Konten dari Pengguna

Transformasi Peran Guru BK di Era Digital: Lebih dari Sekadar 'Polisi Sekolah'

Rafa Faza Kanaya
Mahasiswi Bimbingan dan Konseling Universitas Sebelas Maret
31 Oktober 2024 8:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rafa Faza Kanaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Julia M Cameron: https://www.pexels.com/photo/photo-of-child-sitting-by-the-table-while-looking-at-the-imac-4145153/
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Julia M Cameron: https://www.pexels.com/photo/photo-of-child-sitting-by-the-table-while-looking-at-the-imac-4145153/
ADVERTISEMENT
"Polisi sekolah" masih menjadi sebutan yang melekat pada sosok guru Bimbingan dan Konseling (BK) di mata para peserta didik. Tidak hanya itu, julukan lain seperti "tukang potong rambut", "penyita barang", hingga "satpam sekolah" juga kerap terdengar di lingkungan sekolah. Anggapan negatif ini muncul karena pendekatan yang kurang tepat dari beberapa guru BK yang masih mengedepankan hukuman dan tindakan yang bersifat reaktif dalam menangani peserta didik. Akibatnya, ruang BK yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman untuk berkonsultasi, justru berubah menjadi "ruang menakutkan" yang dihindari siswa.
ADVERTISEMENT
Saya berpendapat bahwa stereotip ini sangat merugikan, tidak hanya bagi guru BK, tetapi terutama bagi para peserta didik. Bagaimana mungkin peserta didik bisa mendapatkan bimbingan yang optimal jika mereka takut untuk bertemu guru BK? Padahal, di era digital seperti sekarang, peran guru BK justru semakin dibutuhkan. Berbagai permasalahan baru bermunculan, mulai dari kecanduan gawai, cyberbullying, hingga masalah kesehatan mental yang semakin kompleks di kalangan remaja.
Seperti yang dikemukakan oleh Arif Ainur Rofiq, hubungan yang tidak harmonis antara guru BK dan siswa hanya akan mempersulit proses identifikasi masalah dan melemahkan fungsi pengawasan. Hal ini tentu kontraproduktif mengingat hakikat guru BK adalah mitra terpercaya yang seharusnya menjadi tempat siswa berbagi cerita dan mencari solusi atas permasalahan mereka.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, perlu diadakan transformasi peran guru BK di era digital ini. Guru BK perlu berevolusi dari "polisi sekolah" yang ditakuti menjadi fasilitator yang memahami, mendampingi, dan memberdayakan potensi peserta didik. Dengan pendekatan yang bersifat preventif dan terencana dalam melaksanakan layanan yang mengikuti perkembangan zaman, guru BK dapat kembali ke peran sejatinya sebagai konselor profesional yang dipercaya dan diandalkan oleh peserta didik.
Realita yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa peran guru BK masih belum maksimal dan banyak yang hanya mengedepankan pendisiplinan semata. Permasalahan ini diperparah dengan fakta bahwa masih banyak sekolah yang menempatkan guru mata pelajaran sebagai guru BK, padahal mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan Bimbingan dan Konseling. Akibatnya, praktik layanan BK menjadi tidak maksimal karena kurangnya pemahaman dan keterampilan yang memadai. Banyak guru BK yang lebih fokus menangani pelanggaran tata tertib seperti keterlambatan, seragam yang tidak sesuai, atau rambut yang tidak rapih. Pendekatan yang digunakan pun cenderung reaktif, yaitu menunggu masalah muncul baru kemudian bertindak. Hal ini menyebabkan jangkauan layanan BK menjadi sangat terbatas dan kurang efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, tantangan yang dihadapi para peserta didik di era digital seperti sekarang semakin kompleks. Permasalahan tidak lagi sekadar pelanggaran tata tertib konvensional, tetapi telah merambah ke ranah digital. Kasus cyberbullying, kecanduan media sosial, dan penyalahgunaan teknologi menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Para peserta didik di generasi digital ini membutuhkan bimbingan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka memerlukan pendampingan lebih dalam mengelola kehidupan digital mereka secara bijak dan sehat.
