Konten dari Pengguna

Kisah Zulkifli Lubis, Peletak Dasar Intelijen Indonesia yang Memberontak

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
8 Juli 2020 10:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kolonel Zulkifli Lubis saat menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat pada
zoom-in-whitePerbesar
Kolonel Zulkifli Lubis saat menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat pada
ADVERTISEMENT
Kalimat itu menjadi salah satu kode etik yang diajarkan Zufkifli Lubis kepada perwira intelijen Indonesia angkatan pertama pada akhir tahun 1945. Bekas perwira intelijen tentara Jepang itu dikenal sebagai peletak dasar prinsip-prinsip spionase Indonesia setelah merdeka.
ADVERTISEMENT
Perkenalannya di dunia intelijen berawal ketika ia merantau dari tanah kelahirannya, Aceh, ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan di Algemeene Middlebare School B Yogyakarta--setingkat SMA--pada tahun 1941. Setahun kemudian, serdadu Jepang merangsek ke seluruh kepulauan Indonesia dan menutup sekolahnya.
Lubis, yang berusia 18 tahun, masuk ke pelatihan paramiliter Jepang Seinen Dojo di Yogyakarta selama enam bulan pada pertengahan kedua 1942--tanpa sepengetahuan orang tuanya. Pada 1943, ia terpilih menjadi salah satu taruna gemblengan Jepang di PETA (Pembela Tanah Air) karena potensi kepintaran dibanding fisiknya.
Selama di PETA, ia menjadi angkatan pertama yang lulus dari sekolah intelijen Jepang di Tangerang. Setelah itu, ia dikirim ke pusat intelijen Jepang di Asia Tenggara yang terletak di Singapura pada pertengahan 1944.
ADVERTISEMENT
Saat Jepang menyerah pada Agustus 1945, Lubis bisa dibilang jadi satu-satunya orang Indonesia yang sudah banyak merasakan asam garam dunia spionase militer bersama Jepang, terutama intelijen tempur dan peperangan psikologis. Ia kembali ke Jakarta dan menyusun dukungan untuk kemerdekaan republik dengan keahliannya.
Pemuda Indonesia yang sedang dilatih tentara Jepang di Seinen Dojo Bogor pada 1945. Foto: Dok. Wikimedia Commons.

Badan Intelijen Pertama

Lubis merasa Indonesia memerlukan kemampuan intelijen sebagai pertimbangan kebijakan untuk memperkuat dukungan politik sebagai negara merdeka. Ia memberi pangkat dirinya sebagai Kolonel dan membentuk organisasi intelijen pertama di Indonesia bernama Badan Istimewa (BI) pada September 1945.
Waktu itu kondisi politik-ekonomi republik belum stabil sehingga operasional BI sangat terbatas, terutama soal anggaran dan sumber daya manusia, terlebih BI merupakan organisasi swasta.
Operasinya hanya fokus di Pulau Jawa dan mengandalkan 40 anggota yang terdiri dari mantan perwira PETA serta bekas informan Jepang di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, situasi Indonesia kembali mencekam karena mendapat gangguan dari agresi militer Belanda dan Inggris seperti Pertempuran Ambarawa dan Surabaya. Lubis pun kembali melatih 36 remaja terpilih dari beberapa daerah dan dilantik menjadi perwira intelijen Indonesia angkatan pertama atas perintah Presiden Sukarno.
Sebuah sedan LaSalle 1940 Seri 52 yang ditumpangi Brigadir AWS Mallaby hangus dibakar tentara nasionalis Indonesia saat Pertempuran Surabaya 31 Oktober 1945. Foto: Dok. Wikimedia Commons.
Pada 7 Mei 1946, para perwira intelijen itu diberikan kartu pengenal dan resmi menjadi anggota Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI). Lubis menjadi kepalanya dan langsung bertanggung jawab di bawah kendali Sukarno.
Anggota-anggota BRANI banyak berperan sebagai intelijen tempur untuk mengurangi simpatisan Belanda di Surabaya dan intelijen masyarakat untuk menyatukan semangat revolusi Sukarno di luar Jawa seperti Bali, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Sumatera.
Beberapa perwira juga ditugaskan ke Singapura, Hong Kong, Thailand, dan Burma--sekarang Myanmar-- untuk membuka jalur logistik yang dibutuhkan Indonesia seperti senjata dan obat-obatan.
ADVERTISEMENT

