Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kerusuhan dalam Dunia Sepakbola: Belajar dari Pengalaman Inggris
7 Oktober 2022 20:11 WIB
Tulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 25 April tahun 1984, bertepatan dengan semifinal piala Eropa antara Juventus vs Manchester United, mungkin adalah hari yang tidak akan dilupakan oleh Bill Buford. Saat itu di depan stadion Comunale di kota Turin Italia, kepalanya dilempar dan dipukul hingga membuat dirinya sampai terjatuh.
ADVERTISEMENT
Tepat di depannya, seorang remaja juga terbaring di tanah, kepala dan badannya menjadi sasaran tendang para suporter Manchester United yang tersulut emosi setelah tim yang mereka dukung kalah 2-1 dari Juventus. Buford, saat itu masih bekerja sebagai jurnalis, menceritakan kisah ini dalam bukunya, Among The Thugs (1992).
Bagi Buford dan masyarakat Inggris lainnya, kasus kerusuhan saat pertandingan sepakbola bukanlah hal yang asing. Beragam kasus mulai dari bentrok antar suporter, ricuh dengan aparat, hingga pengrusakan stadion dan fasilitas umum dapat ditemui di negeri yang sering disebut sebagai tempat lahirnya sepakbola itu.
Berangkat dari fenomena ini, maka sejak tahun 1960-an, media-media mulai memberikan sebutan unik untuk menyebut kasus kerusuhan dalam dunia sepakbola, yaitu The English Disease. Istilah yang awalnya muncul sebagai olok-olokan karena seringnya suporter Inggris melakukan kerusuhan dalam pertandingan sepakbola (Deriemaeker, 2016).
ADVERTISEMENT
Namun, baru 20 tahun setelahnya perhatian terhadap The English Disease ini menjadi lebih intens. Semenjak meninggalnya 39 orang suporter di Heysel tahun 1985 dan 96 orang di Hillsborough tahun 1989, Inggris mulai melakukan perubahan besar-besaran dalam penyelenggaraan pertandingan sepak bolanya.
Pemerintah Inggris kemudian menugaskan kementerian dalam negeri sebagai penanggung jawab seluruh pertandingan sepakbola di negara itu. Sebagai langkah konkrit, mereka lalu menerbitkan Football Spectator Act (1989), Football Offensive Act (1991), dan Football Disorder Act (1999 & 2000).
Regulasi tersebut mengatur hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama pertandingan sepakbola seperti turun ke lapangan tanpa izin, melempar benda, mengucapkan ujaran rasis/ejekan, dan merusak fasilitas umum. Pelaku yang melanggar tidak hanya bisa dikenai larangan menonton pertandingan sepakbola, tapi juga dapat dikenai sanksi tambahan berupa denda, hingga kurungan penjara jika pelanggaran yang ia lakukan masuk dalam kategori berat (Pearson, 2021).
ADVERTISEMENT
Untuk mengimplementasikan regulasi itu, Inggris kemudian membentuk UK Football Policing Unit, sebuah unit polisi khusus untuk mengamankan pertandingan olahraga. Dengan bekerja sama dengan kementerian luar negeri, polisi khusus ini juga bertugas di negara-negara Britania Raya lainnya (Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara). Tugas mereka adalah berkoordinasi dengan pihak penyelenggara untuk melakukan pencegahan dan pengamanan dalam suatu pertandingan sepakbola.
Akan tetapi, ada satu hal yang membedakan polisi khusus ini dengan polisi-polisi dengan tugas yang sama di negara lain. Polisi khusus di Britania Raya lebih difokuskan untuk mengumpulkan informasi intelijen dan penyelidikan ketika terjadi pelanggaran saja. Untuk bagian penjagaan di lapangan secara langsung, polisi berbagi tugas dengan para Steward.
Steward adalah petugas keamanan pribadi yang dimiliki oleh klub sepakbola di Inggris. Mereka berstatus sebagai pegawai klub dan bertugas untuk mengamankan pertandingan ketika klub sedang bertanding. Ada 5 tingkatan klasifikasi keamanan yang dibuat oleh UK Football Policing Unit berdasarkan tingkat potensi bahaya yang dapat ditimbulkan (category CS, category A, category B, category C, dan category D). Pada tingkatan yang paling bawah, pertandingan bahkan bisa dilangsungkan tanpa adanya kehadiran satu polisi pun. Oleh karenanya, sebelum pertandingan berlangsung, pihak klub akan berkoordinasi dengan polisi untuk menentukan berapa jumlah personil yang dibutuhkan untuk mengamankan pertandingan.
