Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Biografi Buya Hamka, Pendidikan, dan Latar Belakang Keluarganya
27 Oktober 2024 11:14 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Profil Tokoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Karya dan pemikirannya tidak hanya membentuk karakter bangsa, tetapi juga menginspirasi banyak generasi.
Biografi Buya Hamka
Biografi Buya Hamka menggambarkan sosok seorang ulama , sastrawan, dan tokoh masyarakat yang berpengaruh di Indonesia. Ia merupakan seorang pemikir Islam yang produktif dan visioner.
Selain dikenal sebagai pendakwah yang gigih, Hamka juga aktif dalam dunia penulisan dan menerbitkan banyak karya yang mencerminkan pandangannya tentang agama, budaya, dan kehidupan sosial.
Latar Belakang Keluarga Buya Hamka
Dikutip dari fkip.umri.ac.id, berikut adalah penjelasan lengkap terkait latar belakang keluarga Buya Hamka hingga karya-karya yang sudah dibuatnya.
Buya Hamka, lahir dengan nama Abdul Malik Karim Amrullah, muncul dari latar belakang keluarga yang kaya akan nilai-nilai keagamaan.
Ia lahir pada 17 Februari 1908 di Tanah Sirah, yang kini termasuk dalam Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat.
ADVERTISEMENT
Hamka adalah anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Abdul Karim Amrullah, seorang ulama terkemuka, dan Siti Safiyah.
Dalam keluarganya, ayahnya dikenal sebagai "Haji Rasul" dan memiliki pengaruh besar dalam perjalanan hidup Hamka.
Keluarga Hamka dikenal sebagai pelopor pembaruan Islam di Minangkabau, yang melawan berbagai tradisi adat yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Ayahnya, Haji Rasul, menikahi Siti Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana, meninggal di Mekkah. Dari pernikahan tersebut, Hamka memiliki seorang kakak tiri bernama Fatimah.
Fatimah menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur, yang juga berperan dalam perkembangan pemikiran Islam di daerah tersebut.
Saat kecil, Hamka dibesarkan oleh kakek dan neneknya di Maninjau. Ia mendengarkan pantun-pantun yang mencerminkan keindahan alam Minangkabau.
ADVERTISEMENT
Ayahnya sering bepergian untuk berdakwah, dan ini membuat Hamka kecil harus mandiri dan belajar membaca Al-Quran di bawah bimbingan kakak tirinya.
Ia memasuki Sekolah Desa pada usia tujuh tahun, dan setelah itu melanjutkan pendidikan di Diniyah School yang dibuka oleh Zainuddin Labay El Yunusy.
Buya Hamka menikah dua kali. Istrinya yang pertama adalah Siti Rahmah, dengan siapa ia memiliki tiga anak, Zaitun, Abdul Karim, dan Ahmad.
Setelah Siti Rahmah meninggal, Hamka menikah lagi dengan Noorhaida, dan dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua anak: Nurul Aini dan Mukhlis.
Selain itu, Hamka memiliki dua saudara kandung bernama Abdul Jalil dan Abdullah. Keluarga merupakan bagian penting dalam hidup Hamka, yang selalu mendukung karier dan perjuangannya.
ADVERTISEMENT
Pendidikan Buya Hamka
Pendidikan Hamka merupakan salah satu fondasi yang membentuk pemikirannya.
Pada tahun 1918, ia berhenti dari Sekolah Desa setelah tiga tahun belajar. Ayahnya kemudian memasukkan Hamka ke Thawalib, sebuah lembaga pendidikan yang mengedepankan pendidikan agama. Di Thawalib, para murid diwajibkan menghafal kitab-kitab klasik dan mempelajari kaidah bahasa Arab.
Meski menghadapi berbagai tantangan dalam proses belajarnya, Hamka menunjukkan minat yang besar terhadap bahasa Arab, terutama dalam pelajaran arudh yang berkaitan dengan syair.
Namun, cara belajar di Thawalib yang menekankan hafalan membuatnya merasa jenuh, terlebih karena banyak murid di sana lebih tua darinya.
Di tengah kesibukan belajar, Hamka tetap aktif bergaul dan bahkan dikenal sebagai anak nakal yang senang menggoda teman-temannya.
ADVERTISEMENT
Di usia remaja, Hamka mengalihkan fokus pendidikannya dan pada usia 16 tahun, ia merantau ke Jawa.
Selama merantau, ia berusaha untuk mendalami lebih dalam mengenai Islam dan kebudayaan dengan cara otodidak.
