Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Ketika Dunia Pendidikan Kita Dirasuki Moralitas Kapitalisme
17 Maret 2023 7:45 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Puji Alphatehah Adiwijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tak dapat dimungkiri bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga akan menjadi kebutuhan sepanjang hidupnya. Keberadaan manusia dan ilmu pengetahuan tentunya sangat tidak bisa dipisahkan. Sebab dalam segala aspek kehidupannya manusia pasti membutuhkan ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Pendidikan sebagai salah satu jalan utama untuk mendapat ilmu pengetahuan, yang tentunya juga banyak memiliki andil dalam kemajuan teknologi dan perkembangan zaman.
Pada masa sekarang, pendidikan menjadi suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Hal ini dapat dilihat dari begitu menjamurnya lembaga pendidikan, baik di bawah naungan negara maupun yayasan milik swasta ataupun perorangan.
Menjamurnya lembaga pendidikan ini juga dibarengi dengan meningkatnya angka usia produktif yang tentu saja membutuhkan pendidikan diberbagai jenjang, baik itu tingkat dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi.
Namun, di dalam dunia pendidikan sendiri banyak masalah-masalah pendidikan yang dihadapi di era globalisasi ini. Apalagi ketika dunia pendidikan kerasukan moralitas kapitalisme. Maka orientasi pendidikan bergeser menjadi k earah titik kenikmatan ekonomi material.
ADVERTISEMENT
Akibat dari pergeseran orientasi ini mendorong penyelenggaraan pendidikan cenderung menjadi komersial. Hal ini juga dapat dilihat pada kecenderungan dunia pendidikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan.
Fakta yang dapat kita amati di lapangan memperlihatkan lembaga-lembaga pendidikan tinggi dengan status PTN-BH harus rela dimasuki oleh korporasi. Misalnya mendirikan bangunan yang seharusnya tidak ada, seperti bangunan restoran cepat saji, atau yang lain.
Pihak swasta juga memberikan pengaruh keputusan yang dikeluarkan oleh pihak kampus. Dampaknya, tentu saja pihak swasta mempengaruhi kebijakan agar sesuai dengan motif ekonominya.
Jika ditelisik dari ilmu ekonomi , di mana ketika keinginan tinggi dan pasokan juga tinggi maka akan terjadi sebuah kompetisi pasar. Apalagi ketika hal tersebut dibarengi dengan banyakan lembaga-lembaga yang saling berkompetisi menciptakan sebuah lembaga pendidikan terbaik versi mereka masing-masing.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, persaingan antarlembaga pendidikan ini bisa dikatakan sebagai hal baik karena ke depannya mereka akan saling bersaing meningkatkan mutu yang mana ketika mutu mereka semua baik maka akan baik pula dunia pendidikan.
Tetapi, pada praktiknya banyak sekali persaingan yang terjadi semata-mata hanya bertujuan untuk meraup keuntungan pribadi. Juga berbagai pemikiran kapitalis lainnya sehingga lembaga pendidikan yang seharusnya menjadikan peserta didik sebagai manusia yang berpendidikan malah menjadi suatu lembaga yang menjadi peserta didik layaknya “sapi perah” yang bisa kapan saja diambil uangnya dengan dalih biaya sekolah.
Peserta didik diperlakukan sebagai konsumen dalam sistem bisnis pasar. Perbedaan biaya sekolah yang berbeda-beda menyebabkan pendidikan yang diperoleh pun menjadi tidak merata. Semakin besar kemampuan membayar konsumen, maka semakin besar pula kesempatan untuk mengakses lembaga pendidikan bergengsi dengan kemewahan fasilitas.
ADVERTISEMENT
Peserta didik dengan ekonomi menengah ke bawah yang memiliki keterbatasan dalam segala aspek ekonomi harus menerima kenyataan dengan mengenyam pendidikan di sekolah yang bahkan tidak terstandar.
Mereka harus rela mengorbankan waktunya untuk tamat dari sekolah yang bahkan tidak sesuai minat dan bakatnya juga menghabiskan masa remajanya dengan disuapi mata pelajaran semata-mata berorientasi pada tenaga pendidik yang hanya bekerja dengan dalih menunaikan kewajiban.
Tak hanya kaum marginal saja, bahkan kaum dengan penghasilan menengah maupun menengah ke atas juga kelak bisa saja menjadi korbannya. Hal ini dilihat dari banyaknya sekolah yang memberikan patokan biaya fantastis dalam pembayaran SPP ataupun bulanan.
Baik bila mahalnya biaya pendidikan dibarengi dengan meningkatnya kualitas tenaga pendidik, fasilitas, dan lain-lain. Tetapi pada kenyataannya seringkali biaya pendidikan meningkat seiring dengan membaiknya kualitas sekolah tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu saja jadi pertanyaan, apakah ini sekolah yang notabenenya lembaga pendidikan yang bermoral atau ini hanya institusi di bawah naungan kapitalisme yang menanamkan konsep komersialisasi dalam penyelenggarannya.
Segelintir masalah terkait komersialisasi dan eksploitasi ini adalah munculnya kasus-kasus mulai dari dikeluarkannya peserta didik dari lembaga pendidikan karena tidak mampu bayar SPP hingga puncaknya yaitu mahasiswa yang bunuh diri akibat kesulitan membayar UKT.
Hal ini tentu amat miris, terlebih dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan menghadapi bonus demografi yang mana angka usia produktif akan berada pada titik puncak, artinya manusia-manusia dalam usia siap kerja akan berada pada jumlah yang sangat banyak.
Ketika hal ini tidak dibarengi dengan pendidikan dan pengajaran yang memadai tentu bisa menjadi pisau bermata dua yaitu menjamurnya angka pengangguran usai produktif sehingga dapat menimbulkan efek domino seperti naiknya angka kriminalitas dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Sangat disayangkan bila komersialisasi dan eksploitasi pendidikan ini terus dibiarkan membudaya, maka ke depannya kita akan kehilangan potensi-potensi peserta didik yang hebat-hebat.
Kenapa demikian? Sebab mereka nantinya hanya akan mengorientasikan masa depannya kepada uang-uang dan uang, bukan lagi pada makna sejati dari pendidikan itu sendiri yaitu pendidikan yang berkarakter dan manusiawi di mana dari pendidikan dapat membuahkan inovasi yang berguna bagi kemajuan peradaban manusia.