ADVERTISEMENT
Dari pembagian tugas tersebut, dapat kita lihat bahwa posisi polisi difungsikan sebagai tenaga cadangan dan pelengkap sedangkan fungsi pengaman utama tetap berada di tangan Steward. Selain didorong karena alasan efisiensi biaya dan tenaga, pelimpahan tugas keamanan kepada Steward juga didasari oleh pertimbangan efektifitas kinerja. Karena Steward hanya ditugasi untuk berjaga di stadion milik klub tempat bekerjanya saja, maka mereka jauh lebih mengenali seluk beluk stadion beserta celah-celah keamanannya.
Personil Steward yang tetap sama menurut studi yang dilakukan oleh Atkinson & Graham (2020), juga mengurangi potensi bentrok yang dapat terjadi di dalam lapangan. Sebab, pihak suporter maupun Steward saling mengenal dan memiliki ikatan emosional yang sama kepada klubnya. Sejak awal rekrutmen, beberapa klub ada yang turut aktif dalam melibatkan kelompok suporter untuk dipekerjakan secara resmi sebagai Steward. Faktor kedekatan emosional ini tentu tidak akan muncul apabila personil yang ditugaskan berjaga di lapangan adalah polisi, yang bagi para suporter, dianggap sebagai orang asing karena personilnya selalu berganti dalam setiap pertandingan.
ADVERTISEMENT
Karena faktor kedekatan itu jugalah yang membuat para Steward akan terdorong untuk mendisiplinkan suporter dengan pendekatan-pendekatan yang humanis serta menghindari pendekatan dengan cara memukul, menendang, atau menembakkan gas air mata di dalam stadion. Praktek-praktek yang tentu saja juga telah dilarang dalam prosedur pengamanan saat berada di dalam lapangan.
Selain membenahi masalah pengamanan saat pertandingan berlangsung, Football Association (FA) selaku organisasi penanggung jawab pertandingan sepakbola di Inggris juga mewajibkan setiap klub untuk memenuhi persyaratan fasilitas minimum yang perlu disediakan di stadion. Tempat duduk panjang tidak lagi diperbolehkan dan stadion harus menyediakan satu kursi untuk satu penonton, Ini dilakukan agar jumlah penjualan tiket dan penonton yang hadir bisa dihitung dengan pasti untuk menghindari kepadatan dan menumpuknya orang melebihi kapasitas stadion.
ADVERTISEMENT
Pemasangan CCTV dan adanya ruang kontrol audio visual juga menjadi komponen penting yang perlu disediakan agar para “Steward” beserta polisi dapat berkoordinasi untuk melakukan pengamanan saat pertandingan sedang berlangsung. Informasi mengenai prosedur keselamatan dan larangan-larangan selama pertandingan juga wajib diberitahukan kepada penonton melalui spanduk, papan elektronik, atau media lainnya.
Tidak hanya melalui pemerintah dan penyelenggara pertandingan, berdirinya kelompok-kelompok suporter secara resmi juga berperan dalam mengontrol perilaku para penonton. Dengan adanya pendaftaran keanggotaan melalui sebelum membeli tiket, pihak klub dapat memastikan penonton yang hadir di lapangan adalah mereka yang punya rekam jejak yang baik dan tidak pernah melakukan pelanggaran sebelumnya.
Bila dirinci lebih lanjut, tentu masih banyak kebijakan-kebijakan lain yang diterapkan di Inggris untuk membenahi persoalan dalam penyelenggaraan pertandingan sepak bolanya. Belajar dari pengalaman di Inggris, permasalahan kerusuhan dalam sepakbola dapat diselesaikan atau setidaknya dikurangi dengan kebijakan preventif yang tepat.
ADVERTISEMENT
Kasus yang terjadi Kanjuruhan yang terjadi kemarin harapannya dapat menjadi titik balik dalam proses perbaikan sepakbola di Indonesia. Sama seperti Inggris, yang menjadikan kasus Heysel dan Hillsborough sebagai momen untuk melakukan reformasi dalam pengelolaan sepakbolanya.
Semoga saja.