Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Solusi bagi Pelaku Bisnis Thrifting di Tengah Larangan Impor Pakaian Bekas
12 Juni 2023 8:44 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Alifa Jeanny Camila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, pemerintah Indonesia melarang adanya impor pakaian bekas ke dalam negeri. Alasannya tidak lain adalah dikarenakan pakaian bekas yang diimpor itu dijadikan sebuah bisnis di Indonesia. Sehingga dikhawatirkan akan mengancam industri tekstil dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Selain itu, larangan tersebut didasarkan pada Permendag Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor dan Undang-Undangnya adalah Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan.
Dewasa ini, thrifting, kegiatan jual beli pakaian bekas baik dari luar negeri maupun dalam negeri, menjamur di kalangan masyarakat, terutama anak muda. Hal ini dikarenakan merebaknya tren fashion 90s dan y2k yang merupakan tren busana dengan gaya tahun 90-an dan 2000-an.
Hal tersebut dimanfaatkan oleh pelaku bisnis thrift dengan menjual kembali pakaian bekas dari rentang tahun 1980-2010. Seperti sebutannya, thrift, diartikan sebagai kegiatan membeli barang bekas atau secondhand seperti pakaian, dengan harga yang sangat murah.
Seiring berkembangnya bisnis pakaian thrifting, banyak pelaku bisnis yang mulai memasarkan pakaian bekas bermerek, seperti merk Adidas, Nike, dan Uniqlo dengan harga yang sangat murah. Hal ini semakin menarik para konsumen yang menyukai produk-produk tersebut.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi, produk secondhand yang dijual dari merek tersebut merupakan pakaian dengan style lama khas tahun 90-an yang sudah tidak diproduksi lagi.
Namun, setelah adanya tindak tegas dari pemerintah terkait larangan impor pakaian bekas, pelaku bisnis mulai memasang barang dagangannya dengan harga yang mahal, yaitu berkisar antara 200 hingga 500 ribu rupiah. Akibatnya, beberapa bisnis thrifting berhenti akibat berkurangnya peminat dan kesulitan memperoleh stok pakaian bekas.
Para konsumen juga mulai mempertimbangkan barang-barang yang dibelinya. Meski pakaian bekas ini terbilang sangat murah, konsumen lebih memilih untuk membeli pakaian baru buatan dalam negeri dengan harga yang tidak jauh berbeda, serta kualitas yang lebih baik.
Hal tersebut juga dilakukan sebagai upaya mereka dalam mendukung produk lokal. Selain itu, hal utama yang diperhatikan konsumen sebelum membeli adalah kebersihan produk tersebut.
ADVERTISEMENT
Pakaian thrift memang sudah dicuci terlebih dahulu, namun menurut penelitian oleh Lihabi tahun 2023, meski telah dicuci bersih, pakaian tersebut belum tentu steril.
Ditemukan beberapa bakteri dan virus HPV serta jamur pada pakaian bekas. Hal ini menjadi pertimbangan lebih lanjut konsumen dalam membeli pakaian thrift.
Maka dari itu, para pelaku bisnis thrift dapat beralih ke bisnis reseller yang menjual kembali pakaian Slow Fashion dari produsen industri pakaian lokal ke konsumen.
Slow Fashion merupakan kegiatan menjual pakaian dengan kualitas terbaik yang dapat dipakai hingga beberapa tahun ke depan, bertujuan untuk meminimalisir limbah tekstil. Hal ini dinilai lebih aman bagi lingkungan.
Dengan menjual kembali jenis pakaian ini, pelaku bisnis juga berkontribusi dalam memajukan industri pakaian lokal dengan memperluas pasar agar mereknya semakin dikenal oleh masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Bahkan, pelaku bisnis slow fashion secara tidak langsung menyuarakan aksi sadar lingkungan dengan meminimalisir limbah pakaian.
Di sisi lain, kesadaran masyarakat akan lingkungan sudah sangat maju, sehingga masyarakat akan lebih memilih membeli produk-produk ramah lingkungan.