Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Mencegah Pelanggaran HAM dengan Judicial Scrutiny melalui Hakim Komisaris
10 Juli 2024 6:29 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum , terutama anggota Polri, mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. Menurut data Amnesty International, sejak Juli 2019, tercatat sebanyak 226 korban penyiksaan, dengan anggota Polri sebagai pelaku utama mencakup sekitar 75% dari total kasus yang dilaporkan.
ADVERTISEMENT
Peningkatan kasus ini juga tercermin dari laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mencatat 282 pengaduan terkait kasus penyiksaan antara Januari 2020 hingga Juni 2024, yang mana Polri mendominasi sebagai pelaku utama dengan 176 kasus.
Laporan dari KontraS pun menegaskan bahwa dari Juni 2023 hingga Mei 2024, Polri tetap menjadi aktor utama dalam praktik penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, terlibat dalam 40 dari 60 peristiwa yang tercatat. Mayoritas kasus ini terjadi di tingkat Polres, Polsek, dan Polda, menyoroti prevalensi praktik penyiksaan di berbagai level kepolisian.
Kondisi ini menunjukkan adanya tantangan serius terkait hak asasi manusia di Indonesia, meskipun negara telah meratifikasi konvensi internasional yang melarang penyiksaan. Keterlibatan aparat penegak hukum, terutama Polri , dalam kasus-kasus penyiksaan memperburuk citra keadilan dan penegakan hukum di negara ini, serta menimbulkan kekhawatiran akan impunitas dan minimnya komitmen untuk menghapus praktik penyiksaan.
ADVERTISEMENT
Urgensi Judicial Scrutiny melalui HPP
Saat ini, institusi Polri mempunyai kewenangan "monster"—ditambah lagi dengan adanya wacana RUU Polri yang memperluas kewenangan Polri—yang sering kali disalahgunakan, sehingga meresahkan publik. Berita-berita tentang penyiksaan—bahkan kematian tahanan di tangan aparat penegak hukum, khususnya Polri—terus bermunculan, hal ini menjadi tamparan keras bagi penegakan HAM di Indonesia.
Maka dari itu, penerapan judicial scrutiny melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) bisa menjadi solusi penting untuk menanggulangi masalah ini. Konsep judicial scrutiny terhadap perampasan kebebasan individu menjadi dasar bagi konsep praperadilan di Indonesia. Awal munculnya pengawasan peradilan dapat ditelusuri dalam Piagam Magna Charta Inggris pada 15 Juni 1215, yang membatasi kekuasaan absolut monarki dengan memastikan bahwa seorang raja tunduk pada hukum (Eddyono et al.: 2014).
ADVERTISEMENT
Praktik peradilan pidana sering kali melibatkan upaya paksa oleh penegak hukum, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan. Agar tidak melanggar hak dan kebebasan sipil individu, penting bahwa pelaksanaan upaya paksa tunduk pada pengawasan pengadilan (judicial scrutiny), hal ini sebagaimana yang telah diutarakan oleh The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam risetnya “Judicial Scrutiny melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RKUHAP” (ICJR: 2022).
Pendekatan ini memungkinkan hakim—Hakim Komisaris (Rechter Commissaris)—untuk memainkan peran krusial dalam memutus dan menetapkan pelbagai kewenangan. Di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHP) telah termaktub pelbagai kewenangan Hakim Komisaris, di antaranya menentukan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan.
Selain itu, pun memutuskan pembatalan atau penangguhan penahanan; menilai keterangan yang melanggar hak tersangka atau terdakwa untuk tidak memberatkan diri sendiri; menentukan bahwa alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat digunakan sebagai bukti; mengatur ganti rugi atau rehabilitasi bagi yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah, serta ganti rugi atas hak milik yang disita secara tidak sah.
