Konten dari Pengguna

Ketidakdemokratisan Revisi UU ITE dan Ancaman Terhadap Kebebasan Berekspresi

Asis
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Member of Surabaya Academia Forum, Center for Research and Humanity
8 Desember 2023 14:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pelanggaran UU ITE. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelanggaran UU ITE. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menyaksikan upaya revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disertai dengan berbagai kontroversi. Ironisnya, proses revisi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah dinilai sebagai kegagalan untuk menjalankan prinsip demokrasi yang seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat secara terbuka, transparan, dan akuntabel.
ADVERTISEMENT
Pada 4 Oktober 2023, DPR mengesahkan revisi UU ITE tanpa memberikan akses publik terhadap dokumen resmi Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut. Bahkan, situs resmi DPR tidak menyediakan informasi terkait revisi UU ITE sejak awal hingga pengesahan, menunjukkan kurangnya transparansi dalam proses legislasi yang seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat.
Salah satu sorotan terbesar terkait revisi UU ITE adalah pemertahanan pasal-pasal kontroversial yang berpotensi membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Pasal 27 ayat (3) yang mengatur pencemaran nama baik, Pasal 28 ayat (3) tentang berita bohong yang dapat menimbulkan kerusuhan, dan Pasal 40 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memblokir akses internet secara ilegal, semuanya masih tetap ada. Kewenangan besar yang diberikan oleh Pasal 40 dipandang sebagai potensi alat sensor informasi dan suara kritis publik.
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 2020 hingga 2022, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kantor menangani 199 kasus pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat.
Kasus-kasus seperti pemutusan ilegal akses internet di Papua dan kriminalisasi terhadap aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, mencerminkan bagaimana UU ITE seringkali menjadi instrumen untuk membungkam suara kritis warga negara, termasuk jurnalis.
Pasal-pasal "karet" dalam UU ITE seperti Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2) dan (3), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (1) dan (2), serta Pasal 45, yang mengenai pemidanaan, terus menjadi ancaman bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Keberlanjutan ketidaksetujuan masyarakat terhadap UU ITE mencerminkan perlunya reformasi yang sesungguhnya, yang melibatkan partisipasi masyarakat secara inklusif dan menjunjung prinsip-prinsip demokrasi untuk mencapai tujuan dekriminalisasi pasal-pasal yang dapat merugikan hak asasi manusia, terutama dalam konteks kebebasan berpendapat dan berekspresi.
ADVERTISEMENT
Data dari tahun 2020 hingga 2022 yang dihadirkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menunjukkan bahwa UU ITE seringkali digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Kasus-kasus seperti pemutusan ilegal akses internet di Papua dan kriminalisasi terhadap aktivis HAM, Haris Azhar, dan Fatia Maulidiyanti, menjadi contoh nyata bagaimana UU ITE dapat menjadi senjata penguasa untuk membungkam suara kritis.
Mengingat hal ini, perlunya refleksi mendalam terhadap peran UU ITE dalam demokrasi Indonesia menjadi semakin mendesak.
Reformasi yang sejati haruslah memastikan bahwa partisipasi publik dihargai dan pasal-pasal yang dapat mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi dihapuskan. Hanya melalui langkah-langkah ini, Indonesia dapat membangun fondasi demokrasi yang kuat, inklusif, dan sesuai dengan hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam mewujudkan demokrasi yang kuat, inklusif, dan sesuai dengan hak asasi manusia, pemerintah dan DPR perlu mendengarkan aspirasi dan keprihatinan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam proses legislasi harus dihargai dan diintegrasikan, sehingga keputusan yang diambil mencerminkan kebutuhan dan keinginan seluruh rakyat Indonesia.