Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bohong Putih: Antara Niat Baik dan Konsekuensi Moral
15 Desember 2024 11:58 WIB
·
waktu baca 15 menitTulisan dari Priant Arif Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Kebohongan adalah jenis penipuan dalam bentuk verbal, dan bagian dari komunikasi serta bentuk perilaku sosial yang terlibat dalam berinteraksi dengan orang lain. Sering kali orang berbohong untuk kepentingan diri sendiri dalam menghindari dari rasa sakit, atau untuk meningkatkan kenikmatan. Motivasi orang untuk berbohong juga kompleks diiringi dengan konsekuensi yang cenderung negatif, baik untuk si pembohong mau pun orang yang dibohongi. Bagaimana kebohongan ini dalam perspektif moral? Apakah kebohongan memiliki nilai moral yang buruk? sehingga sering kali dicap sebagai tindakan yang tidak etis. Apakah kebohongan untuk sesuatu yang lebih besar tetap dinilai buruk seperti berbohong untuk menyelamatkan nyawa? Maka dari itu akan saya bahas di bawah ini.
ADVERTISEMENT
Definisi Berbohong, Kenapa Orang Berbohong?, dan Dampak dari Berbohong
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Berbohong adalah menyatakan sesuatu yang tidak benar. James Edwin dalam artikel jurnal yang berjudul ”The Definition of Lying and Deception” memberikan pengertian yang lebih jelas, menurutnya berbohong adalah sebuah statement atau pernyataan yang dibuat oleh seseorang yang tidak mempercayainya dengan maksud atau niat tertentu agar orang lain mempercayainya(Mahon, 2008, hlm. 2–3) Joseph Kupfer dalam “The Moral Presumption against Lying”, menjelaskan seseorang berbohong ketika ia menyatakan pernyataan atau statement kepada orang lain yang ia yakini sebagai hal yang salah, dengan maksud agar orang lain mempercayai itu sebagai kebenaran(Joseph Kupfer, 1982, hlm. 104).
Jadi berbohong adalah menyampaikan, memberikan, dan menyatakan pernyataan atau statement yang diyakini salah kepada orang atau pihak lain dengan maksud atau tujuan agar mereka mempercayai pernyataan tersebut sebagai benar. Menariknya berbohong tidak hanya berkutat pada elemen pernyataan atau statement yang salah atau tidak benar saja, tetapi juga berbohong mengharuskan elemen niat atau tujuan, elemen ini adalah elemen penting dalam berbohong, yaitu keyakinan si pembohong terhadap kebenaran dari suatu pernyataannya. Jika seseorang menyatakan sesuatu yang benar tetapi mereka sendiri tidak mempercayainya sebagai kebenaran, tindakan itu tetap dianggap sebagai kebohongan karena niat mereka adalah untuk menipu, meskipun secara kebetulan pernyataan itu benar. Sebaliknya, jikalau dari awal seseorang menyampaikan pernyataan yang salah tanpa memiliki niat untuk menipu(seorang pelawak biasanya) itu tidak bisa disebut sebagai kebohongan.(Mahon, 2008, hlm. 8)
ADVERTISEMENT
Menurut pandangan saya sendiri, sangat sulit untuk menelaah alasan kenapa orang-orang berbohong, karena dalam keadaan yang mengharuskan pun saya mungkin memilih untuk berbohong. Dalam pengalaman pribadi, saya menyadari bahwa saya berbohong kadang kala untuk memperoleh keuntungan sosial, menghindari hukuman, menghindari dari tugas atau tanggung jawab baru yang akan membebani diri saya, menghindari dari menyakiti hati orang lain, memperdamaikan kedua orang yang berseteru dan lari dari realitas atau menghindari dari rasa sakit, bahkan awal saya puber (mungkin hampir semua anak remaja mempunyai ini) saya berbohong karena sifat narsistik yaitu demi dipandang hebat oleh teman-teman dan lingkungan sekitar, yang berarti berbohong demi kepentingan pribadi. Isenberg mengatakan dalam artikel jurnal yang berjudul “Deontology and the Ethic of lying”, menurut nya, “sulit dipahami mengapa seseorang, tanpa tujuan terselubung, menginginkan orang lain untuk mempercayai suatu proposisi P, sementara ia sendiri berpikir bahwa P adalah salah, Jarang ada pembohong yang sekadar ingin menipu saja, pasti ada tujuan atau alasan terselubung dibaliknya” (Isenberg, 1964, hlm. 476)
ADVERTISEMENT
Motivasi untuk berbohong juga bervariasi sepanjang periode kehidupan kita. Selama masa kanak-kanak, anak-anak biasanya berbohong untuk bersenang-senang dan untuk menghindari hukuman dari orang tua atau figur otoritas lainnya. Lalu bertambahnya usia seseorang berbohong untuk survive dalam kehidupan ini, menghindari ancaman yang membahayakan reputasi, harga diri, bahkan nyawanya, dan juga untuk menjaga kesejahteraannya.
