Konten dari Pengguna

September Kelam, September Hitam

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Direktur Eksekutif Amnesty UNNES
8 September 2023 7:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta. Foto: Angga Budhiyanto/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta. Foto: Angga Budhiyanto/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada bulan September, Indonesia diingatkan akan salah satu babak kelam dalam sejarahnya melalui peringatan peristiwa yang dikenal sebagai September Hitam. Pada bulan ini, negara ini diguncang oleh serangkaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang mengguncangkan.
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, bulan September menyiratkan lebih dari sekadar pergantian musim. Bagi Indonesia, bulan ini juga memiliki arti mendalam, mengingat sejarahnya yang kelam terkait dengan berbagai pelanggaran HAM.
Bulan ini, seperti saat ini, mengingatkan kita pada serangkaian peristiwa tragis yang terjadi di masa lalu dan mewakili sorotan terhadap tantangan yang masih kita hadapi dalam menegakkan dan melindungi HAM.
September Hitam mencakup sejumlah peristiwa bersejarah yang menyiratkan pelanggaran HAM dalam berbagai bentuk. Dalam sejarahnya, pada bulan September, di Indonesia terjadi banyak peristiwa pelanggaran HAM: Tragedi 1965—1966, Tragedi Tanjung Priok (12 September 1984), Tragedi Semanggi II (24 September 1999), Pembunuhan Munir Said Thalib (7 September 2004), Pembunuhan Salim Kancil (26 September 2015), Reformasi Dikorupsi (24 September 2019).
ADVERTISEMENT
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut sampai saat ini, peristiwa tersebut belum mendapatkan penyelesaian yang adil dari pihak negara, yang semestinya menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM serta memuliakan martabat para korban.
Meskipun beberapa kasus, seperti kasus Munir dan tragedi Tanjung Priok telah mengalami proses peradilan, tetapi usaha untuk mengungkap kebenaran serta memberikan pemulihan kepada korban masih belum diberikan perhatian yang cukup oleh pemerintah.
Tidak hanya itu, ada juga peristiwa penembakan Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September 2020 di Kampung Hitadipa, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, oleh oknum TNI.
Mengutip dari laporan KontraS, situasi yang terjadi terkait vonis ringan terhadap pelaku penghilangan paksa dan pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani. Kasus ini menghadirkan fakta bahwa keadilan sering kali sulit ditemukan dalam sistem peradilan militer, dan vonis yang diberikan terhadap para pelaku jelas tidak sebanding dengan kejahatan yang mereka lakukan.
ADVERTISEMENT
Penyelesaian persoalan pelanggaran HAM di Indonesia masih belum memuaskan. Meskipun upaya telah diupayakan untuk mengatasi pelanggaran HAM masa lalu, banyak kasus yang masih mengambang dan belum menerima keadilan yang sepantasnya.
Aksi Kamisan. Foto: Bagus upc/Shutterstock
Hal ini mengundang keprihatinan dan menunjukkan kebutuhan akan komitmen yang lebih kuat dari pemerintah dalam menghadapi isu pelanggaran HAM.
Salah satu faktor yang menghambat penyelesaian kasus pelanggaran HAM adalah lambannya proses hukum dan penyelidikan yang dilakukan. Sejumlah kasus pelanggaran HAM telah terus berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada titik terang yang jelas.
Ketidakpastian ini bukan hanya menghambat upaya pencapaian keadilan bagi para korban, melainkan juga menyiratkan bahwa pelanggaran HAM dapat terjadi tanpa menghadapi konsekuensi serius.
Di samping itu, faktor politik juga mungkin merintangi proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Ada kemungkinan bahwa beberapa kasus terkait dengan pihak-pihak yang memiliki pengaruh politik atau kepentingan khusus.
ADVERTISEMENT
Keadaan ini berpotensi mengakibatkan kurangnya transparansi dalam upaya penyelidikan dan penuntutan, serta menghalangi langkah-langkah tegas untuk mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya.
Pentingnya peran lembaga penegak hukum dan independensinya juga menjadi sorotan dalam konteks ini. Kehadiran sistem hukum yang kuat dan bebas dari intervensi sangatlah krusial untuk memastikan bahwa pelanggaran HAM ditangani dengan serius dan adil.
Akan tetapi, apabila ada indikasi campur tangan atau tekanan terhadap lembaga-lembaga ini, hal tersebut berpotensi mengurangi efektivitas usaha penegakan hukum.
Ilustrasi HAM. Foto: corgarashu/Shutterstock
Ada tiga model penyelesaian pelanggaran HAM: melupakan dan memaafkan, tidak melupakan dan tidak memaafkan, serta tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan. Pemerintah semestinya mengadopsi model kedua untuk mengadili pelanggaran HAM masa lalu karena Indonesia adalah negara hukum.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan peradilan HAM menjadi aspek yang penting dan harus ada untuk menciptakan keadilan yang nyata. Namun, pilihan jalur non-yudisial, seperti melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), sebenarnya lebih mengarah pada model pertama, yang banyak ditolak oleh banyak pihak, terutama korban dan keluarganya (Nunik, 2019).
Jadi, untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah perlu menunjukkan komitmen yang jelas terhadap penegakan HAM dan memberikan dukungan yang cukup kepada lembaga-lembaga terkait. Transparansi dalam proses penyelidikan dan penuntutan harus diutamakan, serta korban pelanggaran HAM dan keluarganya harus diberikan akses kepada keadilan.
Hanya dengan mengambil langkah-langkah ini, Indonesia dapat melangkah menuju penyelesaian yang adil dan tuntas terkait dengan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Bulan September menjadi simbol pahit yang mengingatkan kita akan korban yang tak terhitung jumlahnya, penderitaan yang dialami, dan hilangnya keadilan. Namun, September Hitam juga mengajarkan kita untuk tidak melupakan, untuk mengingat, dan untuk terus berjuang demi kebenaran dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Dalam setiap peringatan September Hitam, masyarakat sipil, keluarga korban, dan para aktivis HAM bersatu untuk menuntut pengungkapan kebenaran, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak-hak korban. Mereka berbicara untuk mereka yang telah terdiam oleh kebrutalan masa lalu dan untuk mencegah terulangnya sejarah yang kelam.
Ilustrasi HAM. Foto: Danhood/Shutterstock
Bulan September dalam sejarah Indonesia telah menjadi saksi dari tragedi-tragedi yang menggoreskan luka mendalam dalam perjalanan bangsa. Di balik harapan akan kemajuan dan keadilan, bulan ini menjadi pengingat yang pahit akan tantangan besar yang masih dihadapi dalam menghadapi pelanggaran HAM dan memastikan keadilan bagi korban-korban yang terkena dampaknya.
Peristiwa-peristiwa semacam itu menggarisbawahi pentingnya penegakan HAM sebagai fondasi mendasar dalam menciptakan masyarakat yang adil dan beradab. Mereka yang telah menjadi korban pelanggaran HAM dan kekerasan layak mendapatkan keadilan dan pemulihan yang pantas.
ADVERTISEMENT
September Kelam dan September Hitam menyoroti perlunya komitmen yang kuat dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk memastikan bahwa masa lalu yang kelam tidak akan berulang.
Indonesia perlu mengambil langkah konkret untuk mengatasi dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu, dan harus menjamin tidak ada pelanggaran HAM berat pada masa yang akan datang.
Hal ini mencakup mempercepat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang masih terbuka, memastikan proses hukum yang transparan dan adil, serta mengedepankan komitmen untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM di masa depan. Tindakan ini akan membangun pondasi kuat bagi peradaban yang lebih bermartabat dan berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan.