Konten dari Pengguna

Presidential Threshold dan Demokrasi

Rahmat Faisal al Farobih
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11 Maret 2024 9:55 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Faisal al Farobih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pemilu di dalam negara yang menganut sistem demokrasi (sumber: https://www.pexels.com/id)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pemilu di dalam negara yang menganut sistem demokrasi (sumber: https://www.pexels.com/id)
ADVERTISEMENT
Pemilu memang telah usai, tetapi perdebatan tentang peraturan pemilu masih berlanjut. Salah satu perdebatan tersebut adalah perdebatan mengenai presidential threshold. Para elit politik memiliki sikap yang berbeda-beda dalam menyikapi presidential threshold. Baru baru ini, Mantan Wapres Jusuf Kalla mengusulkan agar presidential Threshold diturunkan dari 20% menjadi 5%, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengusulkan presidential threshold dihapus.
ADVERTISEMENT
Kita ketahui presidential threshold atau ambang batas presiden adalah syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden. Di Indonesia, penerapan presidential threshold di dalam pemilu pertama kali dilakukan pada pemilu 2004 dan berlanjut hingga saat ini.
Negara kita adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Demokrasi menuntut kesamaan hak dan ruang partisipasi publik yang seluas luasnya di dalam bernegara. Dari dalil itu, pemilu yang merupakan aturan main pertama yang harus dilalui oleh negara yang menganut bentuk pemerintahan demokrasi mesti memegang teguh dalil itu, kesamaan hak dan keluasan partisipasi publik. Tetapi ironisnya, presidential threshold tidak mencerminkan demikian.
Kita tahu persidential thershold menuntut agar parpol atau gabungan parpol yang ingin mencalonkan capres dan cawapres harus memiliki minimal 20% persen kursi di DPR. Hal ini tertera pada pasal 222 UU Pemilu. Dengan demikian, partai yang tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat mencalonkan kandidat yang ingin diusungnya kecuali ia harus berkoalisi dengan partai lain. Terkadang, pembentukan koalisi yang diakibatkan presidential threshold ini terlihat absurd. Hal ini dapat kita lihat pada pemilu sebelumnya. Partai-partai yang sudah jelas bertolakbelakang dalam ideologinya malah berkoalisi seperti partai yang berideologi konservatif malah berkoalisi dengan partai yang berideolgi progresif. Dampak lain dari presidential threshold ini adalah mempersempit ruang partisipasi publik. Hal ini dapat kita lihat dari partai-partai yang terpaksa berkoalisi dengan partai lain karena tidak memenuhi syarat presidential threshold, walaupun calon yang ditawarkan di dalam koalisi itu tidak sesuai dengan preferensi partainya. Presidential threshold jelas-jelas mempersempit atau membuat semakin sedikit calon-calon pemimpin pilihan rakyat yang dapat berkompetisi di dalam pemilu. Itu jelas-jelas bertentangan dengan dalil demokrasi yang menuntut agara ruang partisipasi publik dibuka selebar-lebarnya. Oleh sebab itu, presidential threshold semestinya harus dihapuskan agar ia tidak menjadi penghambat bagi arus demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Rahmat Faisal al-Farobi, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta