Konten dari Pengguna

Taktik Ofensif PKI di Era Transisi Orde Lama ke Orde Baru

Ragil Adi Santoso
Ragil Adi Santoso - Seorang mahasiswa pada Program Studi Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Mahasiswa yang memiliki fokus isu pada kebijakan publik hingga perspektif akan dinamika politik pemerintahan.
12 Desember 2024 11:46 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ragil Adi Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi PKI pada masa transisi orde lama ke orde baru. Gambar: hasil olahan AI-ChatGPT
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi PKI pada masa transisi orde lama ke orde baru. Gambar: hasil olahan AI-ChatGPT

Gejolak politik dan pemerintahan Indonesia pada masa orde lama menuju peralihan pada masa orde baru diwarnai oleh berbagai dinamika politik yang sangat beragam.

ADVERTISEMENT
Terlebih pada masa transisi ini power (kekuatan) Partai Komunis Indonesia atau PKI memiliki pengaruh yang besar. Hal tersebut dikarenakan PKI memiliki berbagai taktik apik dalam menjalankan misi untuk menciptakan demokrasi rakyat dan masyarakat sosialis-komunis. Pada Pemilu 1955 PKI mendapatkan kemenangan sebanyak 6 juta suara pemilih yang mengartikan masuk sebagai satu diantara 4 partai besar seperti PNI, Masyumi, dan NU. Kemenangan tersebut memberikan kemulusan pada ambisi politiknya di Indonesia dalam pengaruh komunisme. Berbagai tindakan dilakukan meliputi menanamkan doktrin terhadap bidang kenegaraan, politik, ekonomi, sosial dan budaya hingga ke ranah keamanan dan pertahanan (hankam). Pergerakan PKI dilancarkan secara sistematis dan terkonsep melalui berbagai cara seperti parlementer hingga perjuangan bersenjata.
ADVERTISEMENT
Ofensif Manipolis dan Relasi Politis Soekarno-PKI
Ambisi PKI pada masa transisi dalam bidang ideologi memiliki keberanian yang luar biasa hingga ada usaha dalam menggantikan sila pertama Pancasila dari “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan rumusan “Kemerdekaan Beragama” seperti yang disampaikan oleh Njoto dalam sidang-sidang konstituante tahun 1958. Alasan mendasar akan rumusan tersebut karena PKI menganggap bahwa setiap rakyat tidak sebatas pada monotheisme (satu agama yang dianut) akan tetapi ada pula yang politheisme (lebih dari satu Tuhan) hingga atheisme (tidak beragama).
Pada tahun 1954, PKI menyusun sebuah strategi perjuangan yang disebut “Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP)” yang berisikan sasaran utama melalui doktrin komunisme di kalangan ABRI yang dilaksanakan secara intensif baik secara terbuka maupun tertutup. Di sisi lain, dikarenakan terjadi ketegangan di beberapa daerah yang mengancam kesatuan dan persatuan maka Presiden Soekarno pada 21 Februari 1957 menyampaikan sebuah konsesi dalam pidato Menyelamatkan Republik Proklamasi yang bermaksud adanya pembentukan kabinet gotong royong dan adanya demokrasi terpimpin. Kondisi demikian memberikan ruang dan kesempatan besar bagi PKI karena secara langsung artinya akan terbentuk pemerintahan koalisi nasional. Melalui hal tersebut maka dapat terbentuk Front Persatuan Nasional yang menjadi dambaan bagi PKI dalam melancarkan ambisinya.
ADVERTISEMENT
Pergerakan PKI lebih mulus yaitu ketika D.N. Aidit (Ketua Committee Central PKI) memimpin Panitia Kerja Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam merumuskan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) setelah dekrit 5 Juli 1959. Melalui peluang tersebut maka Aidit berusaha memasukan program-program PKI dalam GBHN dengan judul Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Acuan daripada itu berdasarkan pada tesis PKI yang berjudul Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (MIRI) yang telah disusun pada 1957. Dengan demikian kepentingan PKI sudah menjadi bagian dari kepentingan nasional.
