Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kehadiran Fenimisme dalam Novel Isinga Roman Papua
25 April 2022 21:57 WIB
Tulisan dari Putri Rahayu Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di Indonesia ini banyak sekali sastrawan perempuan yang sangat terkenal seperti Djenar Mahesa Ayu, Ayu Utami, NH Dini dan sebagainya. Novel mereka terkenal dengan kajian feminismenya yang kental. Namun kali ini saya akan mengupas novel karya dari sastrawan lain mengenai fenimisme pula, yaitu novel yang berjudul Isinga.
ADVERTISEMENT
Novel Isinga merupakan sebuah karya sastra berbentuk prosa yang ditulis oleh Dorothea Rosa Herliany yang memenangkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa dalam kategori prosa pada tahun 2015. Buku ini berisi 218 halaman dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka. Novel ini menceritakan latar belakang Papua yang menonjolkan ketertindasan para perempuan Papua atas dasar dari kepercayaan adat istiadat Papua itu sendiri dengan dogma patriarki dan diskriminasi. Saat membaca buku ini seolah membuka cakrawala saya mengenai adat istiadat Papua pada masa itu.
Apa itu Isinga?
Isinga memiliki makna perempuan dan ibu. Sudah jelas dalam novel tersebut menceritakan seorang perempuan yang tertindas, perempuan yang mengalami ketidaksetaraan gender. Untuk itu kajian fenimisme ini sangat tepat untuk membedah novel Isinga Roman Papua. Untuk mengetahui apa saja ketidaksetaraan gender yang dialami tokoh utama dalam novel tersebut dan mengupasnya lebih dalam, namun alangkah lebih baik jika kita mengetahui apa itu kajian fenimisme.
ADVERTISEMENT
Lalu apa itu Feminisme?
Fenimisme memiliki arti sebuah gerakan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Feminisme dapat dimaknai pula dengan ketidakseimbangan posisi kaum perempuan dan kaum laki-laki yang mana kaum perempuan selalu berada dalam posisi kedua baik dari hak maupun kewajibannya. Sehingga kedudukan kaum perempuan lebih rendah daripada kaum laki-laki dan dianggap sebagai “the second sex”. Kali ini saya akan menjelaskan ketidaksetaraan gender dalam novel Isinga Roman Papua karya Dorothea Rosa Herliany.
1. Perempuan banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup
Dalam novel tersebut, penulis menjelaskan bahwa perempuan yang sudah berumah tangga di Hobone pergi menggendong anaknya dengan noken untuk mencari betatas, mengolah sagu, mencari buah-buahan di kebun, mencari kayu bakar untuk masak, memelihara babi yang sudah diterima oleh kaum perempuan di Hobone sebagai maskawin, menangkap ikan di sungai saat siang maupun malam hari dengan jaring. Apabila jaringnya rusak ia harus memperbaikinya sendiri. Sedangkan kaum laki-laki pergi berburu dan berperang, namun Malom suami dari Irewa adalah seseorang yang keras dan kasar. Semua itu dilakukan oleh perempuan-perempuan Hobone pada masa itu yang digambarkan oleh penulis. Keadaan tersebut sangat berbanding terbalik dengan keadaan sekarang, yang mana laki-lakilah yang seharusnya melakukan pekerjaan itu semua.
ADVERTISEMENT
2. Perempuan menjalani proses bersalin sendiri
Saya sangat terkejut ketika mengetahui bahwa proses bersalin yang dialami oleh perempuan-perempuan Hobone dengan mandiri. Digambarkan bahwa Irewa melahirkan sendirian di dekat tungku, disana ada abu panas yang nanti akan digunakan olehnya saat bersalin. Irewa juga menyiapkan selembar daun pisang yang lebar sebagai alasnya. Ketika perutnya mulai sakit ia akan jongkok di atas daun pisang tersebut. Begitulah proses bersalin yang dilakukan para kaum perempuan di novel tersebut tanpa ditemani keluarga terlebih suaminya sendiri.
3. Tokoh utama mengalami pernikahan dan seksualitas secara paksa
Penulis menggambarkan bahwa tokoh utama menikah secara terpaksa. Singkatnya Malom menculik Irewa dan menikahinya. Malom yang terikat merengkuh tubuh Irewa menyenangkan diri atas keinginan batinnya pada tubuh Irewa. Saat Irewa hamil dan mengalami keguguran, Malom tetap ingin menuntaskan birahinya tanpa memperhatikan keadaan Irewa. Hal itu terus terjadi berulang kali, akibatnya Irewa selalu mengalami keguguran.
ADVERTISEMENT
Demikian singkat mengenai kajian fenimisme yang ada di novel Isinga: Roman Papua. Novel ini sangat jelas menggambarkan keadaan adat istiadat dan ketidaksetaraan gender yang dialami oleh perempuan-perempuan disana. Tidak heran jika buku ini menjadi pemenang dalam penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa, karena novel ini disajikan dengan baik. Jika kalian penasaran untuk mengetahui lebih lanjut silakan untuk membaca novelnya ya teman-teman.
Terima kasih