Konten dari Pengguna

Pascaputusan MK, Anak Muda Sebenarnya Tidak ke Mana-Mana

Riyadh Putuhena
Ketua Bidang Otonomi Daerah Badko HMI Jawa Timur 2021-2023, Fungsionaris PB HMI 2024-2026, Peneliti YLBHI-LBH Malang.
24 Oktober 2023 19:37 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riyadh Putuhena tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman membacakan putusan batas usia Capres-cawapres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman membacakan putusan batas usia Capres-cawapres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Pertanyaan ini muncul atas tingkah-laku politisi yang mulai menciptakan persamaan-persamaan Gibran dengan para tokoh muda bangsa terdahulu. Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar yang belakangan menjadi pengusung nomor wahid agar anak presiden itu maju menjadi calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.
ADVERTISEMENT
Airlangga di hadapan publik mengandaikan Gibran layaknya Sjahrir. Tidak hanya ahistoris, pernyataan Airlangga juga merupakan wajah politik Indonesia belakangan yang disesaki dengan jargon dan tindakan yang mengganggu (untuk tidak mengatakan membunuh) demokrasi itu sendiri.

Berhentilah mengecer demokrasi sebatas Pemilu

Pasca keruntuhan rezim otoritarianisme orde baru pada 1998 Indonesia mengalami gelombang demokratisasi besar-besaran. Proses demokratisasi yang berlangsung sejak awal reformasi bukannya berjalan tanpa hambatan. Demokrasi tidak tumbuh dalam ruang hampa, frasa ini cukup untuk menggambarkan dinamika demokrasi yang fluktuatif sejak reformasi.
Tarik ulur kepentingan elite atas nama demokrasi tidak jarang justru merendahkan demokrasi itu sendiri. Ambil contoh dalam kaitannya dengan penegakan hukum dan hak asasi manusia yang merupakan prasyarat mutlak kemajuan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Paling mutakhir adalah Putusan MK yang mengabulkan gugatan pemohon yang pada pokoknya mendalilkan secara eksplisit dalam gugatannya agar sang idola Gibran Rakabuming Raka dapat menjadi kontestan Pilpres 2024. Pemohon tidak dapat membayangkan masa depan Indonesia tanpa keterlibatan seorang Gibran.
Atas pertimbangan demikian ia meminta agar MK menganulir dan melakukan afirmasi terhadap batas minimal usia pencalonan capres dan cawapres. Mahkamah Konstitusi mengabulkannya tepat beberapa hari sebelum dibukanya pendaftaran capres dan cawapres oleh KPU.
Putusan ini kemudian membuka gerbang bagi Gibran yang sedang menjabat Wali Kota Solo untuk menjadi cawapres. Sulit untuk percaya bahwa raison d’etre Putusan MK itu adalah niat baik memajukan demokrasi dengan melibatkan lebih jauh anak muda secara menyeluruh untuk ambil bagian dalam proses pembentukan kepemimpinan nasional.
ADVERTISEMENT
Mudah saja menaruh kecurigaan tersebut mengingat lima gugatan lain dengan objek yang sama, yang meletakkan keterlibatan anak muda secara keseluruhan dalam dalil gugatannya justru dengan mudah dimentahkan oleh Mahkamah. Kita tentunya tidak dapat menutup mata dan telinga terhadap konflik kepentingan Ketua MK Anwar Usman yang merupakan paman dari Gibran serta adik ipar Presiden Joko Widodo.
Mahkamah Konstitusi adalah anak kandung reformasi. Lembaga yang semula diniatkan untuk menjadi wadah koreksi bagi pembentuk undang-undang agar tetap sejalan dan sebangun dengan konstitusi kini mengubah wajahnya sendiri. Walaupun kita patut curiga bahwa MK belakangan ini menjadi topeng sekaligus kepanjangan tangan kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu kecurigaan-kecurigaan ini menjadi sah dan valid.
Hingar-bingar pemilu sebagai pesta demokrasi melenyapkan esensi lainnya dari demokrasi. Pemilu dalam negara demokrasi bertujuan agar sirkulasi elite dapat berlangsung. Sirkulasi elite diperlukan agar kekuasaan tidak disumbati oleh nalar-nalar feodalis cum otoriter yang menjadi hambatan serius tumbuh kembang demokrasi.
ADVERTISEMENT
Sudah terlampau banyak contoh tentang pemilu dalam negara demokrasi yang melahirkan pemimpin yang anti demokrasi. Salah satu ciri kelahiran pemimpin anti demokrasi adalah kemampuannya merusak lembaga-lembaga demokrasi yang membatasi kekuasaannya.
Upaya-upaya ini dapat berlangsung dalam satu gelombang besar sekaligus maupun dalam kerja-kerja senyap, sehingga seringkali tidak disadari telah terjadi penggerogotan demokrasi. Kita dapat membaca gejala-gejala tersebut dalam dinamika demokrasi kekuasaan Chávez di Venezuela, Fujimori di Peru, Erdogan di Turki, dan lain sebagainya.
Langkah MK yang mendadak berubah dari negative legislator menjadi positive legislator dalam putusan batas minimum usia capres dan cawapres selanjutnya menjadi pukulan telak bagi demokrasi. Bayangkan, proses panjang melahirkan norma baru dalam pembentukan undang-undang dikangkangi begitu saja dengan mata telanjang oleh para hakim MK.
ADVERTISEMENT
Berbulan-bulan pembahasan yang dilakukan oleh lima ratus enam puluh (560) pemilik suara di Senayan plus presiden kalah jauh dari proses pembuatan norma baru oleh sembilan (9) hakim MK yang berlangsung efektif kurang dari satu bulan. Tak heran kesaktian para hakim ini agaknya bersaing ketat dengan Bandung Bondowoso dibantu para jin yang membangun seribu candi dalam semalam.
Banalitas macam itu meruntuhkan pemahaman kita bahwa merawat demokrasi tidak hanya dilakukan dengan laugh-lagah pemilu melainkan menghormati dan turut membentengi lembaga-lembaga demokrasi lainnya dari percobaan dan tindakan anti demokrasi itu sendiri.
Demikian juga dengan pandangan keliru yang bersorak-sorai membela politik dinasti dalam pemilu dengan dalih memperjuangkan demokrasi, tetapi diam ketika kritik dibalas jeruji besi, dan turut ambil bagian dalam pelemahan institusi demokrasi.
ADVERTISEMENT