Pengalaman ini menjadi titik balik yang membentuk sikap dan pandangannya terhadap dunia.
Karier Buya Hamka
Karier Buya Hamka dimulai saat ia kembali ke Tanah Air setelah menuntut ilmu.
Kembali ke Padang Panjang, ia terlibat dalam Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial.
Namun, awalnya, ia menghadapi penolakan saat melamar sebagai guru di sekolah Muhammadiyah karena kurangnya ijazah.
Penolakan tersebut memotivasi Hamka untuk belajar lebih keras dan meningkatkan kemampuannya, termasuk dalam berbahasa Arab.
Pada tahun 1936, setelah menikah, Hamka menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat yang berisi gagasan dan pandangannya tentang berbagai isu sosial dan politik.
ADVERTISEMENT
Dalam waktu singkat, namanya melambung berkat karya-karya sastranya, seperti "Di Bawah Lindungan Ka'bah" dan "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck."
Karya-karya tersebut tidak hanya dikenal di kalangan pembaca lokal, tetapi juga mendapatkan perhatian di tingkat nasional.
Selain sebagai sastrawan, Hamka juga aktif dalam politik.
Ia menjadi anggota Masyumi dan terpilih sebagai anggota Konstituante dalam pemilihan umum 1955.
Selama masa ini, Hamka terlibat dalam perumusan dasar negara dan menyuarakan pendapatnya terkait isu-isu penting bagi bangsa.
Namun, seiring dengan pembubaran Masyumi, Hamka memilih untuk lebih fokus pada kegiatan literasi dan keagamaan.
Hamka kemudian menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975.
Dalam posisi ini, ia berperan penting dalam menyuarakan kepentingan umat Islam dan memperjuangkan pemahaman Islam yang moderat.
ADVERTISEMENT
Keterlibatannya di MUI menegaskan komitmennya dalam menjaga kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Di samping itu, Hamka juga menjadi penggagas berbagai kegiatan dakwah dan pendidikan, yang membantu mengembangkan masyarakat yang lebih berpengetahuan.
Karya Buya Hamka
Karya-karya Buya Hamka merupakan puncak dari pengabdian dan intelektualitasnya.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah "Tafsir Al-Azhar," tafsir Al-Quran yang ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga dapat diakses oleh masyarakat umum.
Karya ini menjadi rujukan bagi banyak umat Islam dan menunjukkan kedalaman pemahaman Hamka terhadap teks-teks agama.
Selain itu, novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" menjadi salah satu karya sastra terpenting di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Novel ini menggambarkan cinta dan perjuangan yang dihadapi oleh tokoh-tokohnya, serta konflik antara tradisi dan modernitas.
Karya ini telah diadaptasi ke layar lebar, yang semakin mengukuhkan posisi Hamka sebagai sastrawan terkemuka.
Hamka juga menulis banyak artikel dan esai yang memuat pemikiran-pemikirannya tentang Islam, pendidikan, dan kehidupan sosial.
Karya-karya ini tidak hanya menggugah kesadaran pembaca, tetapi juga memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Karya-karyanya mencerminkan karakter keislaman dan semangat kebangsaan yang tinggi.
Penghargaan Buya Hamka
Penghargaan yang diterima Buya Hamka mencerminkan dedikasinya terhadap bangsa dan agama.
Ia diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, sebuah penghargaan yang diberikan atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan dan pendidikan di Indonesia.
Selain itu, Hamka juga menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia, yang menunjukkan pengakuan internasional terhadap kontribusinya.
ADVERTISEMENT
Sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, Hamka berhasil membawa lembaga ini menjadi wadah yang penting dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam.
Kontribusinya dalam organisasi Muhammadiyah juga menjadi salah satu pilar penting dalam mengembangkan pendidikan dan sosial di Indonesia.
Di samping itu, namanya diabadikan dalam Universitas Hamka milik Muhammadiyah, yang menjadi lembaga pendidikan tinggi yang terus berkembang hingga saat ini.
Kehidupan dan perjuangan Buya Hamka memberikan inspirasi yang mendalam bagi generasi penerus.
Melalui biografi Buya Hamka, dapat dipahami bahwa ketekunan, dedikasi, dan komitmennya terhadap agama dan bangsa menjadi warisan yang berharga.
Karya-karya dan kontribusinya tetap relevan dan menjadi referensi penting dalam memahami sejarah dan budaya Indonesia. (Shofia)
ADVERTISEMENT