Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Keadaan Darurat dan Penundaan Pemilu
18 Maret 2022 13:01 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 31 Januari, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan jadwal pelaksanaan pemilu 2024 setelah melakukan rapat bersama DPR dan pemerintah. Pemilu akan diselenggarakan secara serentak dengan agenda pemilihan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), legislatif, (DPR, DPD, dan DPRD), dan pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Wali kota) dalam tahun yang sama.
ADVERTISEMENT
Namun, belum berselang lama dari ketetapan KPU tersebut, muncul usulan untuk menunda pelaksanaan pemilu. Wacana ini disampaikan oleh beberapa ketua umum partai dan pejabat pemerintah. Alasannya, pemilu akan memakan anggaran yang besar dan perlu ditunda agar tidak mengganggu pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19.
Wacana ini sebetulnya bukan hal baru dan telah ramai dibicarakan sejak tahun 2021. Bahkan bukan cuma menunda pemilu, muncul pula gagasan untuk melakukan amandemen UUD untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lebih dari dua periode.
Bila dilihat secara normatif, UUD 1945 mewajibkan pemerintah untuk melaksanakan pemilu setiap lima tahun sekali. Meskipun demikian, dalam UU nomor 7/2017 tentang pemilu, terdapat kondisi yang membolehkan pemilu untuk ditunda jika terjadi keadaan darurat di sebagian atau seluruh wilayah pemilihan. Apabila situasi ini terjadi, terdapat dua mekanisme yang dapat dilaksanakan, yaitu pemilu lanjutan dan pemilu susulan. Tata cara dan pelaksanaan teknis keduanya kemudian diatur oleh KPU.
ADVERTISEMENT
Menurut definisi yang diberikan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie (2011), keadaan darurat adalah sebuah kondisi yang mengancam tertib umum dan menuntut negara untuk melakukan tindakan tidak lazim menurut hukum yang biasa berlaku dalam keadaan normal.
Dalam menghadapi keadaan darurat negara, ada dua teori yang umumnya digunakan: pendekatan legal dan pendekatan ekstra-legal.
Dalam teori ekstra-legal, pengaturan mengenai keadaan darurat tidak diatur secara tertulis dalam konstitusi dan negara dapat melakukan perbuatan tertentu tanpa adanya aturan hukum sebelumnya. Pendekatan ini biasa dipakai dalam negara yang menganut sistem Common Law seperti Amerika Serikat dan Inggris. Ketentuan ini juga biasa disebut dengan istilah "Martian Law".
Sebaliknya dalam teori legal, pengaturan mengenai keadaan darurat diatur secara tertulis dalam konstitusi. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan negara dasar kewenangan untuk membentuk instrumen hukum darurat, sekaligus sebagai cara untuk membatasi agar pelaksanaannya tidak melampaui batas. Negara-negara yang menganut sistem Civil Law seperti Prancis, Jerman, termasuk Indonesia, umumnya menggunakan pendekatan ini (Scheppele, 2021).
ADVERTISEMENT
Dalam UUD 1945, kewenangan untuk menetapkan keadaan darurat berada di tangan eksekutif. Sebagaimana yang diatur dalam Perpu nomor 23/1959, keadaan darurat dibagi menjadi dua jenis. Pertama, darurat sipil, ketika terjadi gangguan ketertiban umum dan bencana alam. Kedua, darurat militer, saat negara sedang menghadapi pemberontakan bersenjata atau dalam kondisi perang. Selain itu, terdapat pula beberapa kondisi darurat yang juga ditetapkan oleh UU. Contohnya seperti darurat bencana (UU nomor 24/2007) atau darurat kesehatan (UU nomor 6/2018).
Ketika terjadi keadaan darurat, maka presiden memiliki dua instrumen khusus yang dapat digunakan dalam keadaan tersebut. Pertama, menetapkan UU khusus/darurat (pasal 12 UUD 1945). Kedua, menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang/Perpu (pasal 22 UUD 1945).
Implementasi dari penggunaan instrumen ini dapat kita lihat pada kasus pilkada tahun 2020. Saat itu, pilkada serentak dijadwalkan pada bulan September diundur pada bulan Desember 2020 karena adanya pandemi COVID-19. Hal ini dimungkinkan karena sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan Perpu nomor 6/2020. Perpu ini memasukkan keadaan bencana non-alam (COVID-19) sebagai salah satu kondisi yang dapat digunakan sebagai alasan menunda pilkada. Sebelumnya, ketentuan ini belum diatur dalam UU nomor 1/2014 tentang pemilihan kepala daerah. Perpu ini beserta surat keputusan presiden nomor 11/2020 tentang status kedaruratan kesehatan kemudian menjadi dasar hukum untuk menunda pelaksanaan pilkada 2020.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, prosedur serupa tidak dapat digunakan pada pelaksanaan pemilu karena beberapa alasan. Pertama, ketika masa jabatan kepala daerah telah habis, Perpu nomor 10/2016 tentang pilkada memiliki mekanisme untuk mencegah kekosongan kekuasaan dengan adanya penunjukan penjabat kepala daerah. Penjabat kepala daerah ini dapat menjalankan pemerintahan dengan sah (maksimal 1 tahun) sampai kepala daerah baru terpilih dalam pilkada selanjutnya. Sedangkan, ketika masa jabatan eksekutif dan legislatif berakhir, UUD 1945 tidak memberikan dasar hukum untuk adanya pejabat sementara. Satu-satunya cara dalam mengganti eksekutif dan legislatif adalah dengan menyelenggarakan pemilu.
