Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Aksi Kamisan: Gerakan yang Terinspirasi dari Asosiasi Para Ibu di Plaza de Mayo
19 Oktober 2023 6:10 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
September merupakan bulan kelam bagi Indonesia . Dalam sejarahnya, pada bulan September ada banyak peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang menyelimuti Indonesia, sehingga biasanya para aktivis kemanusiaan menyebutnya dengan istilah September Hitam. Hal ini sebagai penanda dan pengingat adanya peristiwa kelam pada lalu yang dilakukan oleh manusia-manusia kejam.
ADVERTISEMENT
Tercatat dalam sejarah Indonesia bahwa banyak pelanggaran HAM pada bulan September: Tragedi 1965—1966, Tragedi Tanjung Priok (12 September 1984), Tragedi Semanggi II (24 September 1999), Pembunuhan Munir Said Thalib (7 September 2004), Pembunuhan Salim Kancil (26 September 2015), dan Reformasi Dikorupsi (24 September 2019).
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut sampai saat ini, peristiwa-peristiwa mendapatkan penyelesaian yang adil dari pemerintah, yang semestinya menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM serta memuliakan martabat para korban.
Meskipun beberapa kasus, seperti kasus Munir dan tragedi Tanjung Priok telah mengalami proses peradilan, tetapi usaha untuk mengungkap kebenaran serta memberikan pemulihan kepada korban masih belum diberikan perhatian yang cukup oleh pemerintah.
KontraS juga mencatat banyaknya korban jiwa dalam peristiwa tersebut, mulai dari hilang sampai nyawa melayang pun menyelimuti tragedi kelam ini. Misalnya Tragedi 1965—1966, Komnas HAM mencatat ada setidaknya 32.774 orang yang hilang, dan beberapa riset menyatakan ada sekitar 2 juta orang yang menjadi korban.
ADVERTISEMENT
Adanya tragedi kelam September Hitam, banyak orang yang terus menyuarakan, baik di dunia maya maupun dunia nyata, terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM . Salah satu aksi yang dikenal di Indonesia adalah Aksi Kamisan.
“Hidup korban! Jangan diam! Lawan!,” Slogan yang setiap Kamis diteriakkan oleh pejuang-pejuang kemanusiaan yang membawa payung hitam di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Sejak 18 Januari 2007 (setiap Kamis), para pejuang kemanusiaan yang penuh harapan menagih janji pemerintah untuk mengadili dan mengusut tuntas pelanggaran-pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM berat, pada masa lalu, termasuk yang terjadi pada bulan September.
CIPDH-UNESCO menyatakan bahwa aksi yang dilakukan oleh para pejuang kemanusiaan setiap Kamis sore di seberang Istana Merdeka atau biasa dikenal dengan nama Aksi Kamisan tersebut dilakukan atas dasar keresahan terhadap pelanggaran HAM. Aksi Kamisan pada mulanya hanya dilakukan di Jakarta, tetapi kini sudah tersebar di banyak kota dan kabupaten di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Aksi Kamisan merupakan sebuah gerakan yang terinspirasi dari Asociación Madres de Plaza de Mayo alias Asosiasi Ibu-Ibu di Plaza de Mayo. Plaza de Mayo ialah sebuah lapangan terletak di pusat Kota Buenos Aires, ibu kota Argentina. Tempat ini mempunyai makna yang signifikan dalam sejarah dan politik negara tersebut, dan sering menjadi lokasi peristiwa penting dalam sejarah Argentina.
Stan & Nedelsky di dalam Transitional Justice Institutions and Organizations (2014) menyebut, bahwa pada masa tersebut, pemerintah menghapus institusi politik dan memulai "operasi anti-subversif" untuk menangkap individu yang dicurigai memiliki hubungan dengan organisasi tertentu, pendukung mereka, rekan-rekan, dan siapa pun yang menentang rezim. Pada tahun 1981, junta pemerintahan akhirnya runtuh karena perpecahan internal. Citra junta tercoreng di dunia internasional karena dampak buruk yang ditimbulkannya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah junta melabeli kelompok kiri dan reformis sebagai ancaman bagi identitas Argentina, dan mereka menjadi sasaran operasi. Pada masa itu, junta militer menerapkan tindakan penghilangan paksa yang fatal untuk menghindari kritik internasional. Selama periode yang dikenal sebagai "Perang Kotor" (1976–1983), ribuan pemuda berbakat dan bersemangat idealis menghilang ke dalam 365 kamp konsentrasi tersembunyi di seluruh Argentina.
