Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Ketika Guru Besar Melawan Kepalsuan
25 Mei 2022 21:48 WIB
Tulisan dari Riko Noviantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terasa bergetar mendalami kutipan George Bernard Shaw. Sosok filsuf asal Irlandia abad ke 19 ini jauh hari merasakan acaman pengetahuan palsu. Yakni pemikiran yang dikonstruksikan melawan kemurnian ilmu pengetahuan dengan manipulasi data dan fakta, untuk memenuhi kehendak dan nafsu manusiawi. Inilah pengetahuan palsu (pseudosains).
ADVERTISEMENT
Kegelisahan Bernard terhadap kepiawaian manusia menebarkan pengetahuan palsu, kian mengkhawatirkan. Sejalan kemajuan teknologi informasi, sebaran pengetahuan palsu tak terbendung. Deras menyebar. Nyaris tanpa tapisan yang memadai.
Hal demikian bukan tanpa musabab. Di tengah kemajuan teknologi informasi ikut berkembang kecerdasan buatan (AI). Teknologi yang dirancang untuk membantu manusia mengenali kebiasaan, justru secara alami menumpulkan nalar. Menjadikan manusia monokromatik. Bahkan menolak apapun di luar kebiasaan yang membentuk kedangkalan pemikiran.
Lebih menakutkan lagi, kecerdasan buatan sengaja dimanfaatkan sekelompok orang. Mulai kaum terdidik sampai birokrat. Secara sistimatis memproduksi pengetahuan palsu. Melalui kreasi fakta yang diolah sesuai keinginan yang cenderung manipulatif. Kemudian menyebarkan melalui teknologi. Demi tercapainya kepuasan kekuasaan.
Guru Besar Penjaga Ilmu Pengetahuan
Tuduhan kaum terdidik sampai pejabat memproduksi pengetahuan palsu, bukanlah kabar burung. Klaim terhadap 110 juta suara yang mendukung perpanjangan masa jabatan presiden adalah sedikit bukti. Di mana pejabat sengaja mengkonstruksi data manipulatif berbalut pengetahuan untuk meneguhkan pemikiran, demi mencapai kepuasan kekuasaan. Apakah itu bukan bukti?
ADVERTISEMENT
Prof. Djohermansyah Djohan merespon pedas peristiwa itu. Bahkan mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri ini memberi kritiknya sebagai figur pemimpin yang tak lagi mengayomi, tetapi justru mengkreasi kekacauan. Sebuah ungkapan menohok bagi pemimpin manapun.
Setali tiga uang. Hal serupa pun terjadi di kampus. Rumah tempat pengetahuan disemai dan dikembangkan, justru ikut menyumbang kekacauan. Dengan melawan segala aturan baku, mengkreasikan data-data sekehendak hati tanpa penjelasan berarti.
Prof. Gimbal Doloksaribu sebagai Ketua Persatuan Professor / Guru Besar Indonesia (Pergubi) secara terbuka menyampaikan keprihatinan. Kampus yang sepatutnya membanguan dialektika pengetahuan, perlahan digerogoti ‘penguasa’ lokal. Dengan menyebar dan menuding berbagai kepalsuan, demi terpuaskan hasrat kekuasaan. Hingga tak sedikit guru besar yang terbuang.
Siapa pun tak bisa tinggal diam. Menyelamatkan para guru besar dari keterbuangan. Dengan memberikan berbagai penghormatan. Demi membantu guru besar melawan kepalsuan. Karena guru besar adalah penjaga ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
*Penulis adalah peneliti kebijakan publik