Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perlunya Harmonisasi UU Perkawinan dan UU Adminduk
21 Juli 2023 13:39 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Namun, dalam konteks pluralitas agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia, persoalan tentang perkawinan beda agama sering kali menimbulkan pertentangan antara hukum perkawinan dan hukum administrasi.
Penerbitan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 2 Tahun 2023 mencoba mengatasi ambiguitas norma dan memberikan kepastian hukum dalam menghadapi perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Namun, dalam menghadapi perbedaan pandangan dan isu yang sensitif, penting bagi kita untuk mencari jalan tengah yang menghargai kebebasan beragama dan kepercayaan serta memastikan keadilan dan kepastian hukum bagi semua warga negara.
Perbedaan agama dan kepercayaan adalah karakteristik yang unik dari masyarakat Indonesia. Keanekaragaman ini merupakan salah satu nilai yang patut dihargai dan dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, ketika perbedaan ini mencuat dalam konteks perkawinan, persoalan hukum dan administrasi menjadi lebih kompleks.
UU Perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, setiap individu bebas menentukan agama atau kepercayaan yang ingin dijadikan pegangan dalam perkawinannya. Hal ini sejalan dengan semangat kebebasan beragama dan kepercayaan yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945.
Namun, pada sisi lain, UU Adminduk (Administrasi Kependudukan) dalam Pasal 35 huruf a menegaskan bahwa pencatatan perkawinan harus dilakukan sesuai dengan agama atau kepercayaan yang dianut oleh warga.
Pencatatan ini diperlukan untuk memenuhi hak administrasi warga tanpa adanya praktik diskriminatif. Dalam konteks ini, pencatatan perkawinan beda agama menjadi hal yang kontroversial.
Perbedaan antara hukum perkawinan dan pencatatan administrasi memang perlu dipahami dan dibedakan. Hukum perkawinan berkaitan dengan upacara dan ikatan pernikahan yang diakui oleh agama atau kepercayaan yang dianut oleh pasangan yang menikah.
Sementara itu, pencatatan administrasi berkaitan dengan pengakuan sahnya perkawinan oleh negara untuk keperluan administratif seperti surat-surat resmi dan keperluan sipil lainnya.
ADVERTISEMENT
SEMA No 2 Tahun 2023 mencoba memberikan kejelasan dan kepastian hukum dalam menghadapi perbedaan antara hukum perkawinan dan pencatatan administrasi.
Melalui SEMA ini, Mahkamah Agung menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan.
Selain itu, pengadilan dilarang untuk mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan. Dengan demikian, SEMA ini berupaya menyatukan penerapan hukum dan memberikan pedoman bagi para hakim dalam mengadili perkawinan beda agama.
Namun, perlu diakui bahwa SEMA ini juga menimbulkan berbagai pertanyaan dan perdebatan di kalangan masyarakat. Beberapa pihak menganggap bahwa SEMA ini dapat mengurangi kebebasan beragama dan kepercayaan serta mencabut hak bagi warga untuk melakukan perkawinan beda agama.
Pandangan ini patut diperhatikan dengan serius, mengingat pentingnya menjaga dan menghormati hak asasi manusia, termasuk hak untuk memilih dan menganut agama atau kepercayaan sesuai dengan keyakinan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi perbedaan pandangan dan ambiguitas norma, penting untuk mencari jalan tengah yang menghargai kebebasan beragama dan kepercayaan, sambil tetap memastikan keadilan dan kepastian hukum bagi semua warga negara.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah melakukan harmonisasi antara UU Perkawinan dan UU Adminduk. Harmonisasi ini dapat mencoba menyatukan perspektif dan prinsip hukum yang ada dalam kedua undang-undang tersebut, sehingga dapat memberikan kejelasan dan keselarasan dalam regulasi tentang perkawinan beda agama.
Dalam proses harmonisasi ini, perlu melibatkan berbagai pihak terkait, seperti organisasi profesi, masyarakat sipil, agama, akademisi, dan ahli hukum. Partisipasi aktif dari berbagai pihak akan membantu mengidentifikasi perbedaan dan kesamaan antara kedua undang-undang, serta mencari solusi yang seimbang dan adil.
ADVERTISEMENT
Harmonisasi antara UU Perkawinan dan UU Adminduk juga dapat dilakukan melalui dialog terbuka dan transparan dengan masyarakat. Melibatkan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan dan perundang-undangan akan memastikan bahwa kepentingan dan aspirasi masyarakat dapat tercermin dalam regulasi yang ada.
Selain itu, penting juga untuk melibatkan lembaga-lembaga yang berkompeten dalam bidang agama dan kepercayaan dalam proses harmonisasi ini. Mereka dapat memberikan pandangan dan masukan yang berharga mengenai cara terbaik untuk mengakomodasi perbedaan dan keanekaragaman dalam konteks perkawinan beda agama.
Dalam menghadapi perbedaan pandangan dan ambiguitas norma antara hukum perkawinan dan administrasi, penting bagi kita untuk mengedepankan semangat keadilan dan toleransi dalam mewujudkan kehidupan beragama yang harmonis dan damai.
Harmonisasi hukum perkawinan dan administrasi merupakan langkah penting dalam menghadapi tantangan nikah beda agama , dan harus dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana untuk memastikan bahwa kebebasan beragama dan kepercayaan tetap dihormati dan dijaga, sambil tetap memberikan kepastian hukum bagi semua warga negara.
ADVERTISEMENT