Photo by Keira Burton from Pexels: https://www.pexels.com/photo/diverse-friends-bullying-classmate-near-building-6147155/
Saya meyakini bahwa transformasi peran guru BK adalah hal yang sangat perlu dilakukan. Guru BK harus beralih dari peran "penegak aturan" menjadi fasilitator pengembangan diri yang efektif melalui pendekatan BK komprehensif. Contohnya dalam layanan dasar, guru BK dapat memberikan bimbingan klasikal tentang literasi digital, kecerdasan emosional, dan keterampilan sosial yang dibutuhkan di era digital. Untuk layanan responsif, guru BK bisa menyediakan konseling individual atau kelompok untuk menangani masalah-masalah seperti kecanduan gawai atau konflik di media sosial. Dalam aspek perencanaan individual, guru BK dapat membantu peserta didik merencanakan karier dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi dan tren pekerjaan masa depan. Perlu di ingat bahwa pendekatan ini perlu didukung juga oleh dukungan sistem yang kuat, meliputi kolaborasi dengan orang tua, guru mata pelajaran, dan profesional kesehatan mental, serta pengembangan kompetensi guru BK secara berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, guru BK perlu membangun hubungan yang lebih personal dan konstruktif dengan peserta didik. Guru BK juga sebaiknya aktif dalam kegiatan-kegiatan peserta didk, tidak hanya menunggu di ruang konseling. Dengan cara ini, guru BK dapat memahami dinamika dan kebutuhan peserta didik secara lebih mendalam.
Transformasi ini tentu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Sekolah perlu menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk infrastruktur digital untuk mendukung layanan BK modern. Peningkatan kompetensi guru BK dalam hal teknologi dan pemahaman karakteristik generasi digital juga menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Hanya dengan perubahan menyeluruh seperti ini, guru BK dapat kembali menemukan relevansinya di era digital dan memberikan dampak positif yang optimal bagi perkembangan peserta didik.
ADVERTISEMENT
Perubahan strereotip tentang peran guru BK di sekolah merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda lagi. Stereotip guru BK sebagai "polisi sekolah" sudah sepatutnya ditinggalkan dan digantikan dengan citra guru BK sebagai sosok terpercaya dan profesional dalam pengembangan diri peserta didik. Transformasi ini menjadi semakin mendesak mengingat kompleksitas tantangan yang dihadapi peserta didik di era digital.
Untuk mewujudkan transformasi tersebut, diperlukan komitmen dari berbagai pihak. Contohnya, sekolah harus memastikan bahwa posisi guru BK diisi oleh lulusan yang memiliki latar belakang pendidikan Bimbingan dan Konseling, Sesuai dengan Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah yang menetapkan standar kualifikasi akademik minimal Sarjana Pendidikan (S-1) bidang Bimbingan dan Konseling atau lulusan Pendidikan Profesi Konselor (PPK) dan telah lulus pendidikan profesi Guru Bimbingan dan Konseling, yang dilengkapi dengan empat kompetensi utama: pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Selain itu, penerapan program BK komprehensif yang mencakup layanan dasar, responsif, perencanaan individual, dan dukungan sistem harus dilaksanakan secara konsisten. Dengan pendekatan yang lebih humanis, profesional, dan adaptif terhadap perkembangan zaman, guru BK dapat menjalankan perannya secara optimal dalam membantu siswa menghadapi tantangan era digital.
ADVERTISEMENT
Saya percaya bahwa sudah saatnya kita bersama-sama mendukung transformasi peran guru BK. Ketika guru BK dapat menjalankan fungsinya secara profesional, maka peserta didik akan mendapatkan layanan yang tepat dalam mengembangkan potensi diri dan menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Pada akhirnya, transformasi ini akan memberikan dampak positif tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.
Disusun oleh : Rafa Faza Kanaya dan Prof. Dr. Andayani, M.Pd.