Konten dari Pengguna

Politik Kita yang Mengakomodir Kebencian

Raja Faidz el Shidqi
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik - FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta//2019
16 Maret 2023 19:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raja Faidz el Shidqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi politik. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi politik. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Satu tahun menjelang pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 masyarakat Indonesia khususnya yang berada pada tatanan sosial menengah ke bawah menerima cukup banyak gelombang politik yang luar biasa hebat, 2024 menjadi sebuah moment di mana Presiden Joko Widodo akan mengakhiri posisi nya sebagai Presiden Republik Indonesia setelah 2 periode berkuasa menjadi orang nomor 1 di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Pembahasan hangat di warung-warung kopi mulai menggema, bertanya-tanya siapakah sosok yang pantas menjadi Presiden RI selanjutnya setelah Joko Widodo? Pengamat Politik, Mahasiswa bahkan masyarakat kelas bawah ramai memberi tanggapan mengenai sosok-sosok yang selama ini bermunculan di ruang publik dengan satu potensi kepentingan, yaitu mencalonkan diri sebagai Presiden atau setidaknya dilamar menjadi Wakil Presiden.
Beberapa nama terdengar ramai diperbincangkan yang digadang-gadang akan mencalonkan diri sebagai Presiden, ialah Anies Rasyid Baswedan (Gubernur DKI Jakarta 2017-2022), Puan Maharani (Ketua DPR RI 2019-2024), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah 2018-2023), Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan RI), dan Erick Thohir (Menteri BUMN RI). Pro kontra menghiasi setiap nama yang ada dan memang begitulah seharusnya yang terjadi sebagai upaya menciptakan demokrasi yang sehat dan fair perlu adanya pro dan kontra serta untuk satu tujuan memilih pemimpin yang terbaik untuk negara, jika di dalam kajian keagamaan di Islam ketika ada 2 atau lebih sosok yang menjadi calon Pemimpin pilihlah sosok yang memberikan manfaat tetapi jika semua memberikan mudhorot/keburukan maka pilih lah yang mudhorot nya jauh lebih sedikit.
ADVERTISEMENT

Kebencian yang Terakomodir

Pemilu 2014 dan 2019 memiliki catatan yang cukup memilukan bagi perjalanan panjang demokrasi di Indonesia, ada beberapa alasan mengapa bisa dikatakan memilukan walaupun sebetulnya frasa memilukan terkesan berlebihan. Hal ini disebabkan karena kebencian sebagian masyarakat Indonesia terhadap salah satu pasangan calon. Anggaplah kebencian terhadap Presiden Joko Widodo dan kubunya yang diserang dengan isu anak Partai Komunis Indonesia (PKI) atau pun Ahok sebagai orang terdekat Bapak Joko Widodo sebelum menjabat sebagai Presiden dan tersandung kasus penistaan agama. Atau Prabowo Subianto yang dibenci para aktivis HAM karena disinyalir memiliki keterlibatan penuh atas penculikan beberapa aktivis 98 dan sebagai seorang yang dekat dan pernah menjadi bagian dari keluarga Cendana yang dikenal akan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) nya.
ADVERTISEMENT
Semua kebencian-kebencian itu seolah terangkum dan tumbuh dengan subur di tengah masyarakat Indonesia, hampir semua orang saling mencaci dan memaki serta memberikan sebutan tak mengenakan antar pendukung paslon tersebut mulai dari Cebong untuk para pendukung Joko Widodo dan Kampret untuk pendukung Prabowo Subianto. Hinaan mendominasi politik kita, isu lebih penting dari pada sebuah ide, gagasan dan track record pengabdian si paslon untuk negara ini, memang perlu diakui bahwa model kampanye negatif demikian juga pernah dan hampir terjadi di setiap kontestasi Pemilu Indonesia mulai dari 1955 antara pendukung PNI, PKI dan Masyumi lalu 1998 antara pendukung PDIP, PPP dan Golkar hingga kini.
Dan kini menjelang Pemilu Serentak 2024, alih-alih memperbaiki atau meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia dengan memenuhi nya oleh ide dan gagasan justru kehadiran sebagian nama yang digadang bakal calon presiden seolah mewakili setiap kebencian dan kemarahan kelompok tertentu hal ini mengafirmasi atas apa yang dikatakan oleh Politisi, Fahri Hamzah di dalam sebuah video yang beredar di media sosial. Anggaplah kehadiran Anies R. Baswedan di dalam kontestasi Pemilu 2024 mendatang mengakomodir kemarahan kelompok Islam yang awalnya mendukung Prabowo Subianto di Pemilu 2019 dan merasa kecewa atas pilihan Prabowo yang memutuskan untuk bergabung ke dalam Kabinet Presiden Joko Widodo, atau Ganjar Pranowo yang hadir dan seolah mengakomodir kemarahan kelompok kiri di Indonesia yang juga memiliki sentimen atas Anies Baswedan.
ADVERTISEMENT

