Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Review Film The Matrix Resurrections: Dari Bicara Realita Ganti Mengkritik Media
22 Desember 2021 10:24 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch - The Matrix Resurrections adalah sekuel yang gagal menjustifikasi eksistensinya sendiri. Meski memiliki berbagai pemikiran menarik di dalamnya perihal industri media, hal-hal tersebut dieksekusi dengan buruk dan tanpa plot yang jelas. Apa yang tersisa, pada akhirnya, hanyalah rasa nostalgia yang hampa. Lucunya, film ini berangkat dari konsep yang mencoba mentertawakan praktik remake dan cash-grab sequel yang merajalela di Hollywood.
ADVERTISEMENT
Mengambil setting 60 tahun sejak ending The Matrix Revolutions (2003), kisah Resurrections bermula dari kembali hidupnya Thomas Anderson aka Neo (Keanu Reeves). Meski ending Revolutions memperlihatkan ia tewas dalam upaya mengalahkan Agent Smith (Hugo Weaving), bangsa Mesin ternyata menyimpan jenazahnya untuk dibangkitkan kembali. Adapun kesadaran Neo mereka 'kembalikan' ke dalam program The Matrix dengan avatar yang berbeda: Programer game.
Sebagai programer game, Neo dikisahkan bekerja untuk Warner Bros. Ia memproduksi tiga game yang kemudian memenangkan Video Game Awards untuk kategori Game of The Year tiga tahun berturut-turut. Ketiga game tersebut berjudul The Matrix, The Matrix Reloaded, dan The Matrix Revolutions. Ya, kisah trilogi The Matrix yang kita kenal dikamuflasekan bangsa Mesin sebagai game ciptaan Neo sendiri.
Seperti para manusia yang terhubung ke The Matrix, Neo awalnya percaya saja bahwa ia programer trilogi The Matrix. Ia pun turut masuk ke dalam pengembangan kisah keempat The Matrix. Namun, seiring berjalannya waktu, mulai timbul 'glitch' di mana ia mengingat kembali event-event trilogi The Matrix sebagai peristiwa sungguhan. Salah satu memori yang muncul kembali adalah soal Trinity (Carrie Anne-Moss).
ADVERTISEMENT
Mempertanyakan kewarasannya sendiri, Neo mulai menyelidiki 'glitch' yang ia alami dan mencari di mana Trinity berada. Di saat yang bersamaan, seorang aktivis bernama Bugs (Jessica Henwick) dan agent yang memberontak bernama 'Morpheus' (Yahya Abdul Mateen) mencarinya.
Ketika The Matrix pertama kali rilis di tahun 1999, film tersebut menjadi fenomena pop berkat koreografi, special effect, serta kisahnya yang thought provoking. Hampir tidak ada yang tidak tahu adegan bullet time The Matrix di mana Neo menghindari tembakan peluru para agent. Di sisi lain, tidak sedikit film-film yang terinspirasi The Matrix mulai dari Charlie Angels, Equilibrium, hingga Inception-nya Nolan.
The Matrix Resurrections tidak memiliki kualitas yang setara dengan ketiga prekuelnya. Dari sisi special effect, misalnya, tidak ada terobosan setara bullet time. Nyaris semua special effect di film ini ada di film-film laga lainnya, bahkan yang low budget sekalipun. Apa yang membedakan hanyalah sutradara Lana Wachowski menshoot sebagian besar adegan laga dengan kamera high frame-rate. Semua laga yang biasa tampil dalam format 24 frame per detik naik menjadi 60 frame per detik.
ADVERTISEMENT
Kualitas koreografi laganya juga sama saja. Tidak kembalinya Yuen Woo-Ping sebagai action choreographer membuat Resurrections kehilangan laga kung fu yang mengalir. Alih-alih mengalir, keseluruhan laga pertarungan The Matrix Resurrections tampil kaku, lamban, dan tersendat-sendat. Hal itu diperburuk dengan editing yang terasa choppy, terlalu banyak cut, membuat pertarungan-pertarungan yang ada terasa 'murah'.
The Matrix Resurrections bisa sedikit termaafkan perihal cerita. Pemikiran-pemikirannya soal tren remake dan cash-grab sequel, yang mengisi paruh pertama film, sangat on point. Hal itu ditampilkan secara meta (self aware) salah satunya ketika Neo ogah-ogahan diminta membuat sekuel dari trilogi The Matrix oleh Warner Bros. Di saat ia berusaha membuat karya original (Binary), orang-orang di sekitarnya selalu menariknya kembali ke kisah The Matrix dan memaksakan ide-ide 'brilian' yang sejatinya hanya produk daur ulang.
