Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Review Film Thor: Love and Thunder - Komedi Para Pencari Tuhan dan Cinta
6 Juli 2022 10:37 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Tidak terbayangkan film Thor: Love and Thunder akan jauh dari ekspektasi kami. Ketika prekuelnya, Thor: Ragnarok , memasang bar cukup tinggi dalam hal kualitas, Thor: Love and Thunder gagal mencapai level yang sama. Bahkan, dalam beberapa hal, film ini terasa lebih buruk dibanding Thor: Dark World yang disebut-sebut film Marvel Cinematice Universe (MCU) terburuk.
ADVERTISEMENT
Thor: Love and Thunder terasa sangat safe, stakeless, dan tidak berbobot. Unsur-unsur drama semakin dikesampingkan, komedi semakin dimajukan. Film ini pun terasa terpisah dari keseluruhan lore MCU. Perannya lebih seperti petualangan lepas dengan dampak ke jagat sinema Marvel relatif tipis. Walau begitu, harus diakui bahwa sutradara Taika Waititi memiliki direksi visual memanjakan mata.
Film ini mengambil setting waktu tak lama setelah event Avengers: Endgame. Lewat narasi Korg (Taika Waititi), penonton diajak menyusuri kembali perjalanan Thor (Chris Hemsworth ) di MCU selama ini, mulai dari dibuang ke Bumi oleh Odin (Anthony Hopkins), kehilangan mayoritas warganya dalam pembantaian oleh Thanos (Josh Brolin), hingga matinya Loki (Tom Hiddleston) untuk kesekian kalinya. Tragis.
Meski Thor dan anggota Avengers berhasil mengalahkan Thanos, ia belum berdamai dengan dirinya. Thor masih galau dengan situasinya dan berusaha menemukan "tempatnya" kembali di alam semesta. Untuk merespon hal tersebut, Thor menghabiskan waktu-waktunya dengan berolahraga dan menjadi freelancer bersama Guardians of The Galaxy di mana ia menemukan sense of belonging.
ADVERTISEMENT
Peter Quill (Chris Pratt), pemimpin dari Guardians of The Galaxy, punya pemikiran berbeda. Lama-lama ia jengah melihat Thor galau melulu. Meski ia mengakui kekuatan Thor adalah aset berharga untuk crew-nya, menurutnya Thor lebih seperti beban dibanding bantuan.
Segalanya berubah ketika Thor dan Quill mendapati dewa-dewa di galaksi habis dibantai satu per satu oleh figur bernama The God Butcher (Christian Bale). Salah satunya adalah Falligar, teman Thor sendiri. Terlalu banyak yang harus ditangani, keduanya memutuskan berpencar dengan Thor memeriksa kondisi di New Asgard, Bumi, di mana Valkyrie (Tessa Thompson) menjadi rajanya.
Jauh di Bumi, mantan kekasih Thor, Jane Foster (Natalie Portman ), mendapati dirinya mengidap kanker stadium 4. Berbagai eksperimen ia jalani, namun hasilnya nihil. Desperate, Foster berkunjung ke New Asgard, berharap ada bantuan di sana. Tidak disangka, bantuan itu datang dalam wujud Mjolnir, palu Thor, yang memilihnya sebagai host yang baru.
ADVERTISEMENT
Ketika segalanya bertemu di New Asgard, dari Gorr, Thor, hingga Jane Foster, kisah Thor: Love and Thunder baru benar-benar dimulai.
Kisah tersebut dibawakan Taika dengan sangat straightforward. Tak ada twist ataupun hal-hal yang bisa membuat kita berteriak "Hell Yeah!!". Formatnya sungguh simple di mana yang baik mengejar yang jahat untuk menyelamatkan para dewa di seluruh galaksi. Segala elemen yang muncul di antaranya hanyalah untuk membawa Thor, Jane, dan Gorr dari satu pertarungan ke pertarungan berikutnya.
Taika menaburkan elemen rom com di atas kisah yang straightforward itu. Untuk pertama kalinya, sejak Age of Ultron, fans MCU bisa melihat apa yang mengakhiri hubungan Thor dan Jane. Perbedaan ras bukan perkara utamanya, namun ketakutan keduanya bahwa mereka tidak akan memenuhi ekspektasi satu sama lain. Thor merasa menjadi beban bagi Jane yang excel di dunia sains sementara Jane merasa dirinya menghalangi tugas Thor sebagai superhero.