Di tempat-tempat ini, mereka mengalami penyiksaan dan dieksekusi secara diam-diam dengan cara yang mengerikan, seperti dilemparkan dari pesawat ke Samudra Atlantik atau sungai di La Plata. Menurut Ibu-Ibu Plaza de Mayo, sekitar 30.000 warga Argentina meninggal akibat kebijakan ini, belum termasuk keluarga yang juga menghilang tanpa ada saksi. Para perempuan ini bersatu ketika mencari anak-anak yang hilang. Beberapa dari mereka bertemu secara rahasia, mulai melakukan demonstrasi dan berbicara terbuka pada tahun 1977, walaupun itu membahayakan keselamatan mereka.
ADVERTISEMENT
CIPDH-UNESCO juga menyebut bahwa Ibu-Ibu Plaza de Mayo merupakan sebuah kelompok aktivis HAM yang terdiri dari para ibu yang mencari kebenaran dan keadilan bagi anak-anak mereka yang hilang selama masa represi militer di Argentina antara tahun 1976 dan 1983. Para Ibu Plaza de Mayo melakukan protes secara rutin di Plaza de Mayo setiap hari Kamis.
Mereka mengenakan pakaian berwarna putih dan mengibarkan spanduk dengan gambar-gambar anak-anak mereka yang hilang, serta menuntut pemerintah untuk mengungkap keberadaan mereka dan mengadili pelaku-pelaku pelanggaran HAM. Tuntutan-tuntutan mereka telah menjadi lambang perjuangan untuk keadilan dan hak asasi manusia, dan mereka terus berjuang bahkan setelah rezim militer berakhir.
Melalui aksi protes dan perjuangan mereka, Ibu-Ibu Plaza de Mayo telah memainkan peran penting dalam mengungkapkan kebenaran mengenai kebijakan represif pemerintah militer dan memperjuangkan HAM di Argentina. Kelompok ini juga telah memberikan pengaruh terhadap perubahan sosial dan politik di negara tersebut dan dikenali secara internasional karena dedikasi mereka dalam mencari keadilan dan menghormati hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Hal ini membuktikan bahwa banyak dari masyarakat yang masih peduli terhadap HAM, serta menuntut kepada pemerintah untuk mengusut tuntas pelanggaran-pelanggaran HAM dan senantiasa melindungi warga negaranya dari perbuatan keji dan hina tersebut.
Hal ini membuktikan bahwa banyak masyarakat yang masih peduli terhadap HAM, serta menuntut kepada pemerintah untuk mengusut tuntas pelanggaran-pelanggaran HAM dan senantiasa melindungi warga negaranya dari perbuatan keji dan hina tersebut.
Peristiwa-peristiwa September Hitam di Indonesia, serta pengaruh dari gerakan seperti Aksi Kamisan yang terinspirasi oleh Ibu-Ibu Plaza de Mayo di Argentina, mencerminkan kekuatan perjuangan kemanusiaan dalam menegakkan prinsip-prinsip HAM.
Masyarakat sipil, aktivis, dan kelompok-kelompok yang berjuang untuk keadilan telah menjadi suara yang sangat penting dalam menekan pemerintah agar bertanggung jawab atas pelanggaran HAM. Mereka memainkan peran vital dalam mempromosikan transparansi, akuntabilitas, dan kebenaran dalam menghadapi masa lalu yang kelam.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pengaruh gerakan HAM di berbagai negara, seperti Ibu-Ibu Plaza de Mayo di Argentina, menunjukkan bahwa perjuangan untuk HAM adalah perjuangan universal. Hal ini mengilhami masyarakat di berbagai belahan dunia untuk berdiri bersama dan memperjuangkan hak asasi manusia. Kegigihan dan ketekunan para aktivis HAM dalam mencari keadilan dan mengungkap kebenaran adalah contoh nyata bahwa perubahan positif dapat dicapai melalui perjuangan yang sungguh-sungguh.
Dalam menghadapi tantangan pelanggaran HAM, penting untuk terus mengingat sejarah yang kelam dan mengambil tindakan untuk mencegahnya terulang. Perjuangan ini membutuhkan kerja keras dan kesatuan dari semua pihak yang peduli terhadap hak asasi manusia, dan tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang lebih adil dan menghormati martabat manusia di masa depan.
ADVERTISEMENT