Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
PAN: Antara Ambisi Amandemen UUD 1945, PPHN, dan Ibu Kota Baru Jokowi
2 September 2021 13:18 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Randy Davrian Imansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bergabungnya PAN pada koalisi pemerintah selain membuat oposisi menjadi lemah juga menimbulkan praduga terjadinya persekongkolan terkait ambisi amandemen UUD 1945, pemberlakuan PPHN, dan kebijakan presiden Jokowi terkait perpindahan ibukota baru.
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo mengundang seluruh pimpinan partai politik koalisi pemerintah yang memiliki kursi di DPR. Namun menariknya, PAN yang dilihat publik sebagai partai politik oposisi ikut menghadiri acara tersebut. Waketum DPP PAN, Viva Yoga, menjelaskan bahwa PAN sudah menjadi bagian dari partai koalisi pemerintah.
"PAN sejak kepemimpinan Ketum Zulkifli Hasan telah menegaskan sebagai partai politik pendukung pemerintah, ikut sebagai partai koalisi," kata Viva Yoga seperti yang diwartakan Tribunnews.com.
"Tadi Ketua umum PAN Zulkifli Hasan didampingi Sekjen Eddy Soeparno hadir di Istana, bertemu dengan partai koalisi bersama Presiden Jokowi. Hadir sebagai partai koalisi pendukung pemerintah," kata kata Viva Yoga seperti yang diwartakan republika.co.id.
Zulhas Effect
Bergabungnya PAN ke koalisi pemerintah sangat dipengaruhi oleh sosok Zulkifli Hasan sebagai pengambil keputusan kaki PAN berpijak sebagai ketua umum PAN. Selain hal tersebut Zulhas merupakan Ketua MPR periode 2014–2019, hal tersebut sangat berpengaruh di tengah isu saat ini yaitu adanya rencana dilakukannya amandemen dan pemberlakuan kembali GBHN.
ADVERTISEMENT
Pada saat Zulhas menjadi ketua MPR periode 2014 – 2019 ia menitipkan amandemen UUD 1945 dan pemberlakuan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk dibahas di periode depan yaitu 2019 – 2024.
Dan saat ini isu tersebut sedang berkembang dan posisi Zulkifli Hasan sebagai wakil ketua MPR periode 2019 – 2024, sangat strategis untuk Zulhas bersama PAN melanjutkan kembali pr yang ia titipkan ke MPR periode saat ini.
Bergabungnya PAN ke koalisi pemerintah akan membawa pengaruh terhadap mulusnya pemindahan ibu kota baru yang masih menimbulkan pro-kontra. Politisi PDIP, Ahmad Basarah, menjelaskan bahwa kebijakan pemindahan ibu kota baru harus didukung melalui Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang menjadi nama lain dari GBHN untuk menjamin kebijakan tersebut akan dilanjutkan oleh pemerintahan selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Proyeksi Kekuatan Koalisi Pemerintah Melakukan Amandemen UUD 1945
Apa yang disampaikan oleh Ahmad Basarah dimaksudkan bahwa pembentukan PPHN akan ditetapkan oleh MPR melalui TAP MPR. Posisi TAP MPR pada hierarki peraturan perundang-undangan berada di posisi kedua di bawah UUD 1945 dan di atas UU atau Perppu.
Hal tersebut sangat menguatkan posisi Presiden Jokowi dan mendukung ambisinya untuk mendapatkan jaminan proses pembangunan pemindahan ibu kota baru tetap terwujud.
Persyaratan dari dilakukannya amandemen sudah diatur pada pasal 37 UUD 1945. Untuk mengamankan kepentingan politik maka pasal 37 ayat 1 dan ayat 2 harus menjadi perhatian. Karena pada ayat tersebut kekuatan kepentingan dapat ditentukan siapa pemenangnya.
