Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Tiga Stereotype Yang Salah Tentang Bahasa Arab
1 Januari 2018 15:15 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Rasyid Mufti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bahasa Arab adalah salah satu bahasa tertua di dunia. Pengaruhnya yang sangat besar pada peradaban umat manusia di muka bumi ini membuatnya menjadi salah satu bahasa terpenting di dunia. Sayang sekali, seiring dengan perkembangan zaman ada banyak sekali stereotype yang salah tentang bahasa Arab yang dipercayai oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, beberapa di antaranya adalah:
ADVERTISEMENT
1. Teks berbahasa Arab = teks ayat suci
Masih ingatkah Anda saat Agnes Mo memakai gaun bertuliskan huruf Arab? Gaun bertuliskan kata المتحدة ini sempat menuai kontroversi karena banyak yang menuding sebagai pelecehan terhadap ayat suci. Padahal bunyi kata tersebut adalah “al-muttahidah” (persatuan) yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ayat suci. Bahkan saking sakralnya teks Arab, saya pernah mendengar kisah tentang beberapa jamaah asal Indonesia di tanah suci yang memunguti lembaran surat kabar berbahasa Arab yang tercecer di jalan karena mengira kertas tersebut adalah ayat suci. Terlepas dari benarnya kisah ini, kita harus bisa menempatkan teks Arab tak hanya sebagai media keagamaan saja tapi juga sebagai media litarasi sebagaimana teks bahasa lainnya.
ADVERTISEMENT
2. Lagu berbahasa Arab= lagu religi
Bagaimanapun bahasa Arab tidak bisa melawan kodratnya sebagai sebuah bahasa yang berperan sebagai media komunikasi, seni, dan budaya. Lagu berbahasa Arab sebagai wujud produk seni pun tidak selamanya bermakna sholawat dan doa-doa. Kebanyakan lagu berbahasa Arab malah berisi tentang percintaan, romansa, dan tema-tema lain yang tak ada kaitannya dengan agama. Bahkan lagu-lagu kasidah seperti Magadir dan Habibi Ya Nurul Aini yang selama ini sering diputar di acara hajatan dan pengajian sama sekali tidak mengandung isi yang agamis. Saya sarankan anda untuk menonton video klip lagu-lagu Arab modern seperti Nancy Ajram dan Haifa Wehbi. Semoga anda tidak akan tekejut melihat bagaimana style yang dibawakan oleh para penyanyi tersebut.
ADVERTISEMENT
3. Dalam bahasa Arab, huruf P berubah menjadi F.
Viral meme "Fitsa Hats" tahun lalu menggelitik saya untuk meneliti bagaimana fenomena “language bullying” ini bisa terjadi. Huruf P memang tidak ada dalam bahasa Arab. Namun perlu anda ketahui bahwa stereotype bahwa dalam bahasa Arab huruf P berubah F itu salah besar! Orang Arab tidak ada yang menyebut Pizza sebagai Fitsa, Pepsi sebagai Fefsi, atau Japan sebagai Jafan. Mereka justru menggunakan huruf B sebagai pengganti P. Sehingga yang benara adalah Bitsa, Bibsi, dan Yaban. Entah bagaimana kesalahan alih bahasa ini bisa terjadi. Usut punya usut ternyata ini tidak lepas dari pengaruh stereotyping yang dilakukan oleh media hiburan beberapa dekade silam. Masih ingatkah anda dengan Wan Abud, salah satu komedian yang popoluer di tahun 90-an? Dalam film dan sinetron komedi yang dibintanginya (kebanyakan bersama Warkop DKI) ia selalu berperan sebagai tokoh keturunan Arab yang selalu mengganti huruf P menjadi F hingga is sering mengatakan “Afa? Kenafa? Kamfret lu!”. Stereotype ini seakan masih Membekas di benak para pemirsa sampai sekarang. Akhirnya saya menarik kesimpulan (saya berusaha obyektif) bahwa terpelesetnya Pizza Hut menjadi Fitsa Hats itu sama sekali bukan kesalahan Habib Novel sebagai keturunan Arab, tapi karena salah ketik yang dilakukan pihak penyidik di kepolisian saat pembuatan BAP. Banyak yang mengatakan bahwa penyidik tersebut adalah orang Sunda. Perlu diketahui bahwa selama ini bahasa Sunda juga mengalami stereotype yang sama dalam pengucapan huruf F dan P.
ADVERTISEMENT
Dari penjelasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa kita harus memposisikan bahasa Arab sebagai suatu bahasa seutuhnya. Semoga tulisan ini bisa mengedukasi masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh mitos dan stereotype yang salah tentang suatu bahasa sehingga dengan mudah turut mem-bully dan memperolok penutur bahasa tersebut.