Konten dari Pengguna

Penerimaan Pengungsi Rohingya di Indonesia: Kewajiban Kemanusiaan dan Hambatan

Ramaldy Krisna
Mahasiswa Paramadina Graduate School of Diplomacy
11 Oktober 2024 21:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ramaldy Krisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perahu Pengungsi Mengarungi Lautan. Sumber: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perahu Pengungsi Mengarungi Lautan. Sumber: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada Kamis (21/3/2024), penolakan terhadap kedatangan pengungsi Rohingya terjadi di Desa Beureugang, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat. Para pengungsi Rohingya yang datang terdiri dari orang tua dan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Kedatangan pengungsi Rohingya ke desa tersebut sesuai dengan rencana pemerintah yang ingin menempatkan mereka di Kompleks Rumah Sakit Jiwa Beureugang. Namun, rencana pemerintah mendapatkan penolakan dari ratusan warga setempat. Dimana warga setempat menolak pengungsi Rohingya di desa mereka guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
ADVERTISEMENT
Kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh Barat termasuk salah satu gelombang kedatangan pengungsi Rohingya yang masuk ke wilayah Indonesia melalui Aceh. Gelombang pengungsi ini dimulai dari 2015 pasca Thailand, Malaysia, dan Indonesia sepakat menerima pengungsi Rohingya sementara waktu. Masyarakat Rohingya mengungsi ke berbagai negara karena telah terjadi krisis kemanusiaan di Myanmar. Krisis tersebut menyebabkan masyarakat Rohingya pergi dari negaranya untuk memperoleh keamanan dan kehidupan yang lebih baik.

Akar Masalah Masyarakat Rohingya Mengungsi

Dalam sejarah, krisis kemanusiaan di Myanmar bermula dari adanya tindakan diskriminatif pemerintah Myanmar terhadap masyarakat Rohingya pada tahun 1962. Dimana pemerintah Myanmar yang dipimpin U Nay Win meluncurkan operasi pengusiran secara paksa terhadap etnis Rohingya yang diikuti dengan aksi-aksi yang sistematis. Dalam konteks ini, aksi tersebut berupa extra judicial killing, penyitaan properti, propaganda anti-Rohingya, pembatasan lapangan kerja, dan larangan praktik beragama.
ADVERTISEMENT
Eksistensi Rohingya kian terhimpit setelah pengesahan Undang-Undang Kewarganegaraan pada tahun 1982. UU tersebut menyebabkan dihapusnya Rohingya dari daftar delapan etnis di Myanmar oleh pemerintah Myanmar. Penghapusan ini menunjukkan Rohingya tidak memperoleh pengakuan secara resmi sebagai salah satu etnis di Myanmar. Hal ini karena pemerintah Myanmar memandang Rohingya sebagai ilegal Bengali. Dalam konteks ini, Rohingya dipandang sebagai imigran ilegal dengan karakteristik seperti budaya dan fisik yang serupa dengan orang Bangladesh.
Aksi kekerasan pemerintah Myanmar terhadap Rohingya semakin meningkat saat memasuki tahun 2000-an. Peningkatan ini dapat dilihat dari aksi persekusi dari pemerintah Myanmar terhadap Rohingya pada tahun 2012. Burmese Rohingya Organization United Kingdom (BROUK) mencatat sekitar 650 orang, 1200 orang hilang, dan lebih dari 80 ribu kehilangan tempat tinggal.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pemerintah Myanmar pada 2015 di bawah kepemimpinan Thein Sein mencabut hak suara masyarakat Rohingya. Pencabutan hak ini merupakan dampak penarikan kartu identitas atau Kartu Putih milik masyarakat Rohingya. Penarikan kartu menyebabkan hilangnya hak warga negara seperti memberikan suara pada pemilihan umum. Hilangnya hak mendorong ratusan ribu masyarakat Rohingya mencari tempat yang lebih aman dengan mengarungi lautan untuk meninggalkan negaranya.

