Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengapa Euforia Piala Dunia di Qatar Terasa Berbeda?
19 November 2022 19:44 WIB
Tulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan dengan edisi Piala Dunia sebelumnya, suasana menjelang Piala Dunia 2022 di Qatar tahun ini tidak semarak seperti biasanya. Kalau kita lihat laman berita dan media sosial, intensitas pemberitaan tentang persiapan menuju Piala Dunia bisa dikatakan minim. Jangankan tentang persiapan, soal maskot dan lagu soundtrack, dua hal yang menjadi penanda akan dimulainya Piala Dunia sampai saat ini pun masih kurang terdengar di kalangan penggemar sepak bola di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Dengan waktu penyelenggaraan Piala Dunia yang saat ini tinggal menghitung hari, kurangnya antusiasme para penggemar sepak bola dalam menyambut turnamen 4 tahunan ini tentu tidak seperti biasanya. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi?
Salah satu alasan ringkas untuk menjelaskan terjadinya fenomena ini adalah karena adanya sentimen tidak baik terhadap tuan rumah Piala Dunia tahun ini. Sentimen tersebut antara lain muncul karena adanya isu mengenai berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di negara Qatar.
Pada bulan Februari tahun lalu, koran The Guardian menulis reportase khusus yang melaporkan banyaknya pekerja di Qatar yang mengalami kematian. Faktor-faktor seperti cuaca panas yang ekstrem, kondisi kerja yang tidak layak, dan jam kerja yang berkepanjangan menjadi penyebab utama mengapa setidaknya ada 6.500 orang pekerja yang meninggal selama proses pembangunan infrastruktur untuk persiapan Piala Dunia (seperti stadion dan hotel).
ADVERTISEMENT
Angka ini merupakan jumlah akumulasi selama 10 tahun yang dihitung sejak Qatar resmi terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia pada tahun 2012. Kebanyakan dari korban merupakan pekerja migran yang berasal dari negara-negara Asia selatan seperti India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Pakistan. Sistem kerja di Qatar yang disebut sebagai "kafala", dimana para pekerja migran didatangkan ke dalam negeri tapi kemudian dilarang untuk keluar dari pekerjaannya, menjadi kritik utama terhadap isu kebijakan Qatar dalam mempersiapkan Piala Dunia tahun ini.
Tidak berhenti sampai disitu, sentimen ini bertambah buruk dengan dirilisnya film dokumenter Netflix yang terbaru berjudul FIFA Uncovered (2022). Film yang dirilis tepat 11 hari sebelum dimulainya laga pertama Piala Dunia ini menceritakan bagaimana proses terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah diwarnai aksi suap menyuap dan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi FIFA dan Qatar.
ADVERTISEMENT
Pengakuan ini diucapkan sendiri oleh mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter, yang saat itu menunjuk Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. "It was a bad choice and i was responsible for that as president at the time".
Selain masalah korupsi dan penyuapan, kerasnya penolakan banyak pihak kepada Qatar sebagai tuan rumah juga didasari oleh alasan teknis. Posisi geografis negara Qatar yang terletak di timur tengah dengan cuaca yang sangat panas (suhu rata-rata diatas 100 derajat Fahrenheit) serta kelembapan udara yang juga sangat tinggi. Mengadakan pertandingan di tengah kondisi cuaca ekstrem seperti itu jelas akan sangat berat.
Dengan kondisi seperti itu pula Piala Dunia yang biasanya dilaksanakan di pertengahan tahun pada musim panas (Juni-Juli) akhirnya dipindah menjadi akhir tahun saat musim dingin (November-Desember). Hal ini dilakukan agar saat turnamen Piala Dunia nanti, cuaca panas di Qatar tidak akan memberatkan pemain saat bertanding.
ADVERTISEMENT
Namun, pemindahan jadwal ini juga menimbulkan permasalahan lain. Dengan berpindahnya jadwal turnamen ke akhir tahun, maka penyelenggara liga di masing-masing negara harus menyusun ulang jadwal pertandingannya.
Sebelumnya, turnamen Piala Dunia selalu dilaksanakan pada musim panas (Juni-Juli) dengan pertimbangan bahwa di bulan tersebut jadwal pertandingan liga di masing-masing negara belum berlangsung. Sehingga, pemain memiliki waktu istirahat sebelum dan sesudah Piala Dunia dimulai. Sebaliknya, periode musim dingin (November-Desember) adalah masa dimana jadwal liga sedang padat dan menumpuk.
Selain kompetisi liga dan piala domestik, liga antar benua seperti UEFA Champions League, UEFA Europa League, AFC Champions League, dll secara bersamaan juga sedang berlangsung. Tidak heran pemain, pelatih, hingga klub, banyak yang kemudian mengkritik pemindahan jadwal pada Piala Dunia tahun ini. Dengan kepadatan jadwal pertandingan seperti itu, risiko para pemain untuk kelelahan serta mengalami cedera akan semakin tinggi. Dan ini tentu akan merugikan pemain, pelatih, serta klub saat kembali menjalani sisa pertandingan liga setelah libur tahun baru.
ADVERTISEMENT
Alasan terakhir yang membuat Piala Dunia di Qatar sedikit kurang diminati, terkhusus bagi para suporter, adalah karena adanya peraturan yang diterapkan oleh Qatar selama Piala Dunia berlangsung.
Seperti yang kita ketahui bersama, Qatar adalah negara dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam. Oleh sebab itu, dalam edisi Piala Dunia kali ini, Qatar melarang para suporter untuk mengonsumsi alkohol di stadion selama pertandingan berlangsung. Peredaran dan pembelian alkohol akan dibatasi pada tempat-tempat (seperti hotel & fans zone) dan waktu (4 jam sebelum dan 1 jam sesudah pertandingan) tertentu saja.
Selain urusan alkohol, isu lain yang menjadi kekhawatiran suporter adalah sikap Qatar terhadap kelompok dengan orientasi seksual Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBT). Dalam hukum negara Qatar, tindakan-tindakan ini merupakan hal yang ilegal dan pelaku yang melakukannya dapat dikenakan hukuman penjara. Ketidaksetujuan terhadap kebijakan hukum dan sikap Qatar tersebut membuat sebagian suporter memutuskan untuk tidak menghadiri Piala Dunia pada tahun ini. Meskipun dalam keterangan terbarunya, Qatar menyatakan akan menjamin kenyamanan dan tetap menerima para suporter dengan orientasi seksual LGBT, selama mereka tetap menghormati batasan-batasan yang diberlakukan di Qatar.
ADVERTISEMENT
Kombinasi dari berbagai intrik politik, ekonomi, budaya, dan hukum inilah yang membuat Piala Dunia 2022 di Qatar berbeda dari edisi-edisi sebelumnya. Dan para pemain, pelatih, klub, serta para suporter di seluruh dunia memiliki sikap yang berbeda dalam melihat Piala Dunia tahun ini. Ada yang menyambut dengan antusias seperti biasa, tapi tidak sedikit juga yang menyatakan sikap kontra terhadap edisi Piala Dunia tahun ini.
Nah, pertanyaan menariknya kemudian adalah, dengan segala kontroversi yang ada di Piala Dunia tahun ini, apakah pembaca memilih untuk tetap menonton Piala Dunia atau menolak untuk menyaksikannya?