Cara Taika mengeksplor hubungan Thor dan Jane sungguh rancak. Dengan gaya komedianya, ia membuka apa saja yang salah dari hubungan keduanya. Thor dan Jane adalah cerminan dari modern relationhsip problems mulai tingginya ekspektasi, kurangnya intimasi, kurangnya apresiasi, hingga tekanan untuk mencapai couple goals yang diciptakan society. In some way, di luar superheroic flair-nya, film ini bisa terasa relatable bagi mereka yang menjalin hubungan asmara.
ADVERTISEMENT
Komedi tidak hanya hadir dari hubungan Jane dan Thor. Seperti dikatakan di awal tulisan, Thor: Love and Thunder melipatgandakan porsi komedi. Komedia hadir dalam berbagai bentuk, di berbagai sisi.
Taika, patut diakui, memang pintar menaruh momen-momen komikal di tempat tak terduga. Hal yang di tangan sutradara lain tidak lucu, di tangannya menjadi witty dan silly. Contoh paling pas adalah interaksi antara Thor dengan Mjolnir dan Stormbreaker. Taika "memanusiakan" kedua senjata tersebut bak makhluk hidup. Walau begitu, porsi komedi yang ia sajikan terlalu overwhelming menurut taste kami.
Ketika melihat porsi komedi yang begitu banyak, ada kekhawatiran hal itu akan menutupi development untuk karakter Gorr The God Butcher. Benar saja, Gorr seperti elemen yang out of place untuk film ini. Lore-nya yang begitu heavy dan dark di sumber aslinya tidak tereksplor, menyebabkan pengembangan karakternya berhenti di surface-level, tertimpa hubungan Thor dan Jane.
Seandainya Taika meluangkan waktunya untuk mengeksplor kisah The God Butcher, Thor: Love & Thunder bisa sedikit mengeksplor Atheisme. Gorr merasa kebenciannya terhadap para dewa (atau Tuhan) terjustifikasi. Menurutnya, para Dewa hanya sibuk mencari pengikut tanpa mendengar apa yang jemaatnya mohonkan dan pujikan. Pencariannya akan Tuhan mengantarkan dia kepada dewa-dewa bajingan yang selfish dan sejatinya tak peduli pada jemaatnya.
ADVERTISEMENT
Meski penempatan Gorr out of place untuk film ini, Christian Bale patut mendapat acuangan jempol untuk aktingnya. Dia membawakan karakter Gorr dengan treatment ala Patrick Bateman (dari film American Psycho) yang membesarkan namanya. Di kendalinya, Gorr tak hanya tenang dan mengerikan, tetapi juga mampu beraksi secara gleefully ala Joker yang menemukan kenikmatan dari mempermainkan para dewa.
Chris Hemsworth, di sisi lain, tampak semakin nyaman dengan perannya sebagai Thor. Ia menemukan gairahnya lagi sejak Thor: Ragnarok membawa karakternya ke pendekatan yang lebih komikal ala Jack Burton dari film Big Trouble in Little China. Thor di film ini sedikit lebih kompleks dibanding apa yang kita lihat di Thor: Ragnarok, namun Chris membawakannya dengan mudah.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Natalie Portman? Seperti Chris, Natalie mendapat kesempatan untuk mengeksplor skill comedy-nya. Film komedi memang bukan langganan Natalie yang lebih banyak bermain drama selama ini. Surprisingly, ia bisa mengimbangi Chris dengan tampil ringan, menghibur, dan antusias terhadap role barunya sebagai The New Mighty Jane Foster. Fun melihat Natalie memerankan karakter yang tidak biasa diberikan kepadanya.
Akhir kata, Thor: Love & Thunder gagal men-deliver ekspektasi kami. Kami menginginkan peningkatan dari Thor: Ragnarok, namun apa yang didapat malah sebaliknya. Thor: Love and Thunder sangat ringan, lurus, dan tidak berbobot. Porsi komedinya yang terlalu berlebih membuat potensi-potensinya untuk mengeksplor isu-isu penting atau world building MCU tidak tergali. Visualisasinya boleh bagus (jauh lebih bagus dibanding Ragnarok), namun percuma dengan storytelling yang biasa-biasa saja. Mungkin ini pertama kalinya kami bisa dengan mantap mengatakan sebuah film Marvel benar-benar terasa seperti film anak-anak dan keluarga.
ADVERTISEMENT