Pasal 37 ayat 1 diatur bahwa untuk mengagendakan sidang MPR yang bertujuan mengamandemen UUD 1945 diperlukan pengajuan oleh 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan pada pasal 37 ayat 3 diatur bahwa untuk melakukan perubahan pasal di UUD 1945 harus dihadiri 2/3 anggota MPR.
ADVERTISEMENT
Peta kekuatan di MPR termasuk di DPR dan DPD sangat mempengaruhi keputusan untuk dilakukan amandemen UUD 1945. Sebelumnya, kekuatan koalisi pemerintah pasca pemilu 2019 di DPR berjumlah 60,7% sedangkan kekuatan oposisi berjumlah 39,3%.
Lalu, Jokowi menggandeng partai Gerindra untuk bergabung ke kabinet yang menjadikan kekuatan koalisi pemerintah menjadi lebih kuat dengan persentase 74,3% sedangkan kekuatan oposisi berkurang dengan menyisakan 25,7%.
Kini, koalisi pemerintah di DPR dengan ditambah PAN bergabung memiliki kekuatan 81,9% atau 471 anggota DPR dari 7 partai politik. Oposisi di DPR hanya menyisakan dua partai politik yaitu partai Demokrat dan PKS dengan persentase 18,1%.
Apabila mengacu dari persyaratan amandemen UUD 1945 dan kekuatan koalisi pemerintah yang dijelaskan tersebut bahwa anggota MPR memiliki total 711 anggota. Sedangkan koalisi pemerintah saat ini dengan tambahan kekuatan bergabungnya PAN memiliki 471 anggota.
ADVERTISEMENT
Dengan persyaratan untuk dapat mengagendakan amandemen UUD 1945 diajukan 1/3 anggota MPR yang berarti minimal harus diajukan oleh 237 anggota. Angka ini sudah dikantongi koalisi pemerintah untuk mengajukan amandemen UUD 1945.
Sedangkan persyaratan harus dihadiri 2/3 anggota MPR untuk mengamandemen pasal di UUD 1945 yang berarti minimal harus dihadiri oleh 474 anggota. Untuk mencapai angka tersebut koalisi pemerinah hanya tinggal membutuhkan tiga anggota lagi dari unsur DPD atau Partai Demokrat atau PKS apabila terdapat anggota partai tersebut “berkhianat” mendukung koalisi pemerintah.
Apabila diulas kembali bahwa koalisi pemerintah dan presiden Jokowi akan saling membutuhkan dengan adanya amandemen UUD 1945, pemberlakuan PPHN, dan rencana pembangunan ibu kota baru. Hal ini dapat berindikasi adanya pertemuan pimpinan tujuh partai politik yang memiliki kursi di DPR ke istana oleh Jokowi untuk membahas hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Indikasi Potensi Dampak Lainnya
Masyarakat perlu terus mengawasi gerak-gerik pemerintah dan DPR terkait rencana amandemen UUD 1945 dan pemberlakuan PPHN. Karena hal tersebut dapat merembet dengan berpengaruh terhadap system pemerintahan Indonesia lebih identik berubah menjadi system parlementer dengan peran MPR yang lebih menentukan dan mendominasi.
Selain indikasi tersebut penerapan kepemiluan di Indonesia dapat berpengaruh yang awalnya dilakukan pemilihan presiden secara langsung dapat berindikasi berubah pemilihan presiden ditentukan melalui MPR. Hal tersebut karena dengan pemberlakuan PPHN presiden akan bekerja sesuai dengan PPHN bukan berdasarkan janji politiknya pada saat kampanye.
Berarti janji politik presiden terpilih tidak akan berpengaruh untuk menjalankan pemerintahannya dan pemilu sudah tidak efektif sebagai penentu dalam menimbang janji kampanye presiden.
ADVERTISEMENT
Dampaknya presiden hanya sebagai mandataris MPR untuk menjalankan PPHN bukan untuk menjalankan janji politiknya kepada rakyat. Karena pemilu tidak efektif bagi janji kampanye bukan tidak mungkin suatu saat pemilihan presiden dialihkan untuk ditentukan oleh MPR.