Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Masih Ada Salura di Selatan Indonesia: Pinang Siri
23 Maret 2018 22:58 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Raihan Janitra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari itu adalah hari Minggu, 11 Maret 2018. Aku membuka sleeping bag yang menyelimutiku. Aku melihat jam yang menunjukkan jam 06.30 WITA, yang berarti pukul 05.30 di Jawa. Aku melihat sebelahku, teman-teman peserta lainnya, masih nyenyak terlelap. Syukurlah, tak ada bekas gigitan nyamuk di tubuhku.
Aku beranjak dari rumah menuju kamar mandi yang ada di belakang rumah. Setelah itu, aku mendatangi tempat rombongan berkumpul yang ternyata sudah banyak yang bangun. Aku langsung diminta untuk memakai gelang dari daun kelapa oleh warga yang ada di situ. Kata mereka gelang itu adalah salah satu simbol perkenalan kami, orang asing yang datang ke Salura, kepada leluhur Pulau Salura.
ADVERTISEMENT
Sekitar satu jam kemudian, aku sudah bersama dengan 3 teman peserta yang lain. Kami kemudian memutuskan untuk berjalan-jalan berkeliling desa dan menuju pantai. Di pantai ternyata sudah ada beberapa peserta lain yang sedang sarapan dan sekedar minum kopi. Ada juga beberapa nelayan yang mungkin sedang menyiapkan perahu dan jaringnya, atau bahkan baru saja pulang dari melaut. Ada seorang "bapak-bapak" paruh baya di dekat kami, dan kami memutuskan untuk ngobrol, sekedar bertanya-tanya tentang Salura.
Dari bapak tersebut, kami tau Pulau Salura dihuni 600 orang. Terdiri dari 139 kepala keluarga yang tersebar di 2 RW dan 4 RT. Cukup banyak untuk sebuah pulau kecil. Dia juga mengatakan bahwa 98% penduduk Salura merupakan muslim, terdapat satu masjid besar yang berdekatan dengan sebuah pohon besar dan sebuah sumur yang dianggap keramat bagi penduduk Pulau Salura. Kami awalnya akan mendatangi pohon tersebut, tapi kami mengurungkan niat kami karena nanti kami akan ke sana bersama rombongan. Kami akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah singgah dan bergabung dengan rombongan yang lain.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di sana, kami langsung disuguhi sesuatu yang menurutku sangat khas dari Sumba ini, pinang siri. Terdiri dari pinang yang berbentuk keping-keping kecil, siri yang berupa benda hijau sepanjang jari dan kapur. Aku pikir, dimana lagi aku akan mencoba hal ini? Sembari mengambil 5 keping pinang dan ku masukkan ke dalam mulutku. Rasanya sebenernya tak asing, seperti bahan dari tumbuhan lainnya namun sangat sepet. Jika kalian pernah makan daun jambu biji muda, mirip-mirip lah. Hanya saja jauh lebih sepet dan alot. Teman rombongan yang lain mengatakan untuk meludahkan "air" hasil kunyahan pinang tersebut, jangan sampai di telan!
Lalu giliran siri yang aku kunyah yang sebelumnya aku masukkan ke dalam bubuk kapur. Aku pikir itu adalah hal paling aneh yang pernah masuk mulutku. Tak ada rasa yang menyamai rasa siri itu. Aku mencoba untuk terus mengunyah dan meludah, tapi ternyata rasa dari pinang siri benar-benar tak cocok untukku. Akhirnya aku muntahkan semua pinang siri yang ada di mulutku, lalu pergi ke kamar mandi untuk berkumur. Sementara teman-temanku yang lain bermuntah ria di tempat kami berkumpul.
ADVERTISEMENT
Itu adalah salah satu hal paling seru yang pernah aku coba. Kapan lagi mencoba pinang siri, di Sumba? Oiya. Kalian tahu kenapa air kunyahan pinang siri tak boleh ditelan? Karena kata warga asli Sumba, air itu memabukkan jika ditelan. Dan beberapa mengatakan, itulah yang membuat mereka ketagihan mengunyah pinang siri.
Setelah pinang siri itu, kami mengambil jatah sarapan kami. Menu utamanya adalah ikan, benar-benar segar dari laut. Dan, ya, rasa pinang siri itu masih sangat terasa saat kami mengunyah makanan.
Setelah ini kami akan pergi berkeliling menuju tempat sakral di Salura dan mengunjungi SD Inpres di sana, bertemu adik-adik yang ternyata sudah menunggu kami.
ADVERTISEMENT