Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Beda Perspektif, Bukan Berarti Bermusuhan
6 Juli 2023 10:44 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perbedaan perspektif merupakan anugerah dari Allah Swt yang harus kita syukuri. Allah Swt menciptakan manusia secara beragam, sebagaimana firman-Nya di dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13, yang pada intinya Allah Swt menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan perempuan, serta terdapat berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya manusia saling mengenal.
ADVERTISEMENT
Keberagaman ini berharga karena memungkinkan adanya pelbagai perspektif. Ini mendorong inovasi, kreativitas, dan pemahaman yang lebih baik tentang dunia dan orang-orang di sekitar kita. Keberagaman dan perbedaan juga mengajarkan kita untuk menghargai dan menghormati orang lain, serta menumbuhkan empati dan kerja sama.
Setiap perbedaan yang ada di masyarakat kita bukanlah hal yang harus kita hindari atau takuti, tetapi hal yang harus kita pelajari dan hargai, karena itulah yang membuat masyarakat kita kaya dan beragam. Keberagaman dan perbedaan bukanlah hambatan, tetapi anugerah yang perlu kita syukuri.
Negara Indonesia pun berdiri bukan karena pemikiran satu tokoh atau satu golongan tertentu, melainkan didirikan oleh beragam orang, banyak juga perbedaan perspektif, yang tak jarang menimbulkan perdebatan.
Berdirinya Indonesia adalah hasil dari upaya banyak orang dari pelbagai latar belakang dan pemikiran. Perjuangan menuju kemerdekaan adalah hasil dari kerja sama dan perjuangan pelbagai pahlawan, pemikir, dan masyarakat yang berasal dari pelbagai suku, agama, dan golongan.
ADVERTISEMENT
Meskipun sering kali ada perbedaan perspektif dan perdebatan, tetapi semangat persatuan dan kebersamaan serta tujuan bersama untuk merdeka menjadi penyatunya.
Beberapa tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, antara lain Sukarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan masih lagi lainnya. Mereka mewakili pelbagai latar belakang dan pandangan, tetapi bersatu dalam tujuan mereka untuk merdeka dari penjajahan. Setelah kemerdekaan, pelbagai pemikiran dan ideologi berbeda tetap ada, dan ini sebenarnya menjadi kekuatan Indonesia.
Indonesia dikenal dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang berarti "berbeda-beda, tetapi tetap satu", yang mencerminkan spirit toleransi dan persatuan dalam keberagaman. Penting untuk diingat bahwa meskipun ada perbedaan dan perdebatan, ini semua adalah bagian dari proses demokrasi dan keberagaman yang sehat, selama semua pihak menghargai hak dan kebebasan orang lain, dan selama semua pihak berkomitmen untuk menjaga persatuan dan keutuhan negara.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, sebagaimana yang tertulis di dalam buku Mohammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, dijelaskan bahwa Mohammad Natsir juga menjalin hubungan baik dengan Dipa Nusantara (D.N.) Aidit yang kala itu menjabat Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kita tahu, Natsir merupakan sosok dari partai Islam, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Sementara itu, D.N. Aidit dari PKI yang berhaluan komunis. Sehingga, di Indonesia partai beraliran Islam dan komunis ini sering tidak sejalan atau bahkan bertentangan, ibarat air dan minyak.
Akan tetapi, Natsir dan Aidit mengajarkan kepada kita bahwa perbedaan perspektif bukan berarti kita harus bermusuhan. Sering kali, mereka berbeda pandangan mengenai suatu hal ketika rapat di gedung parlemen. Sampai timbul perdebatan, dan dikisahkan juga kursi hampir melayang ke kepala.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, di luar rapat, mereka akrab, seperti tidak terjadi apa-apa ketika rapat. mereka biasa minum kopi bersama di kantin gedung Parlemen. Pertemanan keduanya semakin erat saat Aidit mengantar Natsir dengan mengendarai sepeda motornya pergi ke Pejambon, Jakarta.
Aidit dan Natsir kerap ngobrol sembari menyeruput kopi. Hal ini biasa mereka lakukan ketika ada waktu senggang, tak jarang pula mereka menikmati secangkir kopi usai menghadiri sidang-sidang dan rapat. Meski ada perbedaan perspektif di antara keduanya, mereka tetap menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik.
Kemudian, ada persahabatan Sukarno dan Hatta. Sukarno dan Hatta merupakan dua tokoh penting dalam sejarah Indonesia, mereka pun mendapat julukan dwitunggal. Meski keduanya sering punya perspektif yang berbeda, mereka berbagi tujuan bersama yaitu kemerdekaan Indonesia dan berhasil bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sukarno dikenal sebagai sosok yang menginginkan Indonesia dengan sistem kesatuan, sedangkan Hatta federasi. Mereka juga memiliki sifat dan pembawaan yang berbeda, sebagaimana ketika Sukarno diwawancarai oleh Cindy Adams. Hal ini juga tertulis di buku Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia:
Mereka kerap memiliki perbedaan perspektif, dan puncaknya pada 1 Desember 1956, setelah 11 tahun menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia, Hatta secara resmi mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden Indonesia. Adapun isi surat Hatta sebagai berikut.
Perbedaan perspektif politik ini menjadi alasan “berpisahnya” mereka dalam menakhodai Indonesia. Akan tetapi, hal ini bukan berarti menyudahi juga persahabatan mereka. Sukarno pun selama menjabat sebagai Presiden Indonesia tidak mencari pengganti Hatta.
Sukarno merupakan sosok yang mencarikan Hatta pasangan hidup karena sebelumnya Hatta menolak menikah sebelum Indonesia merdeka. Ketika Sukarno tidak bisa hadir di pernikahan anaknya, dikarenakan menjadi tahanan pemerintah Orde Baru, Hatta yang menjadi wali nikahnya.
Inilah persahabatan sejati sang dwitunggal Indonesia, mereka berbeda dalam pandangan politik, tetapi memiliki persamaan dan keinginan Indonesia merdeka, serta menjalin persahabatan hingga akhir hayat.
ADVERTISEMENT
Sukarno dan Hatta bisa kita jadikan simbol persatuan dan kerja sama dalam menghadapi tantangan meskipun ada perbedaan perspektif politik. Perbedaan pandangan mereka tidak menghalangi persahabatan dan kerja sama mereka, tetapi justru menjadikan mereka lebih kuat bersama.
Kita memasuki tahun politik, ini bisa juga dijadikan sebagai pembelajaran supaya elite-elite politik tidak hanya mengejar kekuasaan, tetapi juga harus mengedepankan persatuan dan perdamaian supaya iklim perpolitikan Indonesia baik, tidak ada perpecahan yang dapat menimbulkan konflik.
Perbedaan dalam pandangan politik menjadi hal yang lumrah di mana pun, termasuk Indonesia, tetapi yang tidak lumrah adalah menjadikan perbedaan ini sebagai bibit permusuhan. Tuhan pun menciptakan manusia dengan keberagaman, latar belakang yang berbeda-beda, sehingga wajar jika di antara manusia sering terjadi perbedaan perspektif.
ADVERTISEMENT
Dalam Islam pun, di kalangan ulama sering ditemukan perbedaan pendapat atau perspektif, hal semacam ini memang sudah lumrah terjadi. Sehingga sudah semestinya kita, bangsa Indonesia, tidak saling bermusuhan hanya karena adanya perbedaan perspektif dalam hal apa pun, termasuk politik.