Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sengketa tanah: Konflik Antara Masyarakat Adat Dayak dengan Perusahan Sawit
3 Desember 2024 16:40 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Andrianto Puspoaji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konflik yang terjadi di Kalimantan antara masyarakat adat Dayak dengan perusahaan perkebunan sawit berawal dari sengketa lahan. Masyarakat adat Dayak mengklaim bahwa lahan tersebut adalah tanah ulayat mereka, yang dikelola dan diwariskan secara turun-temurun berdasarkan hukum adat. Di sisi lain, perusahaan perkebunan sawit mendapatkan izin dari pemerintah untuk mengelola lahan tersebut berdasarkan peraturan hukum negara. Konflik muncul karena tumpang tindih antara klaim tanah ulayat oleh masyarakat adat dan izin pemerintah yang diberikan kepada perusahaan sawit. Pemerintah Indonesia, demi mendukung pertumbuhan ekonomi dan investasi asing, memberikan konsesi tanah yang luas kepada perusahaan sawit. Hal ini seringkali dilakukan tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat yang sudah tinggal di lahan tersebut selama berabad-abad. Salah satu sumber utama konflik ini adalah tumpang tindih klaim kepemilikan antara masyarakat adat dengan perusahaan. Masyarakat adat sering kali tidak memiliki sertifikat tanah secara formal sesuai dengan aturan negara, meskipun mereka telah mengelola lahan tersebut secara tradisional. Ketika perusahaan sawit mendapatkan izin konsesi dari pemerintah, sering terjadi benturan klaim antara perusahaan dan masyarakat adat. Pemerintah seringkali dituding memihak perusahaan karena memberikan izin konsesi kepada korporasi besar tanpa berkonsultasi dengan masyarakat adat secara memadai.
ADVERTISEMENT
Tanah Ulayat masyarakat adat Dayak, yang telah mereka kelola secara turun temurun, sering kali tidak diakui secara formal oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan perusahaan sawit dapat mengantongi izin usaha tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat yang mendiami wilayah tersebut.
Pada kasus ini, Hak Ulayat merujuk pada hak kepemilikan kolektif masyarakat adat terhadap tanah ulayat (tanah warisan leluhur). Hak Ulayat tidak dapat dipindahtangankan tanpa persetujuan seluruh komunitas adat. Dalam sengketa tanah, masyarakat Dayak biasanya menegaskan hak ini sebagai dasar untuk mempertahankan lahan mereka dari eksploitasi perusahaan sawit. Di sisi lain, melalui undang-undang pertanahan seperti Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, mengatur tentang hak atas tanah, termasuk hak guna usaha (HGU) yang sering kali diberikan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan sawit untuk jangka waktu tertentu. Perusahaan yang memperoleh HGU merasa memiliki hak legal atas tanah tersebut berdasarkan perizinan dari negara, meskipun terkadang tidak mempertimbangkan atau mengakui hak-hak tradisional masyarakat adat yang sudah lama mendiami wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Banyak konflik agraria terjadi karena lemahnya proses perizinan. Perusahaan sering kali mendapat izin dari pemerintah tanpa melalui konsultasi publik yang memadai dengan masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat Dayak.
Perusahaan sawit kerap menjanjikan keuntungan ekonomi, seperti lapangan kerja dan pembagian hasil kepada masyarakat lokal. Namun, dalam banyak kasus, janji tersebut tidak terpenuhi, atau masyarakat hanya mendapat bagian kecil dibandingkan dampak negatif seperti kehilangan lahan, kerusakan lingkungan, dan terancamnya budaya lokal.
Meskipun UUD 1945 Pasal 18B mengakui keberadaan masyarakat adat, implementasi pengakuan ini sering kali kurang jelas, terutama terkait hak ulayat atau tanah adat. Peraturan pemerintah mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat sering kali berbenturan dengan kepentingan perusahaan dan pemerintah lokal, sehingga menimbulkan konflik. Hukum adat yang hidup di masyarakat adat Dayak terkadang tidak diakui secara eksplisit oleh hukum nasional. Hukum nasional yang lebih cenderung berorientasi pada kepastian hukum tertulis seringkali tidak mengakomodasi kompleksitas sistem adat yang lebih fleksibel dan dinamis. Ini menimbulkan benturan ketika kedua sistem hukum bertemu di pengadilan atau proses mediasi sengketa tanah.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, terdapat beberapa opsi solusi yang dapat ditempuh oleh para pihak agar kasus serupa tidak terulang kembali. Solusi yang dapat ditempuh antara lain:
1. Pengakuan Hak Tanah Adat.
Pemerintah perlu mempercepat proses legalisasi tanah ulayat masyarakat adat Dayak melalui mekanisme yang jelas dan inklusif. Pengakuan formal ini adalah langkah awal untuk mencegah konflik di masa depan.
2. Penegakan Hukun yang Adil.
Kasus-kasus pelanggaran hukum, baik oleh perusahaan maupun oknum pemerintah, harus ditindak tegas. Penegakan hukum yang adil dan transparan dapat menjadi sinyal penting bagi semua pihak untuk menghormati hak-hak masyarakat adat.
3. Peningkatan Dialog dan Mediasi.
Dialog antara masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah perlu ditingkatkan untuk menciptakan solusi yang saling menguntungkan. Mediasi yang melibatkan pihak ketiga yang independen dapat membantu mengurangi ketegangan dan menciptakan kesepakatan bersama.
ADVERTISEMENT