Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jejak Pemikiran Buya Syafii
4 Juni 2022 15:54 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jumat adalah hari yang biasa dirayakan dengan suka cita. Namun, Jumat 27 Mei kemarin, suasana cita itu berubah menjadi duka. Sebab, kita mendapat kabar bahwa Ahmad Syafii Maarif, salah seorang tokoh guru bangsa, telah meninggal dunia. Laki-laki yang akrab disapa Buya Syafii itu mengembuskan napas terakhir di umurnya yang ke-87.
ADVERTISEMENT
Sepanjang hidupnya, ada banyak kontribusi yang diberikan oleh Buya Syafii. Tercatat, dirinya pernah menjabat sebagai ketua umum Muhammadiyah, presiden World Conference on Religion for Peace, pendiri Ma'arif Institute for Culture & Humanity, serta menjadi salah satu anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Bila dirangkum secara singkat, ada tiga frasa yang barangkali bisa menggambarkan ciri khas Buya Syafii selama hidupnya: Islam, Kemanusiaan, dan Keindonesiaan. Tiga tema inilah yang menjadi fokus utama Buya Syafii dalam kerja-kerja intelektual serta organisasinya.
Fokus utama Buya Syafii terhadap tema-tema tersebut tidak lepas dari latar belakang kehidupan dan perjalanan pendidikannya. Sebagai orang yang menempuh pendidikan SMP hingga SMA-nya di sekolah muallimin Muhammadiyah di lintau, beliau sejak kecil dididik dengan nilai-nilai Islam yang kuat.
ADVERTISEMENT
Pasca menyelesaikan sekolahnya di Padang, ia kemudian melanjutkan kuliah di Jogja. Latar belakang Muhammadiyah dan ketertarikannya dengan dunia aktivisme membuatnya berkenalan dengan gagasan dari tokoh-tokoh dari partai Masyumi, juga dengan Sayyid Qutb serta Abul A'la Al-Maududi. Para pemikir politik Islam yang gagasannya mulai populer di Indonesia pada tahun 70-80an dan sangat ia kagumi pada saat itu.
Meskipun sempat tersendat karena masalah biaya dan persoalan keluarga, Buya Syafii akhirnya menyelesaikan studi sarjana-nya saat berusia 33 tahun. Lalu kemudian melanjutkan S2-nya di Ohio, Amerika Serikat. Pada periode ini, tidak banyak perubahan signifikan dalam pemahaman keilmuannya, seperti yang ia akui sendiri dalam buku Autobiografi-nya, "Titik-titik Kisar di Perjalananku" (2009):
"Sampai aku meninggalkan Athens tahun 1978, rasanya tidak ada yang dapat kutawarkan untuk menembus intelektualisme Islam. Dalam usia 43 tahun, wawasan keislamanku tidak pernah melampaui Ikhwan, Maududi, dan Masyumi. Dominasi politik begitu terasa" (hlm.184).
ADVERTISEMENT
Kegelisahannya tentang kurangnya peran agama serta ketertinggalan umat Islam dalam berbagai bidang membuat kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Ketidakpuasannya ini kemudian mengantarkannya untuk kembali melanjutkan sekolah.
Dan titik balik dalam pemikirannya datang ketika dirinya berkesempatan untuk melanjutkan kuliah S3 di University of Chicago. Di kampus itu, ia berkesempatan untuk belajar dari Fazlur Rahman, seorang Profesor studi Islam yang berasal dari Pakistan.
Sebelum bertemu dengan Rahman, Buya Syafii adalah orang yang sangat mendukung gagasan tentang berdirinya negara Islam. Pada awal pertemuannya dengan gurunya, ia sampaikan pandangannya itu secara langsung:
"Profesor Rahman, please give me one fourth of your knowledge of Islam. I will convert Indonesia into an Islamic State" (Profesor Rahman, tolong berikan saya seperempat saja ilmu anda tentang Islam. Dengan itu, saya akan ubah Indonesia menjadi negara Islam).
ADVERTISEMENT
Mendengar pernyataan Buya Syafii muda itu, Profesor Rahman hanya menjawab santai saja: "You can take all of my knowledge" (Anda boleh ambil semua ilmu saya).
Setelah mendapat pengajaran dari Fazlur Rahman tentang ilmu-ilmu keislaman, Buya Syafii kemudian mengalami pergeseran pemikiran. Ia tidak lagi memiliki kecenderungan kepada gagasan perlunya negara Islam, dan kemudian lebih memfokuskan diri untuk mengkaji kemungkinan penerapan aspek-aspek moral dan etik ajaran Islam dalam praktek bernegara.
