Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Obesitas yang Menyerang Masyarakat Miskin
26 September 2020 15:35 WIB
Tulisan dari Raden Muhammad Wisnu Permana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Nampaknya, stigma yang mendarah daging dimana masyarakat miskin yang memiliki tubuh kurus karena kekurangan gizi saat ini sudah harus berubah. Mengapa? Karena sebaliknya, saat ini saya lihat justru masyarakat miskinlah yang cenderung mengalami obesitas dibandingkan mereka yang beruntung berada di masyarakat kelas menengah, apalagi masyarakat kelas atas.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Kompas.com , Konsumsi karbohidrat dan lemak masyarakat Indonesia sebenarnya sudah melebihi apa yang dianjurkan. Hal ini tak lepas dari besarnya konsumsi beras dan kebiasaan untuk mengkonsumsi makanan yang digoreng. Belum lagi karbohidrat dari mi, bakrie, kwetiau dan juga makanan olahan dari tepung-tepungan seperti kue maupun jajanan lainnya.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2010, rata-rata konsumsi lemak secara nasional 47,2 gram atau 25,6 persen dari total konsumsi energi atau lebih dari anjuran Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) yakni 25 persen. Sedangkan, kontribusi karbohidrat terhadap total konsumsi energi adalah 61 persen atau sedikit di atas angka yang dianjurkan yakni 50-60 persen dari total konsumsi energi. Secara nasional tampaknya hanya lebih sedikit saja, tetapi membahayakan kesehatan
ADVERTISEMENT
Terjadi akumulasi lemak baik dari kelebihan konsumsi lemak itu sendiri maupun karbohidrat karena asupan karbohidrat yang berlebih akan disimpan tubuh dalam bentuk lemak. Akibatnya, kolesterol tinggi dan rawan menyebabkan penyakit pembuluh darah, ujar Ketua Yayasan Gema Sadar Gizi sekaligus dokter spesialis gizi klinik Tirta Prawita Sari
Masyarakat Indonesia itu kelebihan konsumsi beras, minyak, dan lemak. Biasanya, ini terkait dengan kebiasaan menggoreng makanan. Sedangkan, konsumsi sayur, buah, dan protein malah kurang, ujarnya.
Itulah sebabnya, mengapa saya mengatakan bahwa di zaman sekarang, obesitas itu lebih rentan dialami oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Dan, di sini saya tidak bermaksud menyinggung siapapun, ini hanyalah tulisan untuk sekadar berbagi dan sebagai bentuk kritikan sosial saja.
Mereka yang berpenghasilan rendah, seperti buruh pabrik, kuli bangunan, ataupun profesi-profesi lainnya yang berpenghasilan rendah, memiliki pola pikir, “Makan yang penting kenyang” agar kuat bekerja dan beraktivitas tanpa memikirkan berapa jumlah kalori yang dikonsumsi, kandungan gizinya seperti apa, bagaimana persentase karbohidrat maupun protein yang dikonsumsinya.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui, harga buah-buahan per kilonya di pasar tradisional jika dibandingkan dengan sebungkus paketan nasi bungkus yang berisikan nasi yang berlimpah, mi goreng, maupun sejumlah gorengan seperti bala-bala, gehu, atau bakwan, tentu saja lebih mahal harga buah-buahan.
Bayangkan berapa banyak karbohidrat yang mereka konsumsi, mulai dari nasi yang berlimpah, belum lagi ditambah mi goreng, dan sejumlah gorengan bertepung, belum lagi biasanya ditambah es teh manis sebagai pelengkap, berapa banyak kalori yang mereka konsumsi?
Intinya apa? Makanan sehat seperti buah-buahan itu tidak terjangkau oleh mereka. Daripada membeli pisang satu sisir yang tidak terlalu mengeyangkan dan berharga sangat mahal, tentu saja mereka lebih memilih paketan nasi bungkus tadi yang mengenyangkan dan harganya jauh lebih murah.
ADVERTISEMENT
Dan sayangnya, sebagian besar dari mereka tidak akan menyisihkan waktu untuk workout atau sekadar berolahraga untuk membakar kalori seperti yang kerap kali dilakukan oleh masyarakat kelas menengah karena kelelahan setelah seharian bekerja. Dan tentu saja, kerja keras sangat berbeda dengan workout. Biarpun mereka kelelahan seharian setelah kerja kasar yang mengandalkan fisik, kalori yang dibakar tidak sebanyak dengan yang dibakar saat olahraga yang sesungguhnya. Ini belum ditambahkan dengan pola makan seperti yang saya sebutkan di atas.
Tidak heran, itulah mengapa para fitness model di Instagram pada umumnya adalah mereka yang berpenghasilan tinggi karena makanan sehat mulai dari sayuran dan buah-buahan segar, nasi merah, hingga daging ayam dan daging sapi yang kerap kali mereka konsumsi sehari-hari, sampai sejumlah susu dan suplemen, adalah makanan dengan kadar kalori yang rendah dan nilai gizinya sangat tinggi, tidak akan sanggup dijangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa masyarakat Eropa pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan masyarakat Indonesia. Jangankan itu, saat ini kita sangat tertinggal dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia dari masalah tinggi badan karena pola konsumsi kita yang tidak memperhatikan takaran gizinya yang diakibatkan oleh rendahnya edukasi masyarakat akan nilai gizi dan tentu saja faktor yang paling utama adalah faktor ekonomi, di mana masyarakat kita pada umumnya mementingkan, “Yang penting kenyang” karena makanan sehat tidak terjangkau oleh dompet mereka.
Itulah sebabnya mengapa atlet Indonesia prestasinya sangat jauh tertinggal dengan negara lain karena masih banyaknya atlet Indonesia yang alih-alih memakan-makanan sehat, mereka kerap kali mengkonsumsi makanan-makanan junk food karena makanan sehat seperti yang saya sebutkan di atas tidaklah terjangkau oleh kantong mereka.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana solusinya? Secara teoritis, solusinya tentu saja adalah dengan edukasi secara masif kepada seluruh lapisan masyarakat tentang pola hidup bersih dan sehat, dan juga mengupayakan pertumbuhan ekonomi agar daya beli masyarakat dengan penghasilan rendah meningkat agar dapat meningkatkan kualitas dari apa yang mereka konsumsikan sehari-hari agar masyarakat kita dapat lebih berprestasi dalam bidang olahraga dan bidang akademik.