Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Influencer dan Pemilu 2024: Menggiring Opini atau Meningkatkan Partisipasi?
16 September 2024 13:55 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Rajabbul Amin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Influencer telah berkembang menjadi figur penting dalam masyarakat untuk saat ini, terutama di kalangan generasi muda. Mereka dapat menjangkau jutaan orang dengan berbagai konten, mulai dari hiburan hingga pendidikan, melalui platform media sosial (Fianabila et al. 2023). Karena pengaruh yang signifikan ini, mereka menjadi alat yang sangat berguna bagi para politisi untuk menyampaikan pesan dalam kampanye mereka, termasuk yang berkaitan dengan PEMILU dan PILKADA 2024. Apakah, peran mereka lebih banyak memengaruhi pemikiran daripada meningkatkan partisipasi pemilih?
ADVERTISEMENT
Influencer memiliki tugas penting untuk menyampaikan keyakinan dan perspektif mereka kepada pengikut mereka. Dalam PEMILU dan PILKADA, influencer memiliki kemampuan untuk mengubah persepsi publik tentang partai politik atau kandidat dengan cara yang lebih mudah diterima oleh masyarakat. Influencer dapat menyederhanakan pesan politik yang berat dan sulit dipahami.
Media sosial sekarang menjadi tempat utama di mana orang berinteraksi satu sama lain, dan cara kampanye politik berjalan dipengaruhi oleh hal ini. Instagram, TikTok, dan YouTube telah berkembang menjadi platform yang sangat efektif untuk menyebarkan pesan iklan dengan cepat dan ke seluruh populasi. Banyak politisi telah menggunakan strategi digital yang melibatkan influencer untuk merangkul pemilih muda selama pemilihan dan pemilihan 2024. Lebih dari 68% orang Indonesia aktif menggunakan media sosial, menjadikan Indonesia sebagai pasar terbesar untuk kampanye politik digital, menurut laporan We Are Social tahun 2023. Influencer dengan audiens yang luas dan beragam sangat penting untuk memanfaatkan platform ini untuk menyampaikan pesan politik secara lebih cepat dan masif.
ADVERTISEMENT
Seperti dilansir dari Kompas.id edisi 04/01/2024, seorang influencer dapat membuat video pendek tentang tujuan calon presiden, wakil presiden serta calon Kepala daerah baik ditingkat Provinsi maupun Kota/Kabupaten serta menyampaikankannya dengan cara yang inovatif, seperti menggunakan infografis, komedi, atau tantangan yang populer. Hal ini membuat generasi muda, khususnya mereka yang biasanya tidak terlalu tertarik dengan politik, lebih tertarik dan menyadari pentingnya pemilu.
Namun, ada kemungkinan bahwa pesan yang mendalam atau kritis akan hilang jika konten politik hanya mengikuti tren atau menjadi viral. Narasi politik dapat berubah menjadi konten hiburan. Hal ini dapat mengurangi kedalaman pembicaraan tentang masalah penting seperti lingkungan, kebijakan ekonomi, dan pendidikan. Dalam beberapa situasi, politisi lebih cenderung memilih konten yang menarik perhatian daripada yang memberikan pemilih wawasan yang relevan. Akibatnya, kampanye menjadi kurang menarik.
ADVERTISEMENT
Pada PEMILU 2024 menunjukkan bahwa kampanye politik telah mengalami pergeseran besar dari pendekatan konvensional ke pendekatan digital. Media sosial sekarang menjadi alat penting bagi politisi untuk berinteraksi secara langsung dengan masyarakat (Arighi . 2024), berbeda dengan masa lalu ketika politisi berkonsentrasi pada baliho, debat terbuka, atau iklan televisi. Saat ini, influencer sangat penting dalam ekosistem ini karena mereka memiliki kemampuan untuk memobilisasi pengikutnya untuk mendukung kandidat tertentu atau sekadar meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pemilu.
