Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Celah Akuntabilitas pada Lembaga Filantropi
6 Juli 2022 16:40 WIB
Tulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada hari Sabtu(2/7/2022) kemarin, Koran Tempo mengeluarkan liputan editorial khusus tentang adanya dugaan penyelewengan dana oleh lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT). Dana yang diperoleh ditengarai digunakan untuk kepentingan pribadi para pengurusnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang filantropi, ACT menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam berbagai bentuk kegiatan sosial. Adanya liputan ini tentu mengejutkan dan membuat banyak orang mulai memikirkan kembali tentang aspek transparansi dan akuntabilitas pada pengelolaan dana filantropi.
Bila dicermati, dalam setiap munculnya kasus mengenai penggelapan, penipuan, ataupun bentuk penyelewengan dana publik lainnya, kebanyakan kasus-kasus tersebut memiliki kaitan dengan lembaga yang berbentuk yayasan atau lembaga yang bergerak dalam bidang filantropi.
Melihat hal ini, barangkali akan muncul sebuah pertanyaan. Mengapa yayasan menjadi tempat subur praktik-praktik penyelewengan seperti ini? Salah satu sebab utamanya adalah karena adanya celah dalam pengawasan dan audit dana yayasan.
Untuk membedakannya dengan badan hukum lain, ada 4 prinsip utama yang menjadi karakteristik dari sebuah yayasan: (1) bersifat nirlaba (non-profit); (2) bergerak dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan; (3) memiliki kekayaan yang terpisah dengan pribadi; dan (4) Tidak memiliki anggota.
ADVERTISEMENT
Ciri-ciri tersebut membedakan yayasan dengan badan hukum lain seperti CV, firma, koperasi, atau perseroan terbatas (PT) yang bertujuan untuk mencari laba (profit) serta dimiliki oleh orang yang memegang dana/saham dari badan hukum tersebut.
Dalam ketentuan UU nomor 16 tahun 2001 dan UU nomor 28 tahun 2004 tentang yayasan, sumber-sumber kekayaan formal yang dapat diakui oleh yayasan ada lima: (1) sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat (baik dari pribadi, badan hukum, atau pemerintah); (2) Wakaf; (3) Hibah; (4) Wasiat; dan (5) perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan dan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Untuk menambah sumber pendapatan, yayasan juga diperkenankan untuk membentuk suatu badan usaha atau menanamkan investasi pada suatu bidang tertentu dengan pengecualian bahwa total modal yang digunakan tidak lebih dari 25% dari total keseluruhan dana yang dimiliki yayasan.
ADVERTISEMENT
Dana-dana yang diperoleh ini kemudian dapat digunakan untuk membiayai operasional kegiatan yayasan termasuk untuk memberikan gaji atau honorarium kepada pengurusnya. Tetapi, UU membatasi siapa saja yang berhak menerima dana tersebut. Para pendiri, pembina, pengawas, serta orang-orang yang memiliki afiliasi kepada mereka yang menduduki jabatan tersebut, dikecualikan untuk menerima segala bentuk insentif yang berasal dari yayasan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian gaji ini perlu diatur sebelumnya dalam anggaran dasar dan ditetapkan oleh pembina berdasarkan kemampuan keuangan dari yayasan tersebut. Artinya, pengeluaran untuk gaji dan honorarium tidak boleh mengurangi alokasi dana untuk program yayasan serta tidak boleh ada bentuk pengalihan harta tanpa adanya ketentuan dari anggaran dasar dan persetujuan pembina yayasan.
Selain itu, karena statusnya sebagai badan hukum, para pengurus yayasan wajib taat pada prinsip fiduciary duty, yaitu kewajiban pengurus untuk menjalankan tugas dan menggunakan jabatannya demi kepentingan lembaga serta tidak menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau pihak ketiga (Davies: 2004).
ADVERTISEMENT
Untuk mengimplementasikan prinsip ini, ada beberapa bentuk kewajiban yang mesti dipenuhi oleh pengurus lembaga, salah satunya adalah kewajiban untuk melakukan publikasi laporan keuangan secara periodik yang diaudit oleh akuntan publik.
Dalam konteks yayasan, pelaporan keuangan berpedoman pada ISAK 35 tentang penyajian laporan keuangan entitas berorientasi nirlaba. ISAK 35 menggantikan format PSAK 45, dengan penambahan pada cara penyajian laporan keuangan yang memperhatikan ada atau tidaknya pembatasan serta sifat dari sumber dana. Ini dilakukan untuk membedakan secara spesifik sumber-sumber dana khusus berupa donasi, hibah, wakaf, serta sumber kekayaan tidak mengikat lain yang memiliki syarat tertentu dalam penggunaannya.
