Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hobun Felem di Atambua
8 Mei 2023 12:31 WIB
Tulisan dari Puji Alphatehah Adiwijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Atambua, sebuah kota berkembang yang menjadi ibukota dari Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kota ini juga merupakan kota terdepan dan terdekat dari negara tetangga kita Republik Demokratik Timor Leste. Selayaknya kota berkembang lainnya di Indonesia, Atambua memiliki berbagai potensi baik dari segi Sumber Daya Alam maupun Manusia. Dibalik segala potensi sumber daya yang ada, Atambua begitu juga Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah yang kaya akan budaya maupun potensi ekokultural lainnya yang tentu saja belum banyak dijamah oleh khalayak ramai. Sebagai bentuk dari pengenalan budaya terhadap generasi-generasi penerus yang ada, sebuah organisasi dibawah naungan Jalinan Ekokultural Fohorai menyelenggarakan kegiatan Hobun Felem.
ADVERTISEMENT
Suara gemuruh disertai gelak tawa menggema di pelataran Plaza Pemerintahan Atambua, terlihat sekumpulan orang disertai lampu yang sengaja di gelapkan sedang menatap layar besar yang memutar film pendek. Seketika diselingi dengan sesi hiburan berupa live music yang dibawakan oleh Atambua Music Society ditambah dengan pameran karya lukisan oleh mas Nasrijal Anasrul yang telah banyak dipesan oleh band-band hard metal manca negara.
Yap, ini adalah Hobun Felem, sebuah kegiatan yang digagas oleh Jalinan Ekokultural Fohorai dengan dukungan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat LPDP dan dana Indonesiana. Kegiatan ini berasal dari Bahasa Tetun yang berarti Nonton Bersama. Kegiatan Hobun Felem di Atambua ini diketuai oleh Emilio Rafael Seran yang juga merupakan penulis ataupun sutradara dari Film Luli (salah satu film yang ditampilkan).
Pada tanggal 2 Mei 2023, Hobun Felem menampilkan lima film pendek yang keseluruhannya mengambil tema tentang “Politik, Kebudayaan dan Kreatifitas” Kelima film ini masing-masing adalah produksi dari daerah-daerah di Nusa tenggara Timur yang sebelumnya belum pernah tampil ataupun ditayangkan dimana-mana. Film-film ini diantaranya adalah
Film pertama yang diputar berjudul “Amalake” Sebuah film besutan Sutradara Elmo Alessio yang berasal dari Lembata. Film ini menceritakan tentang Dua bocah dengan kehidupan sehari – di salah satu kampung di Lembata. Yaitu, Ricky dan Shelo.
ADVERTISEMENT
Ricky merupakan seorang Bocah Periang. Berbeda dengan sahabatnya Shelo, yang terlahir sebagai anak pendiam. keduanya bermain (Pesiar) di Hutan Bakau tempat biasanya, dari atas pohon hingga berjalan menyusuri tanah garam dengan obrolan jenaka sedikit berat. Kadang mereka memungut sampah, Sampah yang menjadi contoh nyata akan permasalahan di Tanah Lembata. Ikhtisar dari film ini adalah mengkritik tentang berbagai permasalahan yang terjadi sebagai efek domino dari berbagai masalah dibidang politik maupun pemerintahan
Film kedua yang diputar berjudul “Oe Lo’Lif” Sebuah film besutan Sutradara Emilianus U.K. Patar yang menceritakan tentang Nardi, seorang petani muda berusia 29 tahun yang bertugas membagikan air kepada kelompok tani Oe Lo'lif yang beranggotakan 7 orang petan. Akibat kemarau panjang, kelompok tani Oe Lo'lif hanya memiliki satu saluran air yang mengalir melalui persawahan pedesaan. Tugas Nardi adalah membagikan jatah air untuk setiap petani agar mendapatkan jumlah air yang sama. Tugas yang diberikan kepadanya tidak dijalankan dengan baik, hingga memperumit masalah kelompok tani Oe Lo'lif.