The Matrix Resurrections pun tak ragu mentertawakan tren fandom di era big franchise seperti sekarang di mana film-film superhero dan fansnya menguasai bioskop. Karakter Bugs dan krunya ditampilkan sebagai fanboy dari Neo. Mereka terobsesi dengan Neo mulai dari mem-breakdown kisah hidupnya hingga membuat berbagai teori soal hilangnya dia. Ketika teorinya terbukti benar, mereka senangnya setengah mati, mirip fans-fans film superhero yang bangga kalau teorinya tepat.
ADVERTISEMENT
Namun, lagi-lagi, pemikiran-pemikiran itu terasa timpang jika dibandingkan dengan ketiga prekuelnya. Trilogi The Matrix terkenal akan diskusinya soal free will, takdir, dan definisi realita, sementara Resurrections lebih banyak berbicara soal industri media. Cilakanya, pemikiran-pemikiran itu belakangan hanya tempelan saja, tidak benar-benar berperan besar, membuat The Matrix Resurrections terasa pretensius saja.
Ironisnya, memasuki paruh kedua, kisah The Matrix Resurrections terjebak pada apa yang ia kritik di paruh pertama film: Kisah daur ulang. Kisahnya lagi-lagi berputar soal Neo sebagai The One, figur yang memiliki source code untuk menjebol batasan-batasan di program The Matrix. Namun, tidak seperti ketiga prekuelnya, The Matrix Resurrections kurang berhasil membangun alasan kenapa status Neo sebagai the One patut diangkat lagi.
ADVERTISEMENT
Peran Neo sebagai The One sejatinya sudah rampung di The Matrix Revolutions. Lewat kesepakatannya dengan pemimpin bangsa Mesin, Deus Ex Machina, damai antara Mesin dan Manusia berhasil dibentuk. Pada The Matrix Resurrections, sebuah program bernama The Analyzer mencoba mengerjai Neo dengan membuatnya lupa soal The One, namun motivasinya tidak disampaikan dengan jelas. Beberapa bagian bahkan terasa kontradiktif dengan apa yang ada di prekuel-prekuelnya. Ada apa dengan Neo sebagai The One di film ini tidak terjawab tuntas hingga credits muncul.
Neo sendiri, di Resurrections, tidak sekompleks karakterknya di trilogi The Matrix. Karakterisasinya lebih sederhana di mana motivasi utamanya lebih untuk mencari Trinity. Neo jarang sekali ditampilkan mempertanyakan apa saja yang terjadi sejak ia membuat kesepakatan dengan Deus Ex Machina. Hilang sudah Neo yang curious akan eksistensi The Matrix. Sebagai perbandingan, pada ketiga prekuelnya, Neo berada di dalam perdebatan-perdebatan perihal apakah ia sungguh The One, kenapa ia menjadi The One, dan apakah benar ia yang akan mewujudkan nubuat Oracle perihal The Matrix.
ADVERTISEMENT
Dengan segala kekurangannya, The Matrix Resurrections bisa dikatakan sebagai sekuel yang mengecewakan. Pemikiran-pemikirannya memang menarik, namun ketika pemikiran tersebut tidak terkait dengan plot besar filmnya, hal itu menjadi sia-sia. Di sisi lain, The Matrix Resurrections tak lagi menawarkan terobosan-terobosan yang membuat ketiga prekuelnya menjadi fenoma pop.
Sejatinya, ada banyak hal yang bisa digali Lana Wachowski dari trilogi The Matrix untuk The Matrix Resurrections. Salah satunya soal bagaimana mesin dan manusia pada akhirnya benar-benar bisa hidup bersama di saat ego manusia kerap menimbulkan perang. Namun, melihat kritik-kritiknya soal industri media serta caranya memperlakukan legacy trilogi The Matrix di Resurrections, kami jadi terpikir jangan-jangan semua masalah di film disengaja. Lana Wachowski bisa jadi ingin menunjukkan betapa hampanya sebuah sequel jika eksistensinya dipaksakan. Jika memang benar itu tujuannya, misi Lana tercapai.
ADVERTISEMENT