Motivasi berbohong menurut Farisha dan Sakkel bisa dijelaskan melalui berbagai konsep atau teori yang telah dikemukakan oleh para ahli-ahli psikologis, dimulai lewat teori psikologi Sigmund Freud, lalu teori Behavioristik, dan teori hierarchy of needs Abraham Maslow.
Dalam teori kepribadian Sigmund Freud berbohong bisa dijelaskan sebagai interaksi antara Id, Ego dan SuperEgo. Id adalah bagian impulsif (dan tidak sadar) dari jiwa kita yang merespons secara langsung terhadap dorongan, kebutuhan, dan keinginan dasar. Id berisikan sifat-sifat yang dibawa sejak kelahiran sebagai sumber tingkat laku atau sebagai energi penggerak tingkah laku manusia, maka dari itu Id beroperasi berdasarkan “prinsip kesenangan” dari dalam diri manusia untuk mencapai ketenangan, kenikmatan dan kesenangan, dan mengurangi atau bahkan menghindari ketegangan. Ego adalah bagian dari Id yang timbul oleh pengaruh langsung dari dunia luar dan menjadi sistem atau struktur kepribadian manusia. Ego berfungsi menyalurkan dorongan Id ke alam nyata secara rasional yang diterima oleh moral dan norma, maka dari itu Ego adalah bagian rasional dari jiwa yang bekerja sesuai “prinsip kesadaran”. SuperEgo, adalah komponen moral jiwa, yang mewakili nilai-nilai dan standar sosial yang terinternalisasi, superego adalah hasil dari perkenalannya dengan norma sosial budaya, yang terdiri dari nilai-nilai luhur seperti nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai tradisional. Superego lebih tertuju ke arah kesempurnaan daripada kesenangan hidup, maka dari itu, superego beroperasi berdasarkan prinsip idealistis, yang menuntut kesempurnaan berdasarkan norma dan moral yang berlaku(Hamali, 2018, hlm. 288–290).
ADVERTISEMENT
Dari pengertian di atas, maka seseorang berbohong bisa jadi karena ada dorongan dari id, untuk menjauh dari realitas karena kenyataan atau realitas dapat menimbulkan kecemasan dan ketegangan dalam dirinya. Takut untuk menghadapi realitas, sehingga ia menyembunyikan kebenaran dan berbohong. Ketika ego tidak dapat mengatasi beberapa rangsangan dari Id yang menyulitkan, ia mencari alternatif dengan membuat pembenaran melalui kebohongan. SuperEgo, sebagai sisi moral dari kepribadian kita, juga dapat berperan dalam hal ini. SuperEgo menginginkan kita menjadi sempurna dalam arti apa pun. Jadi, untuk mencapai kesempurnaan dan menghindari kekurangan, kita sering berbohong agar terlihat sempurna di hadapan orang lain, lingkungan sekitar, dan bahkan di mata kita sendiri. Dengan kata lain, mekanisme pertahanan berperan dalam memutuskan bagaimana cara menyembunyikan kekurangan melalui kebohongan. Kebohongan dapat menyembunyikan atau mengurangi konflik atau stres yang menimbulkan kecemasan. Terkadang, kita menolak kebenaran agar tidak muncul di pikiran sadar, atau kita mencari pembenaran atas perilaku yang tidak diinginkan atau tidak dapat diterima dengan menggunakan pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan(Farisha. A. T. P & Sakkeel. K. P, 2015, hlm. 47).
ADVERTISEMENT
Perilaku orang berbohong juga bisa kita lihat dari teori behavioristik, yaitu teori yang mempelajari perilaku manusia(Eni Fariyatul Fahyuni & Istikomah, 2016, hlm. 26). Menurut teori ini orang yang berbohong perilakunya didapat dari pembelajaran seperti halnya mempelajari respons perilaku sederhana dan kompleks lainnya, bila dari tindakan berbohong tersebut didapatkan sebuah keuntungan maka perilaku berbohong tersebut akan terus diulang-ulang dan menjadi bagian dari repertoar perilaku.
