Konten dari Pengguna

Predator Yang Bersembunyi Di Balik Topeng Pendidik

Aidah Radhwa Nour Amany
Lulusan Mass Communication UCSI University Kuala Lumpur
3 Oktober 2024 13:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aidah Radhwa Nour Amany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tahun 2024 ini, Indonesia kembali diguncang oleh kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang guru di Gorontalo dan seorang muridnya. Kasus ini mencuat setelah video asusila yang memperlihatkan keduanya tersebar luas di media sosial. Ironisnya, beberapa pemberitaan menggambarkan kejadian ini sebagai "hubungan suka sama suka," meskipun jelas-jelas ini adalah kasus kekerasan seksual yang disertai manipulasi dan relasi kuasa antara pelaku dan korban.
ADVERTISEMENT
Polisi segera bertindak dengan menyelidiki kasus ini, dan DH (57), guru yang terlibat dalam video tersebut, ditetapkan sebagai tersangka. Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa tersangka telah mendekati korban yang masih di bawah umur sejak tahun 2022, dengan cara membantu tugas sekolah dan memberi perhatian lebih. Korban yang merasa nyaman akhirnya terjerat dalam hubungan yang disalahgunakan oleh tersangka. Kasus ini adalah contoh dari "grooming," suatu taktik manipulatif di mana pelaku membangun kepercayaan dan hubungan emosional dengan korban untuk tujuan eksploitasi seksual.
Sebuah laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2024 mengungkapkan bahwa dari 1.800 pengaduan terkait Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Perlindungan Khusus Anak (PKA), hampir 60 persen adalah kasus kekerasan seksual, yang meningkat drastis dalam 1 tahun terakhir. Dari jumlah tersebut, lebih dari 100 kasus melibatkan tenaga pendidik, menjadikannya kategori tertinggi dalam klaster PKA. Stigma sosial, ketakutan, serta minimnya pemahaman masyarakat terhadap kekerasan seksual menjadi penghalang utama. Mengapa kekerasan seksual di lingkungan sekolah terus terjadi, dan bagaimana dampak psikologis serta sosial yang dialami oleh para korban? Perlu ditegaskan bahwa tulisan ini tidak bertujuan untuk mendiskreditkan profesi guru secara keseluruhan. Guru adalah sosok yang dihormati dan dipercaya, dan hanya segelintir oknum yang menyalahgunakan posisi ini.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kasus ini tidak dapat digeneralisasi untuk menilai semua guru. Namun, di tangan yang salah, otoritas seorang guru dapat menjadi alat manipulasi dan eksploitasi. Dalam konteks ini, istilah "grooming" menjadi sangat relevan. Grooming adalah proses di mana pelaku membangun hubungan kepercayaan dan keterikatan emosional dengan seorang anak untuk tujuan mengeksploitasi mereka secara seksual. Penelitian dalam jurnal Child Abuse Review (2021) menunjukkan bahwa pelaku sering memperdaya korban dengan kasih sayang dan perhatian yang pada awalnya terlihat tulus, tetapi sebenarnya adalah bagian dari strategi manipulatif yang dirancang untuk mempersiapkan mereka menjadi korban kekerasan seksual. Anak-anak sering tidak menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi. Mereka mungkin merasa "istimewa" karena mendapatkan perhatian lebih dari guru mereka. Namun, di balik perhatian itu tersembunyi niat jahat. Manipulasi emosional yang dilakukan oleh guru tersebut dapat membuat murid terikat secara emosional, merasa tidak mampu melawan, dan bahkan merasa bersalah atau takut untuk melaporkan tindakan itu. Pada akhirnya, korban terperangkap dalam perasaan kebingungan dan ketidakberdayaan. Dampak Psikologis dan Trauma yang Berkepanjangan Kekerasan seksual meninggalkan luka mendalam yang memengaruhi kondisi psikologis korban. Selain rasa malu dan takut, trauma yang diakibatkan oleh kekerasan seksual dapat berkembang menjadi masalah psikologis serius, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian oleh Journal of Interpersonal Violence (2020) menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat cenderung mengalami gangguan emosional yang berkelanjutan, termasuk perasaan tidak berharga, isolasi sosial, hingga kesulitan menjalin hubungan sehat di masa dewasa. Jika trauma ini tidak segera ditangani, korban berisiko mengulang pola yang sama di kemudian hari, baik sebagai korban maupun pelaku. Fenomena ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, di mana korban kekerasan seksual di masa kecil dapat berkembang menjadi pelaku ketika mereka dewasa.
Kompleksitas masalah ini menunjukkan pentingnya intervensi dini dan konseling trauma yang efektif. Ketimpangan Akses Informasi dan Pendidikan Seksual Kasus kekerasan seksual oleh guru terhadap murid tidak hanya terjadi di perkotaan, tetapi juga di daerah terpencil yang minim akses informasi. Kurangnya pendidikan seksual yang komprehensif di sekolah dan masyarakat membuat anak-anak tidak memiliki pemahaman tentang batasan fisik dan perilaku yang pantas. Seksualitas masih menjadi topik tabu di banyak wilayah Indonesia, sehingga anak-anak tidak dibekali dengan pengetahuan untuk melindungi diri. Ketika mereka menjadi korban, banyak yang merasa bingung dan takut untuk berbicara karena kurangnya dukungan dan pemahaman dari lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Edukasi yang komprehensif
Menurut Plan Indonesia (2021), hanya 36% anak di Indonesia yang mendapatkan pendidikan seksual yang memadai di sekolah. Di sisi lain, guru yang menjadi pelaku sering kali bersembunyi di balik citra baik dan status sosial mereka sebagai pendidik, memperkuat impunitas dan memungkinkan pola pelecehan seksual berulang tanpa sanksi tegas.
Pelecehan seksual oleh guru terhadap murid adalah fenomena kompleks yang tidak bisa diselesaikan dengan langkah sederhana. Namun, sejumlah kebijakan dan inisiatif baru telah diambil untuk menangani masalah ini. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, telah memperkenalkan Sistem Informasi Pengaduan Kekerasan Sekolah (SIKKS) yang memungkinkan siswa, orang tua, dan masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Selain itu, upaya advokasi oleh lembaga-lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan LSM seperti Plan Indonesia terus mendorong pemberlakuan kebijakan perlindungan anak yang lebih kuat di sekolah-sekolah.
ADVERTISEMENT
Edukasi seksual yang komprehensif juga menjadi komponen kunci untuk mencegah pelecehan seksual. Program ini tidak hanya berfokus pada pengajaran tentang seksualitas, tetapi juga menanamkan pemahaman mengenai batasan fisik yang sehat dan hak anak-anak untuk melindungi diri dari kekerasan. Inisiatif ini mulai diterapkan di beberapa sekolah di Indonesia, namun masih banyak yang belum mendapatkan akses yang cukup terhadap program semacam ini, terutama di daerah terpencil.
Selain itu, langkah penting lainnya adalah memberikan akses lebih besar kepada korban untuk mendapatkan konseling trauma dan dukungan psikologis. Dengan intervensi dini, diharapkan korban dapat pulih dari luka emosional yang dialaminya dan menghindari risiko mengulangi pola kekerasan yang sama di masa depan. Layanan ini juga harus disertai dengan perlindungan hukum yang kuat untuk memastikan bahwa pelaku kekerasan seksual, termasuk mereka yang berada dalam posisi otoritas seperti guru, mendapatkan sanksi yang tegas dan tidak luput dari hukuman.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Kasus kekerasan seksual oleh guru terhadap murid menyoroti masalah mendalam dalam sistem pendidikan dan perlindungan anak di Indonesia. Meskipun ada peningkatan kesadaran dan langkah-langkah kebijakan baru, tantangan dalam penanganan kekerasan seksual di sekolah masih sangat besar. Perlunya edukasi seksual yang
Ilustrasi untuk stop kekerasan seksual pada anak (Sumber: https://pixabay.com/id/images/)
komprehensif, kebijakan perlindungan yang lebih kuat, dan akses layanan dukungan psikologis menjadi prioritas dalam upaya memutus lingkaran setan kekerasan seksual ini. Setiap pihak, mulai dari keluarga, sekolah, hingga pemerintah, harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi generasi muda dan melindungi mereka dari predator yang bersembunyi di balik topeng pendidik.