Konten dari Pengguna

Gaya Rebahan Hidup Jadi Taruhan: Dampak Gaya Hidup Sedenter Pada Kesehatan

Muhammad Rafid Ridho
Mahasiswa Fakultas kedokteran Universitas Andalas
24 November 2024 13:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rafid Ridho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Contoh gaya hidup sedenter (sumber: iStock)
zoom-in-whitePerbesar
Contoh gaya hidup sedenter (sumber: iStock)
ADVERTISEMENT
Rebahan, mager, nyantai, nobar, dan mabar bukan lagi kosakata asing di telinga kita. Tentu, kita semua pasti pernah melakukan salah satu gaya hidup sedenter tersebut, bahkan kita sampai terlena dengannya sampai kita melupakan pekerjaan atau tugas kita. Hal ini semakin diperparah oleh pandemi COVID-19 dan kebijakan social distancing yang membuat aktivitas fisik di masa pascapandemi menjadi lebih menantang. Lantas, apa dampak dari gaya hidup sedenter tersebut, dan bagaimana cara mencegahnya?
ADVERTISEMENT
Definisi gaya hidup sedenter Gaya hidup sedenter, menurut KBBI, adalah kondisi di mana seseorang banyak duduk dan memiliki sedikit aktivitas fisik. Sementara itu, menurut Dorland’s Medical Dictionary, gaya hidup sedenter adalah kebiasaan tidak aktif yang berasal dari bahasa Latin sedere, yang berarti "duduk".
Perilaku sedenter didefinisikan sebagai aktivitas yang memerlukan sedikit atau bahkan tidak ada pengeluaran energi tambahan dibandingkan dengan laju metabolisme saat istirahat. Contohnya : duduk atau berbaring selama jam-jam terjaga(waktu ketika kita tidak tidur) . Secara umum, aktivitas ini terbagi menjadi dua kelompok:
ADVERTISEMENT
Prevalensi gaya hidup sedenter Saat ini, rata-rata orang dapat menghabiskan lebih dari 60% dari 16 jam waktu terjaga mereka dalam posisi duduk—baik saat menonton TV, bekerja di depan komputer, berbicara di telepon, maupun saat bepergian dengan mobil. Menurut peneliti dari World Health Organisation (WHO), lebih dari 80% remaja di seluruh dunia tidak cukup aktif. Kebiasaan ini membahayakan kesehatan mereka karena terlalu banyak waktu dihabiskan di depan layar daripada beraktivitas fisik.
Selain itu, terdapat kesenjangan gender yang signifikan, di mana rata-rata anak laki-laki lebih aktif daripada anak perempuan, kecuali di empat negara: Afghanistan, Samoa, Tonga, dan Zambia. Selain itu, pada data terakhir di tahun 2016 Proporsi anak perempuan yang kurang aktif di 27 negara meningkat hingga lebih dari 90% dibandingkan tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Dampak gaya hidup sedenter pada kesehatan
Gaya hidup sedenter diketahui meningkatkan risiko penyakit kronis, termasuk kematian akibat penyakit kardiovaskular, kematian dini, dan obesitas.
Dr. Mark Tremblay dari The Children’s Hospital of Eastern Ontario Research Institute menyebutkan dalam jurnalnya bahwa kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor risiko keempat penyebab kematian dini di seluruh dunia.
Anak-anak dan remaja yang menghabiskan 6–8 jam sehari untuk menonton TV, bermain gim, atau menggunakan komputer menunjukkan hubungan yang kuat dengan obesitas, peningkatan massa lemak, indeks massa tubuh (IMT) yang tinggi, serta penurunan prestasi akademik. Waktu layar juga dikaitkan dengan perilaku tidak sehat, masalah psikososial, kelebihan berat badan, dan rendahnya produktivitas.
Gaya hidup sedenter juga berdampak pada disfungsi metabolik, seperti peningkatan trigliserida plasma dan kolesterol lipoprotein densitas tinggi (HDL) serta penurunan sensitivitas insulin. Konsentrasi lipoprotein lipase (LPL), protein yang penting untuk metabolisme lipid, menurun akibat ketidakaktifan fisik. Hal ini berkontribusi pada hipertensi berat, dislipidemia akibat diabetes, gangguan metabolik terkait penuaan, sindrom metabolik, dan penyakit arteri koroner.Ketidakaktifan fisik juga menghambat aktivitas LPL di otot rangka dan dengan cepat memberi sinyal terjadinya gangguan metabolisme lipid.
ADVERTISEMENT
Dalam eksperimen menggunakan model tikus, pengurangan aktivitas LPL pada tikus yang berjalan hanya sekitar 10% dari aktivitas LPL pada tikus yang hanya ditempatkan di dalam kandangnya. Hasil percobaan tersebut membuktikan bahwa aktivitas LPL otot sangat sensitif terhadap ketidakaktifan fisik dan aktivitas kontraksi otot berintensitas rendah dapat menjadi bukti yang mendukung teori bahwa perilaku sedenter merupakan faktor risiko bagi berbagai gangguan metabolik.
Selain itu, ketidakaktifan fisik juga dapat mengurangi kepadatan mineral tulang. Dalam sebuah studi pada pria dan wanita dewasa yang sehat, 12 minggu istirahat di tempat tidur menurunkan kepadatan mineral pada tulang belakang lumbar, leher femoral, dan trokanter mayor sebesar 1%–4%.
Beberapa penelitian juga menemukan dampak negatif gaya hidup sedenter pada kesehatan vaskular. Sebuah studi pada wanita sehat menunjukkan bahwa 56 hari istirahat di tempat tidur menurunkan vasodilatasi endotel dan meningkatkan kerusakan sel endotelial. Namun, efek ini dapat dicegah melalui latihan aerobik dan latihan otot.
ADVERTISEMENT
Pencegahan dan Solusi
Bersepeda atau berjalan kaki ke sekolah merupakan salah satu pencegahan efek buruk gaya hidup sedenter (Sumber : iStock)
Untuk mencegah dampak gaya hidup sedenter, aktivitas berbasis layar harus dikurangi. Konsumsi layar pasif (seperti membiarkan TV menyala tanpa ditonton) harus dihindari. Kamar tidur dan waktu makan juga sebaiknya bebas dari perangkat elektronik.
Orang tua dan wali dapat mendukung kebiasaan sehat dengan menerapkan aturan waktu layar yang jelas dan memberikan contoh dengan berpartisipasi dalam aktivitas fisik, seperti bermain di luar ruangan. Jika pengurangan waktu sedenter sulit dilakukan, disarankan untuk melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang hingga berat selama 150–300 menit per minggu. Remaja, khususnya, dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang hingga berat selama satu jam per hari, termasuk berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah jika memungkinkan.
ADVERTISEMENT