Selain itu, menurut teori hierarchy of needs Abraham Maslow, teori ini mengatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi secara hierarki, Sistem hierarki kebutuhan teori Maslow ini terdiri dari lima kategori motif yang disusun secara bertingkat, di mana kebutuhan pada tingkat paling rendah harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum seseorang dapat berfokus pada pemenuhan kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi(Andjarwati, 2015, hlm. 48). Dalam proses memenuhi kebutuhan ini jikalau terdapat sebuah hambatan atau rintangan maka manusia memakai segala cara untuk mengatasinya, termasuk dengan berbohong. Ketika merasa perlu berbohong demi mendapatkan makanan, kita melakukannya. Setelah kebutuhan makanan terpenuhi, fokus kita beralih ke kebutuhan lain, seperti rasa kebersamaan. Dalam situasi tertentu, berbohong menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan demikian, terkadang kebohongan dilakukan demi kepentingan pribadi.
ADVERTISEMENT
Masuk akal jika seseorang tidak bisa lepas dari berbohong dan kebohongan, karena bohong adalah bagian dari interaksi manusia dan merupakan bentuk perilaku sosial yang terlibat dengan orang lain. Berbohong dalam perspektif mana pun dianggap sebagai perilaku, tindakan, dan hal yang negatif, tidak terpuji atau tercela, karena menyampaikan pernyataan yang tidak benar kepada orang lain. Berbohong sendiri berlaku universal, siapa pun dapat berbohong mau anak-anak, remaja, dewasa, pejabat, influencers, tokoh agama dan lainnya, dengan motif atau konteks apa pun.
Berbohong setidaknya memiliki dua komponen negatif yang melekat pada semua kebohongan(Joseph Kupfer, 1982, hlm. 103). Nilai buruk yang pertama dari kebohongan adalah membatasi kebebasan orang yang dibohongi. Ketika seseorang berbohong, mereka sebenarnya memanipulasi informasi sehingga orang yang mendengarnya tidak bisa membuat keputusan yang benar berdasarkan kenyataan. Ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak atau kebebasan orang lain. Akibatnya, tindakan berbohong cenderung mengarahkan pembohong pada sikap yang tidak menghormati orang lain, karena mereka melihat orang yang dibohongi sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka. Nilai buruk yang kedua dari kebohongan adalah konflik internal atau pertentangan diri yang pembohong alami. Ini terjadi ketika seseorang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang sebenarnya ia yakini. Kebohongan menciptakan ketegangan antara apa yang dikatakan dan apa yang dipercayai, yang dapat merusak integritas kepribadian si pembohong. Konflik ini dapat menyebabkan tekanan psikologis dan, seiring waktu, dapat mengancam keseimbangan mental dan karakter si pembohong. Kedua nilai buruk ini (pembatasan kebebasan orang lain dan konflik internal pada diri pembohong) dianggap sebagai "kekuatan" yang mengarahkan pembohong pada potensi kerugian atau kehancuran karakter. Risiko ini dikatakan sebagai bagian dari tindakan berbohong, meskipun efeknya bisa berbeda-beda tergantung pada keadaan hidup pembohong dan orang yang dibohongi. Nilai buruk tersebut dianggap melekat dalam semua kebohongan dan tidak tergantung pada keadaan luar. Hal ini berhubungan dengan aspek-aspek mendasar dari bahasa dan psikologi manusia(Joseph Kupfer, 1982, hlm. 103).
