Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Empat Jari untuk Demokrasi 2024
6 Februari 2024 17:23 WIB
Tulisan dari Riyadh Putuhena tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang detik-detik akhir masa kampanye Pemilu 2024 kita menyaksikan makin tingginya intensitas informasi yang beredar di tengah masyarakat Indonesia. Tiap menit berganti, tiap menit pula suguhan informasi terbaru muncul di tiap layar gawai warga. Riuh rendah dukungan muncul bertalu-talu dari masing-masing pendukung pasangan calon.
ADVERTISEMENT
Seiring seirma dengan dukungan itu, muncul juga penolakan bagi setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden, tak terkecuali bagi Pasangan Calon Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Penolakan terhadap Prabowo-Gibran muncul dalam ragam bentuk, salah satunya ialah kampanye empat jari. Empat jari adalah simbol penolakan terhadap Prabowo-Gibran yang bertujuan untuk mengajak pemilih menyalurkan suaranya kepada pasangan calon nomor urut 01 atau 03. Penolakan ini berangkat dari sebuah pemahaman paradigmatik tentang demokrasi dan hak asasi manusia.Aksi Empat Jari mengajak kita menentukan masa depan demokrasi dan hak asasi manusia.
Milan Kundera seorang sastrawan Ceko dalam The Book of Laughter and Forgetting menyampaikan, “perjuangan manusia melawan kekuasaan itu seperti perjuangan ingatan melawan lupa.” Anda tidak perlu menjadi terlalu cerdas untuk memahami bahwa masa sekarang dan masa depan adalah akibat dari masa lalu. Pada bagian ini perkataan Milan Kundera di atas menjadi sangat relevan.
ADVERTISEMENT
Lupa yang memberangus ingatan
Hadirnya Prabowo dan Gibran dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden hari ini tidak dapat dilepaskan dari peristiwa-peristiwa masa lalu, berikut segala catatan kelamnya. Cap penculik yang melekat pada Prabowo Subianto seringkali diprotes oleh para pendukungnya lantaran dinilai muncul hanya setiap lima tahun sekali. Faktanya, cap penculik yang hingga hari ini tidak dapat dilepaskan pada tubuh Prabowo merupakan akibat nyata dari impunitas.
Impunitas adalah bentuk paling banal dari pembiaran negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Dalam istilah hak asasi manusia pembiaran ini disebut dengan violence by omission. Violence by omission menjadi gambaran bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi bukan saja karena negara melakukan suatu tindakan, tetapi juga karena negara diam dan tidak berbuat apa-apa untuk melindungi hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1998 negara tidak pernah menyeret Prabowo ke dalam suatu pengadilan HAM. Padahal pengadilan ini bukan hanya dibutuhkan para korban penculikan dan penghilangan paksa, melainkan justru dibutuhkan oleh Prabowo dan para pendukungnya. Situasi impunitas ini menunda keadilan bagi korban dan membuat masyarakat jengah dan menganggap HAM sebagai isu lima tahunan. Walaupun nyatanya hak asasi manusia setiap tahunnya masih menjadi mata kuliah wajib di fakultas hukum seluruh Indonesia.
Negara terlibat aktif untuk mengaburkan fakta-fakta tentang pelanggaran HAM di masa lampau dengan menunda-nunda pengadilan terhadap Prabowo. Satu hari menunda pengadilan HAM sama dengan satu hari menunda keadilan bagi para korban.
Jika Prabowo bermasalah tentang pelanggaran berat hak asasi manusia, Gibran lain lagi. Ingatan kita tentang porak-porandanya Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menerbitkan putusan uji materil yang akhirnya memungkinkan Gibran menjadi calon wakil presiden tentu masih utuh.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi suatu lembaga sakral yang dibentuk sebagai bentuk nyata agenda reformasi justru berbalik arah dan menjauh dari agenda reformasi. Salah satu ciri rezim otoritarianisme adalah kemampuan dan kewenangannya menafsirkan hukum sesuai kehendak kekuasaan. L'état, c'est moi (negara adalah aku) adalah semboyan yang menuntun keruntuhan Monarki Perancis di tangan kaum republik.
Mahkamah Konstitusi lahir sebagi saluran warga negara untuk mengoreksi undang-undang yang merugikan hak konstitusionalnya. Hanya dalam beberapa saat, MK menjadi saluran nepotis satu keluarga untuk memperpanjang kekuasaan. Pada titik ini masa depan demokrasi Indonesia nampaknya makin meredup.
Penculikan dan penghilangan paksa aktivis hingga penetrasi nepotisme pada tubuh MK cukup adalah segelintir peristiwa yang harus terus diingat sebagai mekanisme pertahanan diri warga negara melawan kesewenang-wenangan kekuasaan. Pada tahap ini sikap Empat Jari pada Pemilu 2024 cukup untuk menjadi gambaran utuh kekuatan ingatan melawan lupa sebagaimana pasase Milan Kundera itu.
ADVERTISEMENT
Menghindari yang terburuk berkuasa
Pencalonan Prabowo-Gibran menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah tayangan langsung tentang demokrasi dan hak asasi manusia yang terpelanting dan menghasilkan suara nyaring. Kenyaringan ini hanyalah akumulasi dari suara-suara kecil dengan megaphone pada setiap kamis di depan jantung kekuasaan di istana negara.
Lantas, masih pantaskah kita menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah isu lima tahunan? Bukankah, justru setiap lima tahun mereka yang acuh tak acuh terhadap hak asasi manusia berusaha menutup-nutupi junjungan besarnya dari noda kelam sejarah itu? Apakah Anda berpikir bahwa impunitas berlaku lima tahun sekali? Sayangnya tidak, impunitas berlaku setiap hari seiring dengan denyut nadi penguasa otoriter.
Empat jari yang diangkat warga negara tidak dapat dibonsai menjadi sebatas sikap elektoral, melainkan suatu sikap ideologis warga yang tegas menolak untuk menitipkan demokrasi dan hak asasi manusia pada pasangan calon yang merupakan hasil pelanggaran etik berat dan pelanggaran ham berat.
ADVERTISEMENT
Sikap ideologis ini tidak berhenti setelah 14 Februari 2024 atau muncul setiap lima tahun sekali. Sikap ideologis ini harus terus dirawat dalam kehidupan bernegara. Sebab demokrasi tidak hidup di dalam ruang hampa. Ia bisa kapanpun dipukul mundur atau dipangkas sebatas tirani mayoritas.
Pada masyarakat yang percaya terhadap tirani mayoritas sesungguhnya tidak ada kesempatan demokrasi untuk tumbuh dan berkembang. Hal ini sama saja membesarkan seorang anak tanpa memenuhi kebutuhan gizi dan nutrisinya. Dengan kata lain, kita hanya menanti kapan kematian padanya akan datang.