Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sembako DPR: Politik Simpati di Tengah Pandemi
28 Agustus 2021 22:39 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rahmat Sahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Citra politik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga tinggi Negara dengan tugas dan fungsinya yang begitu besar sangat ditentukan oleh pengelolaan manajemen dan strategi komunikasi. Dengan manajemen citra dan strategi komunikasi itulah, berbagai aktivitas kelembagaan DPR dan anggotanya bisa dimaknai secara efektif untuk membangun citra yang positif.
ADVERTISEMENT
Selama ini, dalam berbagai survei persepsi publik, citra kelembagaan DPR dalam hal tingkat kepercayaan maupun kepuasan kinerja bisa dikatakan masih jauh dari yang diharapkan, karena secara peringkat urutannya selalu di bagian tengah ke bawah. Padahal, sebagai lembaga yang merepresentasikan wakil rakyat harusnya DPR merupakan wajah rakyat itu sendiri.
Politik Sembako
Satu hal yang cukup positif dilakukan oleh beberapa anggota DPR belakangan ini, dan yang cukup masif dilakukan oleh Ketua DPR Puan Maharani adalah gerakan politik menarik simpati yakni pembagian sembako dan mendirikan dapur umum di sejumlah daerah. Gerakan itu menjadi upaya membuktikan kehadirannya sebagai wakil rakyat saat sebagian masyarakat mengalami kesusahan akibat Virus Corona di Indonesia atau pandemi COVID-19. Jika gerakan tersebut secara masif dilakukan oleh mayoritas anggota DPR di daerah pemilihan masing-masing dan dibarengi dengan manajemen komunikasi yang efektif, maka akan mengubah citranya lebih positif karena ada efek langsung yang dirasakan publik.
ADVERTISEMENT
Politik sembako sangat mudah berbuah simpati dan meningkatkan insentif akseptabilitas personal anggota Dewan, yang jika dilakukan secara sistematis dan masif akan terakumulasi pada meningkatnya citra DPR secara kelembagaan. Merujuk pemikiran Erving Goffman (1959) soal impression management atau manajemen citra, politik sembako di tengah pandemi menjadi pintu masuk bagi DPR secara kelembagaan memulihkan citranya yang selama ini kurang positif. Tentu, politik sembako saja tidak cukup, karena berdasarkan tugas dan fungsinya DPR juga harus bisa menunjukkan kinerjanya agar bisa dinilai sebagai cermin rakyat yang diwakilinya.
Momentum Ubah Citra
Percayalah, bahwa citra dapat berubah sewaktu-waktu sesuai kebutuhan individu atau lembaga yang melakukan manajemen citra. Maka, di masa pandemi ini, jadikanlah kesempatan untuk untuk membentuk citra, elemen penting yang menjadi presentasi diri masing-masing anggota sekaligus presentasi DPR secara kelembagaan.
ADVERTISEMENT
Pembahasan RUU APBN 2022 yang diorientasikan untuk menyelamatkan rakyat dari pandemi memang hal penting dan strategis yang bisa dilakukan DPR. Namun, upaya sepenting itu rawan dinilai sebagai omong kosong manakala para anggota Dewan tidak turun ke dapil masing-masing dengan membawa paket sembako yang benar-benar dibutuhkan saat ini. Kita berhenti dulu untuk berdebat substansial apakah pembagian sembako itu cara politik mendidik atau tidak.
Karena nyatanya, berdasarkan hasil survei program Kartu Prakerja oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia yang dirilis pertengahan bulan ini terungkap bahwa penerima insentif program Kartu Prakerja 86,7 persen responden menggunakannya untuk membeli sembako atau kebutuhan pangan.
Itu adalah gambaran umum bahwa hal yang paling mendesak di tengah pandemi dengan pemberlakuan kebijakan yang menyertainya telah membawa efek serius pada berkurangnya keterpenuhan kebutuhan pokok rakyat.
ADVERTISEMENT
Fungsi monitoring DPR baik itu terkait dengan anggaran maupun kebijakan penanganan pandemi juga tidak kalah penting karena menyangkut efektivitas dan kapabilitas penyelengaraan Negara. Namun, lagi-lagi jika masing-masing anggota dan DPR secara kelembagaan hanya bising dengan kritik meskipun itu solutif tetapi tanpa adanya sentuhan langsung yang berkaitan dengan kebutuhan mendesak masyarakat juga akan dianggap bagai petuah indah tanpa faedah.
Begitu juga soal fungsi budgeting yang berdasarkan janji DPR akan diorientasikan semata-mata untuk kepentingan rakyat, yang meskipun dari sisi angka dan kalkulasi dilakukan secara cermat tetapi tanpa adanya gerakan gotong royong anggota Dewan untuk memberikan bantuan sembako kepada rakyat, maka fungsi budgeting itu juga akan dinilai minim manfaat.
Maka, politik sembako dengan manajemen citra bisa menjadi pintu masuk untuk mengubah citra DPR agar lebih positif di mata publik. Politik sembako itu sendiri dalam ilmu komunikasi merupakan pesan nonferbal dan simbolik yang tentu dari sisi pemaknaan akan lebih mudah diterima oleh khalayak sebagai komunikan dan punya potensi besar mendapatkan feedback positif. Bukankah jika sudah terbangun citra positif akan terkatrol juga tingkat kepercayaan dan kepuasan publik atas kinerja DPR yang menyangkut fungsinya dalam legislasi, monitoring dan budgeting? (*)
ADVERTISEMENT
Rahmat Sahid
Konsultan Komunikasi, Direktur Politik Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Jakarta