Film Ketiga yang diputar berjudul “Luli” besutan dari Sutradara sekaligus ketua panitia dari Hobun Felem ini yaitu Emilio Rafael Seran. Film ini menceritakan tentang Oscar, seorang mahasiswa yang mendapatkan tugas mendokumentasikan Rumah adat disalah satu kampung adat & bertemu dengan Penjaga Kampung adat yang sudah diperingati agar menjada sikap dan tindakan tetapi dilanggar oleh Oscar dan mendapatkan karma dari kesalahan tersebut
Film Keempat yang diputar berjudul “Awololong Melolong” besutan dari Sutradara Abdul Gafir Sarabiti. Film ini menceritakan tentang Sebuah pulau di tengah teluk laut Lewoleba bernama pulau siput atau yang lebih dikenal luas sebagai Awololong ini merupakan pulau bersejarah yang disakralkan oleh suku-suku dan masyarakat Lembata yang meyakini Awololong sebagai kampung lama dari leluhurnya. Menurut cerita rakyat dan sejarah lisan, Awololong sebagai negeri makmur yang dilanda bencana air bah sehingga sebagian besar penghuninya yang selamat melarikan diri dari Awololong. Pada tahun 2018 masyarakat Lembata dihebohkan dengan adanya kegiatan pembangunan proyek pariwisata di Awololong. Masyarakat adat, masyarakat nelayan, aktivis lingkungan hidup dan mahasiswa bergandengan tangan menolak proyek pariwisata di Awololong karena dianggap akan merusak lingkungan, bukan merupakan prioritas pembangunan kala itu akan mengaburkan Awololong sebagai situs budaya dan sarat akan indikasi korupsi. Penolakan tersebut dilakukan dengan rangkaian demonstrasi dan melaporkan dugaan korupsi kepada aparat penegak hukum. selain di kota Lewoleba, demonstrasi juga terjadi di Kota Makasar, Kupang dan Jakarta. Setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan akhirnya perjuangan penolakan pembangunan Awololong dan pengusutan dugaan korupsi pariwisata dengan nomenklatur pembangunan jembatan titian, kolam renang apung, pusat kuliner serta fasilitas lainnya di Awololong berhasil dimenangkan oleh segenap rakyat Lembata.
Film Kelima yang diputar berjudul “Tumbas” besutan dari Sutradara Ahmad N. Fakminudin. Film ini menceritakan tentang Endang (43) adalah seorang istri yang gemar membeli barang yang tidak ia butuhkan. Suatu ketika ia berdebat hebat dengan suaminya lantaran ingin memuaskan gengsinya. Namun, perdebatan tersebut berbuntut panjang bagi keluarga Endang.
ADVERTISEMENT
Kelima film ini diputar dalam rangka mengenalkan generasi muda terhadap budaya maupun aspek-aspek sosial yang ada di masyarakat dikawasan Nusa tenggara Timor. Kegiatan ini juga menjadi sebuah ajang nostalgia bagi generasi tahun 90-2000 an yang tentu saja akrab dengan yang disebut sebagai layar tancap, yap sebuah kegiatan nonton bersama menggunakan layer besar di tempat terbuka.
Tidak hanya menonton film, Hobun Felem juga menjadi ajang bertukar pikiran maupun silaturahmi masyarakat karena di setiap interval antar film akan disertakan waktu untuk diskusi sebagai ajang untuk menyampaikan opini membangun bagi penyelenggara kegiatan maupun produsen film yang diputar tersebut.
Kegiatan ini sejatinya adalah kegiatan yang baik karena dari kegiatan ini segala aspek yang dibutuhkan masyarakan sekaligus terpenuhi, mulai dari aspek hiburan maupun Pembelajaran hingga kebutuhan masyarakat akan narasi edukatif yang dikemas apik dalma bentuk yang sederhana sehingga mudah diterima diberbagai kalangan masyarakat.