Konten dari Pengguna

Oh, Inikah Rasanya Diskriminasi

Rachmi Yamini
ASN Pemprov. DKI Jakarta - Pustakawan - Pecinta Damai
2 Agustus 2024 6:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rachmi Yamini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Diskriminasi (Sumber: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Diskriminasi (Sumber: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Sebagai seseorang yang memilki kualitas rata-rata dan tanpa kelebihan atau karakteristik tertentu, saya merasa tidak pernah mendapatkan hak yang berbeda dan perlakuan istimewa dari lingkungan sekitar. Hidup rasanya biasa-biasa saja dan normal-normal saja. Begitu juga dengan perlakuan berbeda yang cenderung tidak adil atau buruk dari orang lain. Sebagai seseorang yang terlahir dari suku dan agama mayoritas di Indonesia, rasanya perlakuan diskriminasi tidak pernah terbayangkan akan saya alami.
ADVERTISEMENT
Memang sih, ketika kecil saya pernah dirundung oleh teman sekolah yang seingat saya karena mereka (para perundung) memang nakal saja dan karena saya yang sedikit cengeng. Mereka mengejek bahkan memukul karena merasa lebih kuat dan keren, bukan karena suku, ras, agama, usia, jenis kelamin, orientasi seksual, atau karakteristik lain yang saya miliki.
Tinggal di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, saya merasa punya banyak kesamaan dengan masyarakatnya. Jadi rasanya seperti punya banyak teman senasib sepenanggungan. Lain ceritanya ketika saya berkunjung ke negara berbeda di mana saya menjadi bagian dari si minoritas. Beberapa perlakuan tidak menyenangkan saya terima yang membuat saya merasa "oh, begini rasanya didiskriminasi."
Perlakuan diskriminasi ini pertama kali saya rasakan ketika saya berlibur ke Vietnam sebagai solo traveler. Saat mengikuti open trip ke Ha Long Bay dari kota Hanoi, saya merupakan salah satu dari 2 orang peserta trip yang berasal dari Indonesia dari total peserta yang kurang lebih berjumlah 60 orang. Saya tidak kenal dengan peserta lain yang berasal dari Indonesia tersebut dan saya tidak bisa mengenalinya saat itu. Sejak awal, saya memang sendirian. Apalagi, saya satu-satunya peserta trip yang menggunakan jilbab. Meski belum sempurna, jilbab yang saya kenakan menjadi identitas yang menyatakan keyakinan saya.
ADVERTISEMENT
Semua bermula ketika menaiki bus dari Hanoi menuju Ha Long International Cruise Port. Seorang pemandu tur, sebut saja Mr. Kim, meminta saya pindah tempat duduk ke tempat duduk lain saat bus berjalan agar 2 orang yang menaiki bus setelah saya bisa duduk bersama. Sebetulnya ada beberapa peserta tur yang juga merupakan solo traveler dan duduk sendirian, tetapi Mr. Kim memilih saya (mungkin) karena saya mudah diidentifikasi dengan jilbab saya. Pikiran buruk saya mengatakan bahwa saya adalah sasaran empuk.
Perahu pelayaran trip Ha Long Bay (sumber: dokumentasi pribadi)
Selama perjalanan pelayaran Ha Long Bay, kami menaiki perahu dan diminta untuk duduk di bagian dalam kapal yang terdiri dari beberapa meja panjang dengan 6 kursi penumpang di masing-masing meja layaknya susunan meja di restoran. Pertama kali memasuki ruangan kapal, saya memilih duduk bersama di meja yang sudah berisi 4 orang perempuan; 2 orang dari Jepang, 2 orang lainnya tidak saya ketahui dari mana asalnya. Tidak lama, Mr. Kim menghampiri saya dan (lagi-lagi) meminta saya untuk pindah tempat duduk. Tebak kenapa? Karena ada 2 orang peserta trip yang ingin duduk bersama tetapi tidak menemukan 2 kursi kosong di meja yang sama. Jadi, saya diminta pindah ke meja lain supaya 2 peserta trip tadi bisa duduk bersama.
ADVERTISEMENT
Kali ini, di meja yang baru, saya duduk bersama 2 perempuan dan 2 orang laki-laki. Loh, meja ini baru diisi 4 orang, kenapa saya harus pindah jika 2 orang peserta trip tadi mau duduk bersama? Seharusnya mereka bisa duduk di meja baru ini tanpa harus mengusir saya dari meja yang lama. Aneh. Tapi saya malas ribut, toh sama saja, saya sendirian, jadi tidak usah dibuat repot.
Kejadian yang paling tidak menyenangkan ternyata berasal dari meja yang baru saya tempati ini. Ketika kapal mulai berlayar, kami saling berkenalan. Dua orang perempuan merupakan sepasang teman yang datang dari Singapura, 1 orang pria berasal dari Australia, dan 1 orang pria lainnya berasal dari Israel. Ketidaknyamanan mulai saya rasakan ketika pria Australia mulai membahas konflik Israel dan Palestina kepada pria Israel. Dia bahkan menyebut "animal" yang ditujukan pada Hamas di depan saya. Saya hanya bungkam. Selain karena keterbatasan kemampuan berbahasa Inggris saya, keterbatasan kemampuan berpikir, dan secuil hati nurani saya membuat saya diam tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Pemandangan Ha Long Bay dari Ti Top Islet (sumber: dokumentasi pribadi)
Saya berpikir pria Australia merasa tidak nyaman duduk bersama saya karena setelah makan siang dia mulai mencari tempat duduk kosong di meja lain. Tetapi sangat disayangkan, dengan terpaksa dia tetap kembali ke meja asalnya. Selama sisa perjalanan Ha Long Bay ini saya memilih untuk sedikit mengobrol dengan 2 perempuan Singapura saja dan membiarkan 2 pria dewasa tadi membahas urusan mereka.
ADVERTISEMENT
Di akhir perjalanan, Mr. Kim meletakkan amplop kosong dan berkata jika kami, peserta trip, menyukai layanan yang diberikan oleh perusahaan operator trip, kami boleh memasukkan uang tip ke dalam amplop tersebut. Saya yang pertama kali memasukkan uang ke dalam amplop ketika peserta trip lain di meja tersebut masih berada di luar untuk menikmati pemandangan matahari terbenam dari atas dek kapal. Lalu pria Australia mengambil selembar uang dari dompetnya dan hendak memasukkan uang tersebut ke dalam amplop. Ketika melihat ke dalam amplop ada selembar uang yang lebih besar 10 kali lipat dari selembar uang yang dipegangnya, dia bertanya apakah uang itu dari saya. Begitu mendengar jawaban saya, dia berkata, "now i feel like shit" sambil memasukkan uangnya ke dalam amplop dan buru-buru pergi menuju dek kapal.
ADVERTISEMENT
Yah, bukan salah saya, pak.