ADVERTISEMENT
Tugas dan wewenang Hakim Komisaris dilakukan dengan permohonan dari tersangka, terdakwa, keluarga, atau kuasanya. Berbeda dengan praperadilan yang bisa gugur jika pemeriksaan pokok perkara sudah dimulai di Pengadilan Negeri, hak untuk menggunakan prosedur Hakim Komisaris tidak terbatas bagi pihak-pihak yang berkepentingan (Malarangeng: 2012).
Saya sangat yakin bahwa konsep judicial scrutiny melalui HPP di RKUHAP merupakan oase di tengah kegersangan sistem peradilan pidana Indonesia saat ini, dan jauh lebih baik ketimbang sistem yang ada pada saat ini, seperti praperadilan dalam KUHAP.
HPP merupakan tonggak untuk pelindungan HAM, yang saat ini sering kali diabaikan. Hal ini pun didukung oleh pernyataan dan riset dari ICJR, yang menyatakan bahwa HPP dalam RKUHAP bisa jadi langkah maju bagi pelindungan HAM, sehingga bisa mengatasi kecenderungan penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum, terutama Polri.
ADVERTISEMENT
Penerapan judicial scrutiny melalui HPP menjadi penting untuk menanggulangi pelanggaran HAM, khususnya terkait praktik penyiksaan yang semakin meningkat di Indonesia. Dengan memberikan wewenang kepada Hakim Komisaris untuk melakukan pengawasan pada tahap awal penyidikan, hal ini bisa memperkuat pelindungan terhadap hak-hak individu yang terancam oleh kekuasaan Polri yang terlalu besar.
Pentingnya Penegakkan HAM
Sejatinya, negara—dalam hal ini pemerintah—memiliki tanggung jawab utama sebagai pemegang kewajiban (duty bearer) dalam penegakan HAM , yakni dalam hal menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM bagi semua warga negara dan individu yang berada di dalam yurisdiksinya. Hal ini meliputi kewajiban untuk mencegah, menyelidiki, menghukum, dan memberikan kompensasi kepada korban pelanggaran HAM, termasuk kasus-kasus penyiksaan di dalam sel tahanan dilakukan oleh aparat penegak hukum, seperti Polri.
ADVERTISEMENT
Sering kali ditemukan bahwa tersangka disiksa oleh Polri seolah-olah mereka bukan manusia, padahal mereka tetap memiliki HAM, termasuk terbebas dari penyiksaan, yang telah dijamin oleh pelbagai instrumen hukum, baik di tingkat internasional maupun nasional. Apalagi, bebas dari penyiksaan merupakan HAM yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun (nonderogable right).
Hal ini pun secara tegas telah diamanatkan di dalam Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28G ayat (2) UUD NRI 1945, serta dinyatakan juga dengan jelas dalam pelbagai undang-undang nasional, termasuk UU No. 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
ADVERTISEMENT
Jelas bahwa pentingnya penegakan HAM di Indonesia tidak bisa diragukan lagi, mengingat prevalensi kasus penyiksaan yang meningkat oleh aparat penegak hukum, terutama Polri. Penegakan HAM menjadi fondasi yang krusial dalam memastikan bahwa hak-hak individu dilindungi, dan pelaku pelanggaran HAM dihukum sesuai dengan hukum.
Namun, realitas lapangan menunjukkan bahwa implementasi dan penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM, termasuk kasus penyiksaan oleh aparat keamanan, masih memerlukan perbaikan yang signifikan. Pelbagai inisiatif, seperti judicial scrutiny melalui HPP dalam RKUHAP menjadi langkah yang diharapkan bisa mengatasi kelemahan sistem saat ini.
Melalui HPP, Hakim Komisaris memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan pada tahap awal penyidikan, termasuk menilai sah tidaknya tindakan, seperti penangkapan, penahanan, dan penyitaan. Ini menjadi krusial dalam memastikan bahwa tindakan-tindakan tersebut tidak melanggar hak-hak individu yang dijamin oleh Konstitusi dan hukum internasional. Dengan demikian, implementasi judicial scrutiny melalui HPP menjadi salah satu langkah konkret dalam memperkuat penegakan HAM di Indonesia.
ADVERTISEMENT