Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Ali & Ratu-Ratu Queens: Antara Impian, Keluarga, dan Gender Gap
Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN. Fokus kajiannya antara lain kajian media dan budaya pop. Email: [email protected].
5 Juli 2021 20:34 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:55 WIB
Tulisan dari Ranny Rastati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Ranny Rastati (Peneliti LIPI)
Ali & Ratu-Ratu Queens (2021) adalah film Indonesia yang rilis pada Juni 2021 di Netflix. Disutradarai oleh Lucky Kuswandi, film Ali & Ratu-Ratu Queens mengangkat kisah Ali (Iqbaal Ramadan) yang pergi ke New York mencari ibunya, Mia (Marissa Anita). Mia meninggalkan suaminya, Hasan (Ibnu Jamil), dan Ali demi mengejar cita-cita menjadi penyanyi di Amerika. Sebuah harapan dalam mengejar “American dream”.
ADVERTISEMENT
Dengan berat hati, Hasan dan Ali kecil melepas Mia pergi. Satu hal yang membekas dalam adegan ini adalah tatapan mata Hasan kepada Mia saat mengantarnya ke taksi. Tatapan itu sukses mewakili seluruh rasa yang ingin disampaikan. Tatapan seorang suami yang sedih namun berusaha tegar.
Kepada Hasan, Mia berjanji akan kembali setelah enam bulan jika perjuangannya tidak membawa hasil. Namun, Mia ingkar. Mia masih ingin berjuang dan berusaha menggapai impian besarnya. Suaranya bergetar antara penuh harap sekaligus takut saat ingin mencoba peruntungan sekali lagi.
Namun, Hasan marah. Ia tidak dapat menerima hal itu. Baginya, apa lagi yang Mia cari? Sebab segalanya sudah ada di sini, di rumah, di Indonesia. Bagi Hasan, Mia telah menjadi istri dan ibu yang baik. Dan itu sudah cukup.
ADVERTISEMENT
Menjadi Perempuan
Ibu dan istri. Dua kata ini adalah senjata pamungkas untuk melabeli perempuan dan perannya di dunia. Hidup perempuan itu dianggap sempurna jika ia sudah menikah dan memiliki anak. Seolah-olah seluruh dunia sudah dalam genggaman. Kalau sudah menjadi istri dan ibu, mengapa masih menginginkan hal lain?
Hal ini lah yang menjadi kegundahan Mia selama tahun-tahun perkawinannya. Ia tidak bahagia. Ia merasa hidupnya dikekang. Terkadang (atau bahkan sering), orang-orang lupa bahwa selain menjadi seorang istri dan ibu, perempuan sejatinya masih memiliki identitasnya sendiri, yaitu “aku”. Selain menjadi seorang istri dan ibu, Mia juga masih memiliki identitasnya sendiri. Ia masih memiliki impian, keinginan, dan harapan yang ingin dicapai. Selain identitas sosialnya sebagai istrinya Hasan dan ibunya Ali, Mia sejatinya ingin dikenal sebagai dirinya sendiri (identitas personal). Keinginan mengktualisasi diri ini kemudian membuat Mia nekat berangkat ke New York dan meninggalkan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari film Ali & Ratu-Ratu Queens, membuat saya kembali dalam perenungan lama. Mengapa ketika seorang perempuan pergi untuk meraih impiannya, entah itu pendidikan atau profesi, ia kerap diikat oleh "baggage" atau bagasinya masing-masing. Sebut saja, seorang perempuan (yang sudah berkeluarga dan memiliki anak), jika ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri maka otomatis akan dihadapkan oleh dua pilihan. Turut membawa bagasi (yang dalam hal ini adalah suami dan anak) bersamanya atau meninggalkan bagasi itu di rumah.
Dua pilihan ini tentu memiliki konsekuensi masing-masing. Jika perempuan memilih membawa bagasinya, maka ia akan dianggap menghambat karier suami. Sebab, konsekuensi dari suami yang mendampingi istri kuliah adalah menjadi bapak rumah tangga. Dengan kata lain, pilihan ini dianggap menghancurkan karier suami yang sudah dibangun sejak lama. Di lain sisi, jika perempuan memutuskan untuk meninggalkan bagasi itu di rumah, maka ia dicap egois karena mementingkan dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, dalam film Ali & Ratu-Ratu Queens, Mia digambarkan gagal dalam mewujudkan impiannya. Lebih apes lagi, Mia diceraikan oleh Hasan dan dipisahkan dari Ali. Puluhan suratnya tidak pernah dibalas. Tiket pesawat untuk Hasan dan Ali pun dibiarkan begitu saja. Kenyataan inilah yang membuat Ali menyusul Mia ke Amerika karena Ali percaya ia tidak ditinggalkan begitu saja.
Laki-Laki dan Cita-Cita
Dalam film, kepergian Ali ke luar negeri digambarkan begitu mudah. Meskipun penuh dengan tentangan keluarga besar, Ali tetap teguh berangkat ke New York demi mencari Mia. Tidak ada bagasi yang perlu dibawa. Bude yang awalnya menentang pun pada akhirnya luluh dan merestui kepergian Ali.
Dalam masyarakat, laki-laki cenderung memiliki kemudahan dan privilege untuk meninggalkan keluarga demi mengejar impian atau kehidupan yang lebih layak. Tidak banyak stigma untuk istri yang ditinggal suami untuk pergi merantau. Pun sang istri memutuskan untuk ikut, maka tak ada tekanan publik karena menjadi ibu rumah tangga adalah hal yang lumrah.
ADVERTISEMENT
Berbeda nasib dengan Mia, Ali berhasil dalam lompatan pertama. Ali dengan mudah mendapat visa Amerika meskipun hanya bermodal 2.000 dolar hasil mengontrakkan rumah peninggalan Hasan. Dengan mudah pula Ali ditampung dan tinggal dengan nyaman oleh para tante di Queens. Kemudian, menemukan tambatan hati, mendapat beasiswa, dan akhirnya memperoleh pengakuan dari Mia yang di akhir film digambarkan sedang menceritakan masa lalunya kepada sang suami.
Dalam film ini, dengan gamblang diperlihatkan betapa mudahnya bagi laki-laki untuk meraih cita-cita. Namun di sisi lain, betapa kompleksnya bagi perempuan untuk "sekadar" meraih mimpi. Selain berhasil membawa isu gender gap, film Ali & Ratu-Ratu Queens juga menyuguhkan sisi humanis dari setiap karakternya. Penggambaran karakter yang begitu rill sehingga membuat kita menyadari bahwa hidup tidak sekadar hitam dan putih.
ADVERTISEMENT