Konten Media Partner

Review Film The Last Duel: Kekerasan Seksual yang Diselesaikan Lewat Duel

6 Februari 2022 8:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Film The Last Duel (Foto: IMDb)
zoom-in-whitePerbesar
Film The Last Duel (Foto: IMDb)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Ketimpangan hukum dan ketidakberpihakan pada perempuan telah menjadi topik yang saling berkaitan dengan kekerasan seksual. Di zaman modern ini, semuanya dapat diselesaikan melalui pengadilan yang sesuai dengan sistem hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Seringkali, kita melihat korban dan keluarga mesti berhadapan dengan ketidakadilan akan putusan hakim ataupun stigma buruk di masyarakat.
Oleh karena itu, menarik untuk kita dapat melihat bagaimana kejadian serupa dapat diselesaikan pada abad pertengahan, ketika sistem hukum bergantung pada keputusan raja yang bersifat subjektif.
Tema inilah yang oleh sutradara veteran Ridley Scott (Gladiator, The Martian) diangkat dalam film terbarunya, The Last Duel. Film ini dibuat berdasarkan buku nonfiksi The Last Duel: A True Story of Trial by Combat in Medieval France karya Eric Jager.
Buku tersebut mengangkat tema trial by combat atau duel pengadilan antara dua pihak yang bertikai yang berasal dari hukum suku Jermanik dan banyak dipraktekan di masyarakat abad pertengahan.
ADVERTISEMENT

Persahabatan Di Antara Ambisi Politik

Film The Last Duel (Foto: IMDb)
Bercerita tentang sepasang sahabat ksatria Prancis bernama Jean de Carrouges (Matt Damon) dan Jacques Le Gris (Adam Driver). Sayangnya, mereka berdua punya dua kehidupan yang berbeda. Jean de Carrouges harus mengalami kesulitan finansial dan menikah dengan seorang putri bangsawan, Marguerite de Thibouville (Jodie Comer), sedangkan Le Gris menjadi orang kepercayaan Count Pierre of Alençon (Ben Affleck). Seiring dengan mengeruhnya intrik politik, persahabatan di antara keduanya memburuk yang berujung tuduhan de Carrouges bahwa Le Gris telah memerkosa istrinya, Marguerite.
Sepanjang film kita disuguhkan cerita dari tiga sudut pandang karakter utama yaitu, de Carrouges, Le Gris, dan Marguerite. Damon dan Affleck yang ikut menulis bersama Nicole Holofcener menyajikan perjalanan kejadian sepanjang film berdasarkan perspektif tiga karakter tersebut.
ADVERTISEMENT
Tujuan dari ketiga penulis tersebut menyajikan lewat sudut pandang dari masing-masing karakter untuk membuat para penonton turut bisa terlibat memahami jalannya cerita dan perlu berusaha untuk tidak terlalu menghakimi karakter protagonis maupun antagonis.
Hasilnya, penonton dapat lebih memahami perasaan setiap karakter tanpa perlu terlalu fokus pada pencarian siapa pelakunya atau siapa yang salah.
Salah satu keunggulan Scott yang terlihat jelas adalah bagaimana menciptakan suasana intens ketika emosi para karakternya memuncak. Scott tidak berusaha mendramatisir bagaimana permasalahan setiap karakter, melainkan dibangun lewat perspektif perjalanan ketiga karakter yang saling berkaitan pada akhir cerita nanti.
Puncaknya adalah pada adegan duel terakhir di akhir film ketika de Carrouges bertarung melawan Le Gris hingga titik darah penghabisan dengan Marguerite menonton mereka dengan kaki dirantai.
ADVERTISEMENT
Pemilihan para cast membantu Scott dalam menampilkan drama secara intens sepanjang film. Damon dan Driver dapat menampilkan diri mereka sebagai sosok ksatria abad Pertengahan dengan setiap emosi yang terbentuk akibat setiap pengalaman yang dilalui dalam cerita.
Cerita yang ditulis oleh Damon, Affleck, dan Holofcener menyajikan bagaimana kedua karakter usaha pembenaran melalui sudut pandang masing. Namun, kredit terbesar patut diberikan pada Jodie Comer yang mampu menampilkan sosok wanita kuat yang tidak berusaha tunduk pada hukum sosial yang berlaku ataupun menyerahkan segala urusan pada suaminya

Keuntungan Aristokrasi dalam Penyelesaian Masalah Kekerasan Seksual

Film The Last Duel (Foto: IMDb)
Menariknya dari film The Last Duel tidak hanya mengangkat peristiwa sistem peradilan pada masa itu yang diselesaikan dengan duel sampai mati, tetapi juga memperlihatkan bagaimana hukum ditegakkan bagi korban kekerasan seksual pada abad pertengahan.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui, pada zaman tersebut hukum yang dikenal hanyalah dari titah penguasa tertinggi. Alhasil, hukum dan sistem pengadilan bergantung pada subjektifitas satu orang saja dalam pengambilan keputusan. Cara penyelesaian melalui berduel sampai mati pun tergantung keputusan raja.
Di film ini, ada berbagai faktor yang mempengaruhi motivasi setiap karakternya untuk bersedia berduel. Di satu sisi, kita dapat menyaksikan pandangan salah satu karakter sebagai upaya legitimasi dirinya di hadapan hukum yang ada saat itu.
Di sisi lain, kita juga melihat pergulatan batin, yang tak lepas dari pencarian pengampunan melalui iman atau kekuasaan, yang menjadi faktor pendorong karakter yang bermuara ke akhir cerita.
Penjabaran cerita film dalam tiga sudut pandang memudahkan kita melihat sebuah peristiwa dan memahami alasan dari setiap kejadian yang terjadi sepanjang film.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, harus dilihat pula bahwa karakter yang diangkat adalah sosok-sosok berlatar belakang aristokrat. Walaupun mereka adalah bangsawan rendahan dan miskin, tetapi mereka adalah tuan tanah dan ksatria, bukanlah petani atau tukang batu maupun pandai besi atau bahkan rakyat jelata yang tidak memiliki status hukum dalam sistem aristokrat.
Poin inilah yang menjadi salah satu kekurangan dari latar belakang film yang mengangkat keadilan terhadap kekerasan seksual. Walaupun harus juga diapresiasi usaha Ridley Scott untuk setia pada konteksnya hingga desain produksinya yang totalitas.
Menonton film ini jelas mengingatkan kita pada salah satu film yang mengangkat tema serupa yang sempat panas beberapa minggu yang lalu, yaitu Penyalin Cahaya garapan Wregas Bhatureja.
Ironisnya, kita menyaksikan penyelesaian masalah yang lebih tuntas bagi para penonton pada film The Last Duel dibandingkan Penyalin Cahaya. Padahal, kita hidup di zaman yang sama dengan film yang disebutkan terakhir.
ADVERTISEMENT
Setelah selesai menonton keduanya dan berpikir, maka timbul pertanyaan, "Apakah hukum pada abad pertengahan, terlepas dari subjektifitas dan ketimpangan sosial, lebih bisa memberikan solusi dibandingkan hukum saat ini?"
LUTHFI ADNAN