ADVERTISEMENT
Pembatasan kebebasan orang yang dibohongi adalah ciri yang melekat pada semua kebohongan yang berhasil—artinya kebohongan itu diterima oleh orang lain sebagai kebenaran. Joseph Kupfer menjelaskan ada dua cara utama bagaimana kebohongan mengganggu kebebasan orang yang dibohongi, yang pertama yaitu memberikan ilusi pilihan, kebohongan bisa menyarankan pilihan yang sebenarnya tidak ada. Ini membuat orang yang dibohongi menggunakan energi dan pemikirannya pada sesuatu yang pada dasarnya sia-sia, karena pilihannya tidak realistis atau tidak benar-benar ada. Yang kedua, Menghilangkan pilihan nyata, kebohongan juga bisa menghalangi orang yang dibohongi dari mempertimbangkan pilihan yang sebenarnya ada. Dengan kata lain, alternatif yang mungkin sebenarnya dapat dipilih menjadi "disembunyikan" atau tidak disadari olehnya karena informasi yang salah(Joseph Kupfer, 1982, hlm. 106). Efeknya yaitu mengalihkan penalaran orang yang dibohongi. Inferensi atau kesimpulan yang salah diambil, rencana tindakan yang sia-sia dirancang, memilih jalur tindakan yang tidak relevan, dan kebohongan tidak hanya menentukan apa yang dipikirkan oleh orang yang dibohongi, tetapi juga mempengaruhi cara ia memandang sesuatu.
ADVERTISEMENT
Maka kebohongan itu sangat dinilai buruk karena mempersempit cakrawala atau isi pemikiran orang yang dibohongi, selain itu kebohongan juga membatasi kemampuan orang yang dibohongi untuk memilih dan bertindak berdasarkan pilihan si pembohong. Kebohongan menciptakan "kondisi keterbatasan" yaitu kondisi di mana pilihan menjadi terbatas karena alternatif-alternatif yang mungkin dipilih tidak tersedia atau dianggap tidak layak.
Secara keseluruhan, kebohongan membawa risiko yang melekat pada pembohong, baik dari segi moral maupun psikologis. Meski dampak spesifiknya bisa bervariasi, tindakan berbohong itu sendiri selalu memiliki potensi untuk merugikan si pembohong, terutama dalam hal integritas pribadi dan hubungan dengan orang lain. Dua nilai buruk yang melekat: pembatasan kebebasan dan konflik batin. Ini adalah alasan mendasar mengapa kebohongan dianggap perlu dihindari. Nilai buruk yang melekat pada kebohongan membawa dua potensi bahaya lebih lanjut: 1) kebiasaan tidak menghargai orang lain, karena dengan berbohong kita menempatkan kepentingan kita di atas hak orang lain untuk mengetahui kebenaran, dan 2) perpecahan atau disintegrasi kepribadian, karena konflik antara tindakan dan keyakinan.
ADVERTISEMENT
Selain memberikan efek negatif pada diri si pembohong dan orang yang dibohongi, berbohong juga menimbulkan dampak yang tidak positif pada masyarakat. Saat berbohong sudah menjadi praktik umum di masyarakat, hal itu menjadi tidak efisien karena orang harus meluangkan waktu dan sumber dayanya sedikit lebih banyak untuk memastikan atau memverifikasi informasi yang seharusnya bisa dipercaya. Dalam contoh berita-berita hoax yang marak terjadi sampai saat ini, kita selain harus memahami konteks yang sedang terjadi juga harus memverifikasi kebenarannya. Ini menunjukkan bahwa dampak kebohongan tidak hanya terbatas pada individu, tetapi bisa merugikan sistem atau kelompok secara keseluruhan, menciptakan ketidakpercayaan dan mengurangi efisiensi.
Namun, walaupun begitu ada kebohongan yang pertimbangan-pertimbangannya memungkinkan kita untuk memaafkan atau membenarkan beberapa kebohongan. Beberapa kebohongan ini bisa memiliki tujuan yang lebih besar atau manfaat bagi yang dibohongi, yang membuatnya bisa dimaklumi atau bahkan dibenarkan dalam beberapa konteks. Apa yang membuat kita dapat memaklumi dan membenarkan beberapa kebohongan tersebut adalah karena “kondisi material”, yaitu isi kebohongan dan situasi kebohongan yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Joseph Kupfer mengklasifikasikan 2 jenis kebohongan yang dapat dimaklumi dan dibenarkan, yaitu kebohongan kecil atau bohong putih(white lies) dan kebohongan defensif.