Berseturu

Menurut Conboy dalam Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, BRANI dibubarkan pada 31 April 1947 setelah Amir Sjarifuddin, Menteri Pertahanan yang berhaluan kiri melobi Sukarno agar fungsi intelijen tidak lagi berada di bawah naungan militer, tetapi sipil. BRANI pun dilebur ke dalam badan bernama Bagian V bersama Badan Pertahanan B, di bawah langsung Kementerian Pertahanan.
Namun, Bagian V lebih banyak dipengaruhi unsur politis dan diisi simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) daripada kemampuan intelijen, sehingga dibubarkan pada awal 1948. Bersamaan dengan jatuhnya Amir dari jabatan Menteri Pertahanan--akhir November 1948, Amir ditangkap dan dieksekusi karena terlibat Pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur.
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Menteri Pertahanan di kabinet Sjahrir III pada 1947. Foto: Dok. Wikimedia Commons.
Pada awal 1952, Lubis berusaha membentuk kembali badan intelijen setelah sejak tahun 1948 Indonesia tidak memilikinya. Namun upaya ini mendapat seturu dari T.B Simatupang yang menjabat Kepala Staf Angkatan Perang--jabatan sebelum disebut Panglima TNI.
ADVERTISEMENT
Simatupang hanya mengizinkan badan intelijen setingkat staf dan diberi nama Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP). Rivalisasi kemiliteran antara Lubis dan Simatupang mulai muncul ke permukaan.

Bergabung ke PRRI/Permesta

Masa-masa setelahnya, Lubis lebih banyak berseteru dengan Simatupang dan Abdul Haris Nasution untuk mendapatkan pengaruh di militer dan pemerintahan, ketimbang fokus dengan karier intelijennya.
Pada akhir 1956, ia memilih bergabung dengan gerakan pemberontak yang mendapat bantuan intelijen Amerika Serikat, CIA, di Sumatera dan Sulawesi, untuk menggulingkan pemerintahan Sukarno yang dianggap cenderung berhaluan kiri.
Letkol Ventje Sumual sebagai Komandan Tentara and Teritorium VII/Indonesia Timur (TT-VII) mengumumkan keadaan darurat militer dan Piagam Permesta pada 2 March 1957. Foto: Dok. Wikimedia Commons.
Dalam 100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai Dengan Sejarah disebutkan Lubis berperan dalam pembentukan gerakan separatis Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Perjuangan Semesta (PRRI-Permesta) pada awal 1958. Organisasi ini juga diisi sejumlah perwira lainnya seperti Ahmad Husein, Simbolon, dan Ventje Sumual.
ADVERTISEMENT
Saat pemerintah dan golongan pemberontak berdamai, Lubis bersama perwira lainnya kembali ke Jakarta pada 1961 dan dipenjara oleh para simpatisan Sukarno. Sementara pada akhir 1965, ia dibebaskan dan mendapat kedudukan di Operasi Khusus; unit dari Komando Intelijen Negara, organisasi spionase diketuai Ali Moertopo--cikal bakal dari Badan Intelijen Negara atau BIN.
***
Referensi:
- Intelijen dan Politik Era Soekarno. 2018. Lipi Press: Jakarta.
- Chamsyah, Bachtiar, dkk. 2008. 100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai Dengan Sejarah. Republika: Jakarta
- Conboy, Ken. 2007. Menguak Tabir Intelijen Indonesia. Pustaka Primatama: Jakarta