Kedua, karena pengaturan mengenai masa jabatan eksekutif dan legislatif diatur dalam UUD 1945, maka instrumen Perpu tidak dapat digunakan untuk menunda jadwal pelaksanaan pemilu maupun memperpanjang masa jabatan eksekutif dan legislatif, Sebab, secara hierarki hukum seperti yang telah diatur dalam UU nomor 11/2012, kedudukan Perpu berada di bawah UUD 1945. Oleh karena itu, produk hukum yang lebih rendah tidak dapat digunakan untuk membatalkan produk hukum yang lebih tinggi (asas lex superiori derogat legi inferiori).
ADVERTISEMENT
Kalau kita melihat kondisi secara objektif, maka kita akan melihat bahwa kondisi negara saat ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pemilu 2020 lalu. Tercatat ekonomi indonesia sejak triwulan IV 2021 telah mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Triwulan IV 2020 di mana ekonomi indonesia mengalami kontraksi sebesar 2,02% (Badan Pusat Statistik, 2/7/2022).
Data ini sekilas menunjukkan kalau sejak 2021, ekonomi indonesia perlahan sudah mulai pulih. Oleh karenanya, kurang tepat rasanya bila menggunakan alasan ekonomi untuk menunda pemilu. Karena jika keuangan negara memang sedang kurang baik, pemerintah saat ini tidak mungkin dapat menjalankan proyek pemindahan ibu kota negara ke kalimantan. Sebuah proyek yang tentunya menghabiskan dana jauh lebih banyak dibandingkan pengeluaran anggaran untuk pemilu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tingkat vaksinasi di Indonesia saat ini sudah cukup tinggi. Tercatat, saat ini angka untuk vaksinasi dosis pertama telah mencapai 93.02% dan untuk vaksinasi dosis kedua telah mencapai angka 73,23% (Katadata, 16/2/2022). Dari segi keamanan dan kesehatan, risiko pelaksanaan pemilu 2024 tentu akan jauh lebih rendah daripada pilkada 2020, yang pada saat itu dapat dilaksanakan bahkan ketika belum ada penyediaan vaksin sama sekali.
Dengan demikian, alasan kesehatan juga tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda pelaksanaan pemilu. Secara prosedur ketatanegaraan, pemerintah tidak dapat mengeluarkan Perpu, dekrit, UU khusus/darurat ketika penetapan keadaan darurat tidak memenuhi syarat-syarat objektif berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Jika produk hukum ini dipaksakan keluar tanpa memenuhi syarat, maka potensi adanya pelanggaran konstitusi oleh pemerintah sangat mungkin bisa terjadi.
ADVERTISEMENT
Usulan untuk melakukan amandemen UUD 1945 juga merupakan opsi yang meragukan. Mengingat rangkaian pemilu sudah dimulai pada akhir tahun 2022. Sulit rasanya membayangkan kalau proses amandemen UUD 1945 bisa selesai dilaksanakan dalam hitungan bulan saja. Itu pun jika kita bisa menjamin ketika opsi pembahasan amandemen benar-benar dibuka dalam sidang MPR, tidak ada peluang adanya tambahan usulan perubahan lain dalam UUD 1945, seperti memasukkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara dan reposisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang wacananya sudah ramai sejak tahun 2020 lalu. Patut diingat, UUD 1945 adalah konstitusi tertinggi negara, bukan seperti UU Cipta Kerja yang pembahasannya terburu-buru dan pada akhirnya mengandung kekurangan di sana-sini.
Sebagai penutup, barangkali ada baiknya untuk memikirkan kembali apa yang dikhawatirkan oleh Filsuf Italia, Giorgio Agamben, dalam buku Demokrasi dan Kedaruratan (Sudibyo, 2019). Bahwa jangan sampai situasi kedaruratan justru menjadi alat normalisasi negara untuk melakukan penyelewengan dalam menetapkan kebijakan dan hukum.
ADVERTISEMENT
Jadi, untuk apa masih bersikeras menunda pemilu?