Kewajiban Indonesia terhadap Pengungsi Rohingya

Eksistensi pengungsi Rohingya di kawasan Indonesia telah menimbulkan kontroversi dan pendapat yang saling bertentangan. Ada pendapat bahwa kehadiran pengungsi Rohingya bukan merupakan tanggung jawab Indonesia. Hal ini karena Indonesia termasuk negara yang tidak ikut menandatangani Konvensi Pengungsi (Convention Relating to the Status of Refugees atau Refugees Convention) 1951 dan Protokol Pengungsi (Protocol Relating to the Status of Refugees atau Refugees Protocol) 1967. Ada lebih dari 20 negara yang ikut menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 di dunia, contohnya, Amerika Serikat, Australia, dan Inggris. Penandatanganan ini menyebabkan lebih dari 20 negara tersebut mempunyai kewajiban dalam pemenuhan hak-hak dari para pengungsi.
ADVERTISEMENT
Sementara, pendapat lainnya menyebutkan bahwa Indonesia memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi Rohingya di wilayahnya. Dalam konteks ini, meskipun tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967, Indonesia tetap harus mengizinkan untuk masuk ke wilayahnya. Hal ini karena Indonesia telah menyetujui kesepakatan dengan negara lain seperti Thailand dan Malaysia untuk menerima pengungsi Rohingya secara sementara. Kesepakatan ketiga negara ini terjadi pada 2015 saat penyelenggaraan pertemuan antar Menteri Luar Negeri di Kuala Lumpur, Malaysia.
Kesepakatan Indonesia dengan Thailand dan Malaysia ini mengakibatkan pengungsi Rohingya beramai-ramai ke ketiga negara tersebut. Sebagai respon terhadap gelombang pengungsi, Presiden Joko Widodo pada 31 Desember 2016 telah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri. Eksistensi perpres ini menyebabkan Indonesia dapat menjalin kerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Komisaris Tinggi Urusan Pengungsi dan/atau organisasi internasional.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang mengilhami prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, Indonesia tentu berkomitmen memberikan pertimbangan khusus terkait pengungsi internasional yang berdasarkan prinsip kemanusiaan dan aspirasi HAM dunia. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly saat menerima kunjungan Chief of Mission IOM UN Migration, H.E. Mr. Louis Hoffmann pada 9 Februari 2022 di Kantor Kementerian Hukum dan HAM. Komitmen ini tercermin dari Indonesia yang telah meratifikasi Deklarasi HAM Universal 1948 yang terkandung dalam Pasal 28 Huruf g Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dengan ratifikasi, Indonesia harus memberikan perlindungan kepada para pengungsi selama menetap di wilayahnya. Indonesia dilarang menolak atau mengembalikan para pengungsi karena adanya prinsip non-refoulement. Prinsip ini mewajibkan tiap negara menerima, menyediakan tempat, melindungi, melayani, dan melarang untuk menolak kedatangan mereka meski tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.
ADVERTISEMENT

Hambatan Indonesia dalam Penerimaan Pengungsi Rohingya

Pertama, adanya kecemburuan sosial dari warga setempat terhadap pengungsi Rohingya. Kecemburuan ini terjadi ketika pemerintah Indonesia lebih memperhatikan para pengungsi daripada warga setempat. Sehingga, hal ini mengakibatkan warga setempat merasa diperlakukan secara tidak adil.
Kedua, tidak semua tempat/shelter dapat menerima pengungsi. Hal ini karena adanya peningkatan jumlah pengungsi secara signifikan. UNHCR pada Juli 2023 melaporkan lebih dari 800 pengungsi Rohingya menetap di Indonesia. Angka ini meningkat menjadi 2063 pengungsi pada Desember 2023. Peningkatan ini menyebabkan tidak semua tempat/shelter mampu menampung pengungsi.
Pada akhirnya, hambatan yang dihadapi Indonesia harus segera ditangani karena adanya keharusan Indonesia dalam menerima pengungsi Rohingya secara sementara. Meskipun tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, Indonesia wajib menerima pengungsi Rohingya karena telah meratifikasi Deklarasi HAM Universal yang termuat dalam UUD 1945. Dengan demikian, Indonesia tidak bisa menolak atau mengembalikan para pengungsi ke lautan.
ADVERTISEMENT