Apa Itu Bohong Putih(White Lies) dan Bohong Defensif, Bagaimana Etika dan Moral Memandangnya
White lies dalam artikel jurnal karya Joseph Kupfer adalah kebohongan kecil yang biasanya tidak memiliki signifikansi yang berarti terhadap masalah serius atau isu penting(Joseph Kupfer, 1982, hlm. 113). Contohnya adalah mengatakan sesuatu yang tidak sepenuhnya benar karena untuk menjaga perasaan orang lain. Dalam hal ini, dampak kebohongan terhadap kebebasan orang lain sangat kecil. Sehingga sering kali kebohongan ini dapat diterima atau bahkan dimaafkan, karena itu kebohongan kecil menurut Joseph Kupfer berasal dari kelemahan manusia. Seperti kurangnya kemampuan untuk menyampaikan sesuatu dengan baik atau spontanitas yang tidak sempurna. Kelemahan yang sifatnya manusiawi ini adalah alasan mengapa white lies atau kebohongan kecil dapat dimaafkan dan dimaklumi. Berbohong untuk tidak menyakiti hati orang lain justru adalah bentuk usaha untuk menjaga hubungan sosial, meskipun dilakukan dengan cara yang tidak sepenuhnya jujur.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan kebohongan kecil(white lies) kebohongan defensif terjadi dalam situasi yang lebih serius, ini melibatkan pembenaran moral ketika seseorang terancam, misalnya seseorang mungkin berbohong untuk melindungi dirinya dari kekerasan atau paksaan. Dalam konteks ini berbohong saya anggap perlu, untuk melindungi nilai yang lebih besar, yaitu kebebasan atau keselamatan.
Bisa saya simpulkan white lies atau kebohongan putih/kecil adalah kebohongan yang dilahirkan atau ditujukan atau diniatkan untuk tujuan menjaga atau menciptakan kebaikan. Jikalau hal ini tidak digunakan maka akan berdampak buruk dan negatif pada orang dan lingkungan secara moral.
Semua kebohongan secara definisi memiliki arti yang negatif, seperti yang sudah saya paparkan di atas, semua kebohongan yang berhasil itu pasti melekat dua nilai buruk, yaitu pembatasan kebebasan orang lain dan konflik internal pada diri pembohong. Namun, mengapa sebagian kebohongan bisa untuk dimaafkan dan dimaklumi, seperti contoh di atas, yaitu kebohongan kecil(white lies) dan kebohongan defensif(defensive lie). Dari dua contoh tersebut, saya memahami bahwa setiap kebohongan memiliki tingkat keseriusan yang berbeda-beda tergantung situasi, konteks dan konsekuensi. Maka dari sini, timbul pertanyaan, Apakah semua kebohongan memiliki nilai moral intrinsik yang berbeda-beda? Dalam artian satu kebohongan bisa memiliki nilai yang lebih buruk daripada kebohongan lain, dan sebaliknya, kebohongan bisa memiliki bobot nilai yang rendah dibandingkan kebohongan lain. Seperti contoh, kebohongan kecil (white lie) seperti pujian basa-basi, berbeda secara dampak moral dengan kebohongan serius seperti menyembunyikan informasi penting.
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab, sebelumnya Arnold Isenberg mengkritik teori deontologi dalam karyanya, Isenberg menilai teori deontologi kaku dan tidak realistis(Isenberg, 1964, hlm. 471), dan oleh karena itu pertanyaan saya di atas tidak bisa dijawab oleh teori tersebut, karena teori ini mengalami kesulitan dalam menjelaskan mengapa ada kebohongan yang memiliki bobot moral yang rendah dibandingkan dengan kebohongan yang lain, misalnya kebohongan untuk menyelamatkan nyawa secara moral dapat diterima, dibandingkan kebohongan untuk mencuri keuntungan pribadi.
Menurut deontologi, suatu tindakan dinilai berdasarkan kewajiban moralnya, dan bukan dari akibat atau konsekuensinya. Maka dari itu, deontologi berfokus pada tindakan itu sendiri, dan bukan pada tujuan yang ingin dicapai(Isenberg, 1964, hlm. 473). Prinsip moral intrinsik kebohongan dalam teori etika deontologi adalah aksioma—kebenaran yang berlaku universal dan konsisten. Jika aksioma harus konstan, maka semua kebohongan, secara teori, harus memiliki bobot moral yang sama.