Ada kritik terhadap peran influencer dalam politik di balik potensinya. Salah satunya adalah gagasan bahwa influencer seringkali tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang masalah politik dan hanya berkonsentrasi pada aspek luar dari kampanye. Hal ini dapat menyebabkan pemilih tidak memiliki pemahaman yang jelas tentang program yang ditawarkan oleh kandidat. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kampanye yang bergantung pada popularitas influencer dapat merusak demokrasi. Pemilih mungkin memilih kandidat berdasarkan pengaruh figur publik yang mereka idolakan, bukan program atau kualitas kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa situasi, politisi dan influencer yang tidak memperhatikan etika dapat bekerja sama untuk menghasilkan hasil yang merugikan. Misalnya, ketika seorang influencer memberikan dukungan kepada kandidat hanya karena mereka dibayar, tanpa memahami konsekuensi dari dukungan tersebut. Hal ini dapat menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas dukungan tersebut dan apakah itu masuk dalam kategori manipulasi politik.
Sebagian besar influencer terkenal karena konten hiburan, tetapi banyak dari mereka sekarang menggunakan platform mereka untuk berbicara tentang masalah penting, seperti politik dilansir dari Kompas.id edisi 16 Maret 2024. Influencer yang menyadari tanggung jawab sosial mereka telah menunjukkan bahwa mereka dapat berpartisipasi dalam peran edukatif, bukan hanya menghibur. Mereka memiliki kemampuan untuk menyampaikan informasi tentang visi-misi kandidat yang sederhana namun bermakna, memfasilitasi pembicaraan politik, dan mengajak pengikut mereka untuk terlibat dalam proses politik yang lebih besar, seperti mendaftar sebagai pemilih dan berpartisipasi aktif dalam pemilu.
ADVERTISEMENT
Contohnya adalah influencer yang memberikan informasi tentang hak-hak pemilih, cara memilih dengan benar, atau bahkan memberikan instruksi singkat tentang cara mengikuti debat kandidat dengan hati-hati. Metode ini tidak hanya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang politik, tetapi juga membantu pemilih muda belajar tentang proses politik formal.
Membangun kepercayaan melalui transparansi adalah salah satu cara influencer dapat memiliki pengaruh yang lebih besar dalam kampanye pemilu (Ilham , 2022). Influencer yang terlibat dalam kampanye politik harus jujur tentang dukungan yang mereka berikan, apakah itu karena hubungan komersial atau karena keyakinan pribadi. Sangat penting bagi mereka untuk tetap terbuka sehingga pengikut mereka tidak merasa ditipu.
Selain itu, politisi harus lebih selektif dalam memilih influencer untuk bekerja sama. Mereka harus memastikan bahwa influencer tersebut memahami dan mendukung tujuan kampanye politik daripada hanya mengejar popularitas di media sosial. Dengan cara ini, kampanye politik dapat lebih berfokus pada substansi daripada sekadar mengejar popularitas sosial.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari fakta bahwa influencer memainkan peran penting dalam kampanye pemilu, penting bagi mereka untuk mempertahankan moralitas dan tanggung jawab mereka. Di era disinformasi yang cepat menyebar, influencer dapat menjadi pedang bermata dua: mereka bisa menjadi sumber informasi yang baik atau justru menyebarkan informasi palsu yang memperburuk polarisasi politik. Oleh karena itu, mereka harus memastikan bahwa informasi yang mereka bagikan akurat dan jika ada unsur komersial dalam dukungan politik, itu harus diungkapkan secara terbuka kepada publik.
Penggunaan influencer dalam kampanye politik telah diatur di banyak negara (Dharta 2024). Sebagai contoh, beberapa negara mewajibkan influencer untuk mencantumkan label "berbayar" atau "endorse" selama kampanye mereka untuk kandidat tertentu. Tujuannya adalah untuk tetap jelas dan mencegah opini publik dimanipulasi. Langkah-langkah serupa di Indonesia mungkin menjadi pertimbangan penting untuk PEMILU dan PILKADA, karena kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu harus dipertahankan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, peran pengaruh Influencer dalam PEMILU dan PILKADA dapat berbahaya. Mereka memiliki potensi untuk meningkatkan partisipasi politik antara pemilih muda dan politisi melalui peran penting mereka. Namun, tanpa etika dan tanggung jawab yang jelas, mereka dapat mendorong opini publik ke arah yang tidak sehat. Oleh karena itu, transparansi, kejelasan informasi, dan edukasi politik yang efektif harus menjadi prioritas bagi influencer, politisi, dan pemilih.
Rajabbul Amin
Mahasiswa Pascasarjana KPI UIN Sunan Kalijaga