Konten dari Pengguna

Pembangkangan Kekuasaan Legislatif Atas Konstitusi

Punta Yoga Astoni
Buruh Negara dan Pengajar STIH IBLAM
22 Agustus 2024 11:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Punta Yoga Astoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
credit: istimewa
zoom-in-whitePerbesar
credit: istimewa
ADVERTISEMENT
Hal yang dilakukan DPR pada tanggal 21 agustus 2024 senyata-nyatanya pembangkangan prinsip negara hukum dan demokrasi. Pembangkangan untuk tidak mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor putusan No.60/PUU-XXII/2024 nomor yang berkaitan dengan ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah oleh Partai Politik atau gabungan partai politik dapat dimaknai telah melanggar prinsip Supremasi Hukum itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui bahwa sifat putusan MK final and binding artinya putusan yang dikeluarkan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Ketentuan tersebut dikuatkan dengan Asas erga omes yang termuat dalam setiap putusan MK.
Asas ini dimaknai bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan putusan yang tidak hanya mengikat para pihak yang berpekara (inter parties) tetapi juga harus ditaati oleh siapa pun (erga omnes) sehingga terkandung putusan tersebut sifat hukumnya menjangkau ruang publik maka berlaku pada siapa saja, tidak hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara.
Kita bisa melihat dalam penjelasan pada pasal 10 ayat (1) berikut penjelasan Undang-Undang No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
Penjelasan di atas semakin menegasikan bahwa apa yang dilakukan oleh DPR dalam RUU PILKADA tidak menjalankan prinsip checks and blancos dalam menjalankan kekuasaan kenegaraan. Hal yang patut diingat yang dilakukan oleh MK sebagai bagian kekuasaan yudikatif ketika memutuskan putusan No.60/PUU-XXII/2024 adalah dalam rangka penafsiran muatan konstitusi yang terkandung dalam Undang-Undang PILKADA yang merupakan produk dari fungsi Legislatif DPR. Hal ini merupakan rangkaian pelaksanaan praktik prinsip checks and balances yang berpegang teguh pembagian kekuasaan kenegaraan.
ADVERTISEMENT
Pada konteks yang terjadi sekarang di RUU PILKADA seakan logika hukumnya dibalik bahwa apa yang dilakukan oleh DPR adalah wilayah legislatif yang tidak boleh diintervensi oleh putusan yudikatif sehingga anggota legislatif dapat memiliki opsi untuk memilih substansi antara apa yang diputuskan Mahkamah Agung (MA) dengan MK.
Hal ini tentu bagian dari kesesatan logika karena seperti kita ketahui bahwa MA adalah lembaga yang dapat menguji muatan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang sedangkan MK adalah lembaga yang menguji muatan Undang-Undang dengan ketentuan dalam konstitusi.
Hal tersebut menjelaskan bahwa tidak apple to apple produk hukum judicial reviu yang dikeluarkan MK dan MA, maka politik hukum yang dilaksanakan oleh DPR ini ditemukan lompatan logika yang nyata dan benderang.
ADVERTISEMENT
Semua hal yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa Indonesia hari ini sedang di uji atas pelaksanaan semua prinsip negara hukum kesejahteraan yang bernapas pancasila ataukah negara ini akan berputar balik menuju negara hukum prosedural formal semata.
Negara hukum yang hanya mempraktikkan asas legisme dan kepastian hukum tanpa ada pertimbangan lain untuk mencapai negara berkeadilan hukum. Peristiwa yang terjadi pada RUU PILKADA sejatinya harus dimaknai oleh rakyat indonesia kondisi supremasi hukum di negara ini memang sedang tidak baik-baik saja.