ADVERTISEMENT
Namun, pada kenyataannya, realitas moral menunjukkan bahwa konteks mempengaruhi persepsi etis terhadap kebohongan, persoalan ini menimbulkan paradoks terhadap teori deontologi, Isenberg menguji kekonsistenan etika deontologi dalam menghadapi realitas moral yang kompleks(Isenberg, 1964, hlm. 472). Kebohongan selalu mempunyai motif tertentu dan konsekuensi yang mungkin terjadi, ini menyebabkan nilai moral intrinsik pada kebohongan bisa mempunyai nilai baik dan buruk tergantung situasi, konteks, dan konsekuensi. Isenberg menyarankan bahwa nilai moral intrinsik dari kebohongan dipengaruhi atau ditentukan oleh contextual qualifiers (kualifikasi konteks) yaitu, kepada siapa kebohongan itu diarahkan, motif apa di balik kebohongan dan konsekuensi yang diantisipasi dari kebohongan, dan bukan hanya oleh tindakan kebohongan itu sendiri seperti yang deontologi paparkan dalam teorinya(Isenberg, 1964, hlm. 471).
ADVERTISEMENT
Kebohongan secara alami memiliki kecenderungan gravitasi moral ke arah yang lebih negatif, bahkan dalam kasus kebohongan yang memiliki dampak secara moral itu bobotnya rendah pun tetap menyangkut dua nilai negatif pada kebohongan, yaitu pembatasan kebebasan orang lain dan konflik internal pada diri pembohong, Ini karena kebohongan adalah tindakan yang sejak awal sudah kompleks, tidak netral, dan cenderung menimbulkan masalah etis, dan juga, kebohongan selalu melibatkan niat dan motif tertentu dari awal. Maka dari itu, kebohongan seharusnya dinilai baik atau buruk, bermanfaat atau tidak berdasarkan situasi, konteks, dan konsekuensinya bukan hanya berfokus pada tindakannya saja atau konsekuensinya saja seperti yang dianut oleh teori deontologi. Isenberg mengalami kesulitan dalam menarik kesimpulan yang dapat ditarik tentang moralitas kebohongan secara menyeluruh, karena kebohongan adalah tindakan yang terlalu rumit untuk disederhanakan menjadi prinsip moral universal(Isenberg, 1964, hlm. 480), Moralitas kebohongan sangat tergantung pada konteksnya, termasuk dampak, niat, dan hubungan antara pelaku kebohongan dan korbannya.
ADVERTISEMENT
Prinsip “berbohong itu salah” menurut Joseph Margolis adalah tautologi tidak memerlukan pembenaran lebih lanjut, karena sudah jelas bahwa kebohongan secara inheren dianggap salah(Margolis, 1963, hlm. 415). Namun, ini tidak cukup untuk menilai setiap tindakan secara moral—karena kita juga perlu pertimbangan kontekstual atau prinsip moral lain yang lebih luas untuk menilai apakah setiap kebohongan itu adalah salah, atau tidak. Kita perlu kriteria yang lebih jelas dan mendetail untuk hal ini, menilai apakah suatu kasus tertentu benar-benar merupakan kasus kebohongan dan apakah suatu kasus kebohongan tertentu secara moral memang salah.
Prinsip “berbohong itu salah” adalah tautologi, tidak bisa diperdebatkan lagi. Namun, sebagai tautologi pernyataan tersebut kosong dan bahkan berlebihan dalam diskusi moral tentang apakah suatu tindakan salah karena merupakan kasus kebohongan(Margolis, 1963, hlm. 415), maka perlu untuk diuraikan lebih lanjut, dan tidak bisa sampai pada definisi saja, kenyataannya tindakan apa pun yang dinilai sebagai kasus kebohongan, sebenarnya mungkin masih memiliki fitur yang secara moral dapat dimaafkan. Artinya, meskipun tindakan tersebut salah sejauh itu adalah kebohongan, tindakan tersebut mungkin tidak sepenuhnya atau secara keseluruhan salah. Seperti berbohong untuk menyelamatkan nyawa.
ADVERTISEMENT
Senada dengan isenberg, Margolis pun mengatakan yang dibutuhkan adalah mengetahui kriteria untuk menilai suatu tindakan sebagai kebohongan itu salah atau tidak, kriteria ini mencangkup pertimbangan-pertimbangan seperti, pernyataan (apakah kebohongan itu benar-benar menipu, atau hanya menyembunyikan sebagian kebenaran?), niat (apakah niatnya untuk melindungi seseorang, menyelamatkan diri, atau merugikan orang lain?), dan juga motif (apakah ada justifikasi kuat di balik kebohongan tersebut?), serta pertimbangan hak orang yang dibohongi, hak orang yang dibohongi untuk mengetahui kebenaran(Margolis, 1963, hlm. 416–417).