Bersama dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang juga melanjutkan studi di University of Chicago, ketiga orang ini kemudian menjadi tokoh intelektual yang berpengaruh pada masa orde baru dan setelah reformasi. Kelak, trio ini kemudian mendapat julukan dari Almarhum Gus Dur sebagai "Tiga Pendekar dari Chicago". Meskipun ketiga orang itu memiliki variasi pemahamannya sendiri-sendiri tentang Islam.
ADVERTISEMENT
Setelah kembali ke Indonesia hingga wafatnya, selain aktif di berbagai organisasi, ia juga menulis banyak artikel dan buku-buku tentang tema Keislaman, Kemanusiaan, dan Keindonesiaan. Dalam buku terakhir yang ditulisnya "Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam" (2018), setidaknya ada empat hal yang menjadi keresahan Buya Syafii tentang situasi politik dan agama di Indonesia saat ini.
Pertama, maraknya praktik politik primordialisme dengan menggunakan identitas suku, ras, dan golongan yang menyebabkan masyarakat di Indonesia saling bermusuhan dan terpecah belah.
Kedua, adanya jarak antara pemahaman keagamaan dan praktik keagamaan. Di mana muncul fenomena orang yang rajin beribadah, namun pada saat yang bersamaan, melakukan korupsi dan kecurangan dalam kehidupannya sehari-hari.
Ketiga, munculnya penyakit sektarian dan fanatisme dalam internal umat beragama. Di mana masing-masing Mazhab merasa benar sendiri dan saling menyalahkan satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Keempat, kurang kritis dan terbuka dalam melihat posisi agama dan politik. Sehingga, muncul kelompok-kelompok yang menyalahgunakan agama sebagai alat untuk membenarkan perilaku politik yang tidak benar.
Kelima, masih adanya ketimpangan ekonomi, sosial, dan hukum yang besar dalam praktik bernegara di Indonesia.
Catatan-catatan yang diberikan oleh Buya Syafii ini nampaknya akan masih menjadi tantangan yang harus diselesaikan bangsa Indonesia ke depan. Jika permasalahan ini tidak dapat dicarikan solusinya, maka sulit membayangkan keutuhan dan masa depan Indonesia ke depan akan berjalan dengan baik.
Dalam mengatasi problem kebangsaan tersebut, ada beberapa gagasan yang ditawarkan oleh Buya Syafii. Pertama, dengan mencoba untuk berdialog dengan berlapang dada demi menghilangkan sekat-sekat golongan suku, agama, ras, dan mazhab. Kedua, membaca kembali sejarah Islam dengan pendekatan yang kritis sehingga kita dapat membedakan mana ajaran yang sifatnya pokok dan mana ajaran yang sifatnya kontekstual. Ketiga, menggali kembali nilai-nilai moral dan etis dalam Al Quran dan Sunnah serta berupaya melakukan kontekstualisasi terhadap permasalahan kontemporer dan menjadikannya sebagai pedoman dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dengan pendekatan inilah menurut Buya Syafii, seseorang akan menjadi muslim yang otentik. Seorang muslim dengan aqlun shahih wa qalbun salim (akal yang baik dan hati yang lurus) yang tercermin pada sikap dan komitmennya untuk membentuk masyarakat yang adil. beradab, dan toleran dalam bingkai Islam yang ramah. Sebuah peradaban yang menggabungkan keseimbangan antara aspek spiritual (zikir) dan aspek materiil (pikir) dan bertujuan untuk memberikan kesejahteraan untuk semua, sesuai dengan prinsip islam yang rahmatan lil alamin.
Ada satu ungkapan dari Mohammad Hatta yang amat suka dikutip oleh Buya Syafii: “Jangan memakai filsafat gincu, yang bentuknya kelihatan namun tidak terasa. Pakailah filsafat garam, yang bentuknya tidak kelihatan namun bisa dirasakan”. Barangkali ungkapan inilah yang menggambarkan pemahaman Buya Syafii sebagai muslim yang lebih mengedepankan aspek substansi dibanding aspek lahiriah dan label dalam beragama.
ADVERTISEMENT
Dan prinsip itulah yang bisa kita lihat diterapkan Buya Syafii sepanjang hidupnya.