Politik Identitas dan Identitas Politik

Serupa tapi tak sama, pembahasan politik identitas amatlah melekat di setiap datangnya kontestasi pemilu di Indonesia, berdasarkan literatur yang bisa didapatkan dalam studi Ilmu Politik ada sebuah perbedaan tajam antara politik identitas atau identitas politik. Seperti yang dijelaskan oleh Dian Permata, Peneliti Senior Founding Fathers House (FFH) bahwa identitas politik adalah sebuah konstruksi yang menentukan posisi pemilik kepentingan di dalam sebuah ikatan, komunitas, suku, ras atau agama sedangkan politik identitas condong kepada pengorganisasian sebuah identitas di mana identitas menjadi sebagai alat/sarana, lagi menurut Donald L. Morowitz (1999) seorang pakar politik dari Universitas Duke memberikan definisi politik identitas sebagai sebuah garis tegas atas siapa saja yang akan diakomodir dan yang akan ditolak.
ADVERTISEMENT
Padahal, politik identitas bisa menjadi sebuah kekuatan positif bagi pasangan calon tertentu dan ini dikarenakan Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak suku, ras, agama dan budaya berbeda-beda itu bisa menjadi penguat dan benteng atas kebudayaan masing-masing suku apabila dimaknai dan diaplikasikan sebagaimana harusnya. Namun, di dalam bingkai Pemilu politik identitas hanya dimaknai sebagai alat serang dan bertahan yang menyebabkan adanya perpecahan antar anak bangsa, sehingga suka atau tidak saat ini politik identitas merupakan suatu hal yang paling dihindari mayoritas masyarakat Indonesia.
Dalam essai sebelumnya yang sudah dijadikan jurnal, penulis membahas mengenai Politik Identitas yang menghasilkan diksi radikalisme, terrorisme dan perlakuan diskriminasi rasial atas suku, ras atau agama tertentu. Kelompok-kelompok yang menggunakan politik identitas kerap menarasikan sebuah revolusi, dan apa yang terjadi saat ini antara politik identitas, revolusi bahkan radikalisme kerap disematkan hanya kepada salah satu atau beberapa kelompok masyarakat saja. Padahal, menurut Soe Hok Gie barangsiapa yang mengibarkan bendera Revolusioner akan memperoleh pasaran di kalangan kaum radikal, mereka menunggu dengan tidak sabar atas perubahan yang mereka harapkan dan mereka berasal dari segala golongan.
ADVERTISEMENT

Sebuah Pengharapan

Terakhir sebagai sebuah harapan atas terwujudnya demokrasi Indonesia yang sehat dan fair, seluruh instrumen harus bekerja sama dan berpikir selaras untuk satu tujuan itu. Dunia akhir-akhir ini ramai membahas potensi terjadinya Perang Dunia Ketiga yang dikhawatirkan meletus akibat serangan yang dilakukan Russia atas Ukraina, selain kekhawatiran atas potensi Perang Dunia Ketiga hampir seluruh negara sibuk membahas atas perkembangan teknologi di masa depan dan kemajuan dunia internet beserta segala ancamannya.
Dan atas hal tersebutlah Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang kuat dan tidak sekadar menjadi bentuk kebencian atau kemarahan kelompok tertentu apalagi sampai terus menerus saling serang antar anak bangsa. Jangan biarkan Ibu Pertiwi bersedih melihat tingkah laku anaknya, Soekarno berkata perjuangannya lebih mudah karena melawan penjajah, perjuangan kita jauh lebih berat karena melawan bangsa sendiri.
ADVERTISEMENT