Gibran tidak dapat memilih siapa bapaknya, tetapi bisa menahan sampai mana syahwat kuasanya

Gibran Rakabuming Raka hadir di Rapimnas Partai Golkar, Jakarta, Sabtu (21/20/2023). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Tulisan ini tentu tidak bertujuan membatasi hak politik (the right to be elected) dari seorang Gibran Rakabuming Raka. Sama halnya Gibran tidak dapat membatasi diri bahwa bapaknya adalah seorang Presiden yang sedang berkuasa. Presiden yang sama yang dengan terang-terangan memamerkan kekuasaan (show of force) atas lembaga intelijen untuk kepentingan politik praktis dirinya.
Tanda-tanda ini paling tidak dapat dibaca sebagai sebuah gelagat melibatkan lembaga negara untuk secara aktif berpihak pada kepentingan pribadi penguasa. Selanjutnya mudah saja menebak apa yang dimaksud sebagai kepentingan pribadi dalam konteks Pilpres 2024 ini.
Prabowo Subianto dalam statement publiknya baru saja menyampaikan dengan terang dan jelas bahwa dirinya memang sedang mendukung suatu dinasti politik. Walau pada ujung kalimatnya ia sedang berlagak seperti seorang stand-up comedian yang hobinya meletakkan twist di akhir kalimat.
ADVERTISEMENT
“Kalau dinasti Jokowi ingin mengabdi untuk rakyat, salahnya apa?” argumen semacam ini lebih dulu digunakan Kaesang Pangarep (anak kandung Presiden Joko Widodo, kakak Kandung Gibran, anggota PSI yang baru 3 hari terdaftar sebagai anggota partai lantas menjadi Ketua Umum).
Kaesang menyampaikan, “Kalau katakanlah kemarin Mas Wali Kota (Gibran) nyalon menjadi Wali Kota Solo ataupun Bang Wali Kota Medan (Bobby). Ini kan pasti nyangkutnya ke situ kan. Yang milih siapa?”, “Rakyat” jawab wartawan.
Mengandaikan bahwa dinasti politik adalah kehendak rakyat karena dipilih melalui pemilu merupakan kekeliruan jika tidak ingin disebut sebagai sebuah kesesatan. Pada awal dekade 1920-an Hitler di Jerman dan Mussolini di Italia mendapat dukungan kurang dari 2 persen populasi.
ADVERTISEMENT
Kedua orang tersebut meraih kekuasaan karena dukungan orang dalam (insiders) politik yang menihilkan potensi dekadensi mereka terhadap demokrasi. Peranan insiders yang berharap keuntungan elektoral bagi kelompok mereka sering menjadi awal kelahiran pemimpin otoriter yang tentunya tidak peduli dengan politik dinasti.
Sayangnya politisi kita tidak terlalu cakap membaca tanda-tanda ini atau mungkin saja kecakapan itu terhalang oleh satu dua kepentingan politik elektoral jangka pendek para partai politik. Bagaimanapun partai politik adalah pilar demokrasi dan seharusnya menjadi alat untuk melakukan seleksi terhadap calon pemimpin yang anti demokrasi dalam hal ini calon pemimpin yang pro politik dinasti.
Menjauhkan partai politik dalam gelanggang pemilu juga bukan merupakan langkah tepat dalam merawat demokrasi. Paling tidak kekuatan politik mainstream harus mampu menjaga sikap anti politik dinasti dengan memasang jarak (distancing) dengan kekuatan pro politik dinasti, salah satunya dengan tidak menjadi pengusung.
ADVERTISEMENT
Mengalahkan politik dinasti dalam pemilu adalah keharusan. Hal ini berangkat dengan asumsi sederhana bahwa politik dinasti meletakkan kapasitas dan kapabilitas seseorang di bawah trah atau garis keturunan, sesuatu yang sebenarnya Jokowi dan para partai politik terlampau mampu untuk menghentikannya.
Gibran memang tidak dapat memilih siapa bapaknya, tetapi ia mampu menahan syahwat kuasanya demi menjaga persaingan yang adil dalam pemilu. Bukannya politik dinasti telah banyak dipraktikkan di Indonesia? Jawabannya sederhana, two wrongs don’t make a right. Terlebih Presiden dan Wakil Presiden adalah puncak dari kepemimpinan nasional. Kita tentu tidak sulit membayangkan analogi kepala dan ekor.

Anak muda, pilihlah bapak dan ibu yang berkuasa

Jika akhirnya Gibran dapat muncul sebagai pemenang dalam pilpres 2024 dengan segala praktik politik dinasti nanti, maka tidak sulit menyimpulkan trajektori politik anak muda ke depannya. Segala hingar-bingar kemajuan politik anak muda sejak awal pembentukan republik hingga hari ini akan mudah dibatalkan dengan jargon sederhana: "Jadilah anak penguasa jika ingin berkuasa. Jika tidak bisa memilih seorang bapak penguasa, maka pilihlah seorang anak penguasa. Niscaya kalian akan turut berkuasa."
ADVERTISEMENT