Ketika proses audit publik dilakukan, permasalahan kemudian mulai muncul. Jenis audit yang dilakukan oleh yayasan biasa dilakukan dalam bentuk General Audit. Jenis audit ini dilakukan dengan melihat kesesuaian antara catatan laporan keuangan dengan bukti-bukti yang dimiliki oleh lembaga tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam pelaksanaan audit dikenal prinsip yang disebut sebagai prinsip materialitas. Prinsip ini digunakan oleh para auditor untuk menilai batas wajar kesalahan saji yang terdapat dalam laporan keuangan serta relevansinya dengan risiko keuangan suatu lembaga. Jika jumlah transaksi dan sumber dana yang masuk sangat besar, praktek audit biasa dilakukan dengan metode sampling dan tidak mengukur keseluruhan bukti dengan mendetail. Hal ini pun disertai catatan bahwa auditor bergerak dengan asumsi bahwa bukti-bukti yang diberikan oleh lembaga pasti benar (Ardiningsih: 2018).
Sebagai implikasinya, opini dan kesimpulan akhir yang diberikan oleh auditor juga mesti dilihat dalam kerangka itu. Opini wajar tanpa pengecualian (WTP) hanya mengukur kesesuaian antara laporan keuangan dengan standar yang berlaku serta tidak selalu menjamin sebuah lembaga terbebas dari praktek kejahatan keuangan. Hal ini tidak hanya terjadi di lembaga privat atau swasta, melainkan juga bisa terjadi dalam lembaga pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Untuk itulah jenis audit secara investigatif lebih cocok untuk diterapkan dalam melihat ada atau tidaknya potensi penyalahgunaan keuangan dalam suatu lembaga. Di Indonesia, badan yang bertanggung jawab untuk melakukan hal itu adalah PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).
Sayangnya, dalam UU nomor 8 tahun 2010 tentang pencucian uang yang mengatur 16 lembaga yang diwajibkan melaporkan transaksi keuangannya, lembaga-lembaga seperti yayasan, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga keagamaan dikecualikan dari kewajiban ini.
Inilah yang menyebabkan mengapa lembaga-lembaga tersebut menjadi target strategis untuk melakukan penggelapan, menghindari pajak, korupsi, dan penyelundupan dana. Sebab, ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu melalui lembaga-lembaga tersebut.
Dengan perkembangan teknologi, mekanisme pengumpulan dana masyarakat dengan luas sekarang tidak hanya bisa dilakukan oleh sebuah badan hukum atau institusi formal. Seorang individu atau kelompok orang tertentu dapat memanfaatkan media sosial, website, atau aplikasi untuk melakukan penggalangan dana.
ADVERTISEMENT
Dengan meluasnya praktik-praktik seperti ini, maka kepentingan untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dari lembaga yang mengelola dana masyarakat menjadi kebutuhan yang penting. Mengingat, sejauh ini belum ada mekanisme dan regulasi yang rigid mengenai pengawasan dan audit dari lembaga filantropi.
Jika kita melihat negara-negara seperti Kanada dan Inggris, mereka telah lebih dulu melakukan pengawasan dan audit terhadap lembaga filantropi melalui UU "Charitable Act". Peraturan ini mengatur ketentuan pemberian izin, mekanisme pengumpulan dana, pelaporan kegiatan, dan jangka waktu kegiatan lembaga filantropi. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa lembaga tersebut benar-benar melaksanakan fungsinya dalam bidang kemanusiaan.
Indonesia saat ini sebenarnya sudah memiliki regulasi khusus mengenai pengumpulan dana masyarakat melalui UU nomor 9 tahun 1961 dan Permensos nomor 22 tahun 2015. Akan tetapi, kedua peraturan ini secara substansi belum bisa mengakomodasi bentuk pengawasan dan audit lembaga filantropi di era digital.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya kasus ACT, mungkin inilah saatnya untuk memikirkan kembali bagaimana sistem pengawasan dan audit yang lebih komprehensif terhadap lembaga filantropi. Disinilah kemudian kita teringat kembali teori Fraud diamond yang dikemukakan Wolfe & Hermanson (2004):
Sebuah praktik kecurangan dapat terjadi ketika orang memiliki kesempatan untuk melakukannya secara berulang. Dan cara untuk mencegahnya adalah dengan menutup peluang orang melakukan kecurangan tersebut melalui sistem yang baik.
ADVERTISEMENT
Karena jika tidak ada sistem pengawasan dan audit yang baik, besar kemungkinan di masa depan kita akan melihat kasus-kasus sejenis yang dilakukan oleh lembaga berbeda.