Pada tahun 1960, Presiden Soekarno mengadakan pembaharuan struktur pemerintahan yang berdasarkan pada Manipol dengan membentuk badan-badan baru seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), DPA, dan Front Nasional (FN). Hal ini menjadi keuntungan bagi PKI karena berhasil menyetir Front Nasional jauh menyimpang dari maksud awal pembentukannya sebagai alat penggerak masyarakat demokratis. Bahkan orang-orang PKI juga menjadi bagian anggota dari badan-badan baru tersebut.
ADVERTISEMENT
Berbagai angin segar diberikan oleh Presiden Soekarno kepada PKI seperti pada penutupan Kongres Nasional VI PKI September 1959, Soekarno menyampaikan sambutan berjudul:
Bahkan Soekarno juga menjanjikan akan membentuk kabinet Gotong Royong dengan melibatkan PKI. Hal ini memberikan sinyal kuat bahwa Soekarno memberikan perlindungan kepada PKI secara politis. Dengan kondisi tersebut PKI mulai melawan TNI-AD dengan berbagai kritik dan tuduhan hingga adanya Peristiwa Tiga Selatan sebuah peristiwa kekacauan di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Upaya tersebut dilawan oleh TNI-AD melalui Undang-Undang Keadaan Bahaya, adanya perintah menangkap dan memeriksa pimpinan PKI hingga melarang media massa PKI untuk terbit dan beredar. Terdapat upaya memberikan saran agar hati-hati kepada Soekarno oleh pimpinan TNI-AD namun saran tersebut tidak diindahkan dan justru melontarkan sikap agar tidak fobi terhadap PKI dan tidak menyalahgunakan Undang-Undang Keadaan Bahaya. Berbagai peluang dan kesempatan yang diberikan Soekarno kepada PKI terus memberikan kekuatan hingga mereka menyusun strategi ofensif revolusioner dan bukan lagi melalui taktik parlementer.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1964 adalah tahun awal dari ofensif PKI terhadap tokoh-tokoh serta kekuatan politik yang dianggap sebagai musuhnya. PKI menebar tuduhan kontra-revolusi, anti Pancasila, anti-Manipol, anti-Pemimpin Besar Revolusi terhadap lawan politiknya secara sistematis dan berulang-ulang. Hal unik dari aksi ini adalah ternyata mendapat sorot dan dukungan dari Presiden Soekarno serta merestui aksi-aksi tersebut yang dianggap sebagai aksi revolusioner. Bahkan dalam Konferensi Nasional Barisan Tani Indonesia (BTI) 7 September 1964 Soekarno menyatakan bahwa “Kiri adalah soko guru revolusi” dan menyampaikan bahwa camat-camat hingga menteri untuk jangan BTI-fobi.
Selama tahun 1964 terdapat berbagai aksi yang dilakukan oleh PKI sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Pada 17 Agustus 1964 pidato Soekarno berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Tahun yang menyerempet-nyerempet bahaya) menandakan bahwa seakan PKI mendapatkan dorongan dari pidato tersebut kemudian menjadikannya Hari-H ofensif manipolis mereka. Apalagi sesudah Kabinet Dwikora yang terbentuk 27 Agustus 1964 terdapat beberapa orang PKI duduk sebagai menteri koordinator dan menteri. Adanya pembentukan Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi (Kotrar) adalah kemenangan bagi PKI serta disambut gembira akan pembentukan ini.
TNI-AD: Benalu Utama bagi Misi PKI
Kekuasaan negara bagi pandangan kaum komunis akan mampu dicapai ketika mampu menguasai Angkatan Perang. Usaha yang dilakukan oleh PKI di Indonesia sebenarnya sudah dilaksanakan sejak Perang Kemerdekaan dimana saat itu Amir Syarifuddin sebagai Menteri Pertahanan. Amir menyusun sebuah konsepsi guna membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) menurut pada model Tentara Merah di Rusia tanpa adanya pertimbangan watak serta ciri TNI yang lahir sebagai anak kandung dari revolusi. Akan tetapi, konsepsi tersebut ditolak oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman yang merumuskan konsepsi bahwa TNI merupakan tentara rakyat dan tentara revolusi. Amir sebagai menteri pertahanan yang memiliki kuasa besar meneruskan konsesinya dan terbentuk badan bernama Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) dimana anggotanya disebut opsir politik (komisaris politik jika di negara komunis). Anggota dari Pepolit ini adalah orang ekstrim kiri yaitu orang-orang yang separtai dengannya.
