan perlu diingatkan.
Sejatinya, film Jakarta vs Everybody diagendakan tayang di bioskop. Namun, situasi pandemi yang tak menentu membuat film yang dibintangi Wulan Guritno dan Jefri Nichol ini bermigrasi ke ranah digital. Pada tanggal 19 Maret kemarin, film ini resmi tayang di layanan streaming service Bioskop Online dan diharapkan bisa memberi pandangan baru soal masyarakat kelas bawah, kenakalan, dan mimpi di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Memiliki judul internasional Jakarta, City of Dreamers, film ini berangkat dari premis Jakarta itu bak Negeri Paman Sam dengan American Dream-nya yang elusif itu. Dikenal sebagai ibu kota (sebelum pindah ke Ibu Kota Nusantara) dan pusat ekonomi, Jakarta memang menawarkan sejumlah kesempatan, pekerjaan, dan impian. Banyak orang berbondong-bondong merantau ke Jakarta untuk mengubah nasibnya, dari biasa-biasa saja menjadi luar biasa.
Sayangnya, bak kota Gotham di film Batman, Jakarta itu keras bung! Semangat, skill, dan niat kerap tak cukup. Terkadang cara-cara 'nakal' harus diambil untuk bertahan di tengah gedung-gedung pencakar langit kota Jakarta. Film Jakarta vs Everybody mencoba menggambarkan hal tersebut, memberikan gembaran ibu kota yang relate dengan penghuni-penghuninya. Adapun kisah tersebut disampaikan dari sudut pandang Dom (Jefri Nichol ).
ADVERTISEMENT
Dom pergi ke Jakarta dengan impian bermain di film. Sudah lama ia ingin menjadi aktor dan opportunity tersebut, menurutnya, hanya ada di Jakarta. Peran sebagai extras (pemeran tambahan) di sebuah film ia ambil sebagai langkah awalnya di industri hiburan nan gemerlap itu.
Bermain di film ternyata tak seindah bayangan Dom. Sebagai extras, dia kerap menjadi sasaran perlakuan kasar para pemain utama. Awalnya ia biasa saja, namun lama-lama ia meradang dan melawan semuanya. Bukan awal yang mulus untuk perjalanan Dom sebagai aktor.
Nestapa Dom tak berhenti di situ. Ketika ia melakukan sesi foto dengan agensi, Dom dipaksa membuka semua pakaiannya. Ia merasa dilecehkan dan akhirnya pergi meninggalkan casting itu dengan rasa marah. Lelah dengan semua itu, Dom memutuskan beristirahat sejenak dari impiannya. Satu-satunya yang harus dia lakukan hanyalah bertahan hidup di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Entah sebuah kesialan atau keberuntungan, Dom bertemu Pingkan (Wulan Guritno ) dan Radit (Ganindra Bimo). Kedua pasangan ini menawarkan Dom tempat tinggal sekaligus pekerjaan menjadi kurir pengedar narkoba. Tak punya banyak pilihan, Dom menerimanya tanpa pikir panjang. Dari situ, 'pertarungan' antara Dom dan Jakarta dimulai.
Tanpa banyak konflik yang menggebu-gebu, sutradara Robby Ertanto hanya mengedepankan realitas di film Jakarta vs Everybody. Sex, narkoba, diskotik, semua itu seolah mendarah daging dengan Ibukota. Film ini tidak banyak berbicara tentang mimpi. Baginya, hidup adalah tentang perjalanan ke satu titik. Titik itu bukan mimpi, melainkan kesenangan dan jauh dari masalah sehingga yang perlu diperhatikan adalah bagaimana manusia harus bertahan hidup.
Pertentangan antara mimpi dan realita itu terasa real. Siapapun yang merantau dari daerah tertinggal ke kawasan yang menawarkan berbagai "janji" tentu akan merasa relatable dengan Dom. Terkadang kita memiliki mimpi-mimpi setinggi langit, tetapi tanpa rencana dan semesta yang mendukung sehingga ujungnya menyiksa diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Kisah tersebut disampaikan dengan visualisasi yang menyerupai film-film Wong Kar Wai. Penonton bakal banyak menemukan cahaya remang, cermin, dan shot-shot yang sempit. Ada satu adegan yang mengingatkan kami akan Chungking Express. Adegan ini dibingkai dengan background jalanan yang terlihat kabur menggambarkan keriuhan dan kegelisahan. Singkatnya, Robby Ertanto dan kawan-kawan berhasil menyajikan Jakarta yang nakal dan sendu secara bersamaan, sama seperti Wong menggambarkan Hong kong. Asyik melihatnya.
Sayangnya, 'keindahan' itu tidak dilengkapi dengan penggambaran 'kekejaman' kota Jakarta yang optimal. Dalam banyak hal, film ini masih main aman dalam menyampaikan kritik sosialnya soal Jakarta. Kami tidak mengharapkan laga ganas, tapi setidaknya permainan kotor di kota Jakarta yang lebih engaging. Sebagai contoh, transaksi narkoba di film ini masih terlihat kaku tanpa ada trik-trik licik yang membuat kami tercengang. Selain itu, tidak ada representasi figur-figur korup lembaga pemerintahan di film ini.
ADVERTISEMENT
Minus lainnya ada dalam eksplorasi karakter. Dari jajaran karakter yang ada, hanya Dom dan periasa mayat bernama Khansa (Dea Panendra) yang mendapat fokus. Peran Khansa sendiri, sebenarnya, tak lebih dari sekedar curahan hati Dom terhadap mimpinya sehingga efektif film ini kerap terasa seperti Dom vs Jakarta. Untungnya, cerita film Jakarta vs Everybody enak diikuti.
Akhir kata, film ini berhasil menyuguhkan potret Immoral masyarakat urban Jakarta. Walaupun minim, dialog yang hadir isinya sangat berbobot. Jakarta vs Everybody layak meraih nominasi penyunting gambar terbaik Festival Film Indonesia karena pengemasannya yang rapi dan punya storyline yang solid. Kisahnya enjoy untuk diikuti tanpa harus bertanya-tanya tentang apa yang terjadi setelahnya.
Muhammad Rizky Inzaghi
ADVERTISEMENT