ADVERTISEMENT
Berbagai upaya dilakukan oleh kaum komunis dalam Perang Kemerdekaan seperti pembentukan TNI-Masyarakat sebagai tandingan TNI hingga transfer anggota Marine Keamanan Rakyat (MKR) ke Direktorat Jenderal Angkatan Laut yang berhaluan kiri/komunis. Akan tetapi tindakan tersebut digagalkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kaum komunis tidak kehilangan akal mereka merambah taktik melalui jalur parlementer guna menguasai TNI. Kemudian Baharuddin anggota KNIP sekaligus kawan separtai Amir Syarifuddin menyampaikan kepada pemerintah mosi Rasionalisasi Angkatan Perang sebagai berikut:
Hal demikian bertujuan agar Angkatan Perang dapat dikuasai oleh kaum komunis. Seharusnya rasionalisasi ini berjalan lancar karena mendapat dukungan partai-partai lain akan tetapi sebelum terlaksana Kabinet Amir sudah jatuh terlebih dahulu. Amir Syarifuddin kemudian menghimpun seluruh kekuatan pada golongan kiri yang dirasionalisasikan pada Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang juga sebagai tulang punggung utama dari pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948.
ADVERTISEMENT
Berbagai tindakan tersebut adalah upaya PKI dalam menguasai dan mempengaruhi Angkatan Perang akan tetapi usaha tersebut gagal. Kegagalan ini didasarkan bahwa TNI sudah memiliki konsepsi sendiri dimana TNI adalah tentara nasional, tentara revolusi, dan tentara rakyat. TNI merupakan pejuang serta prajurit yang akan berjuang demi membela kepentingan rakyat. Tindakan terus dilakukan oleh PKI hingga adanya cara secara diam-diam melakukan cara intensif memasukan kader-kadernya menjadi tamtama dan bentara di ABRI.
Upaya ofensif revolusioner terus digerakan hingga mendekati hari peringatan ke-45 pada Mei 1965 dengan dilakukannya berbagai tindakan seperti membakar rumah-rumah rakyat di Desa Sambirejo Ngawi hingga adanya 200 anggota BTI mengeroyok Pelda Sudjono di PPN Karet IX Bandar Betsy.
Hingga pada Mei 1965, PKI beranggapan bahwa aksi-aksinya dapat dilanjutkan pada tahap perebutan kekuasaan. Kondisi partai-partai politik telah dilumpuhkan setidaknya dinetralisasikan. Kekuatan ABRI utamanya di tingkat daerah juga sudah ditaklukan. Bahkan atas kondisi tersebut, Aidit pada rapat raksasa HUT PKI 23 Mei 1965 menyatakan bahwa PKI adalah partai komunis nomor 1 di luar kubu sosialis dan nomor 3 di dunia yang beranggotakan 6 juta dan 20 juta simpatisannya. Aksi ofensif revolusioner semakin memuncak akan tetapi PKI juga mendapat halangan melalui Penetapan Presiden No.7/1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian. Melalui Panitia Tiga Menteri (Menteri Keamanan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, dan Menteri Wakil Ketua DPA), PKI dimintai keterangan dan disimpulkan bahwa atas berbagai tindakannya PKI sudah pasti memiliki tujuan lain baik secara politik maupun ideologis. Permasalahan ini dilaporkan kepada Presiden akan tetapi Soekarno mengabaikannya dan bahkan menolong PKI melalui Keputusan Presiden No.128/1961 yaitu bersama dengan 7 partai lainnya, PKI ditetapkan sebagai partai yang sah.
ADVERTISEMENT
Referensi
Notosusanto, N. (1985). Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969. PN Balai Pustaka: Jakarta.