Konten dari Pengguna

Jawaban Ngawur Hingga Tidak Bisa Membaca, Beginikah Pelajar Sekarang?

Raras
UIN Jakarta. Penulis
6 Oktober 2024 10:19 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raras tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi yang maju dan canggih memudahkan akses informasi lebih terjangkau. Fenomena ini seharusnya menjadi peluang emas untuk meningkatkan tingkat wawasan bagi khalayak khususnya untuk para pelajar dan civitas akademik lainnya seperti guru, dosen, dan peneliti. Teknologi yang semakin mudah seharusnya lebih banyak dipahami oleh kalangan pemuda sebab mereka yang lebih dulu menggunakan gadget sebagai media informasi. Namun sepertinya, hal tersebut terlalu indah jika diekspetasikan kepada para pelajar di tanah air ini.
Gambar 1. Para Siswa di Sekolah | Sumber: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Gambar 1. Para Siswa di Sekolah | Sumber: Pexels
Fenomena ketidaktahuan para pelajar kini semakin banyak ditemukan. Melalui media sosial, para konten kreator (tiktok @dino_wakjess) membuat konten menanyakan pertanyaan tentang pengetahuan umum yang cenderung mudah bagi pelajar, tapi jawaban yang didapatkan sama sekali tidak masuk akal. Seperti ditanyakan tentang negara di Eropa, ada yang menjawab "Garut". Ada lagi pertanyaan "Laut yang memisahkan dua pulau disebut apa?", para pelajar yang ditanya menjawab "Benua". Bahkan pertanyaan yang lebih mudah lagi, "Siapa wakil presiden saat ini?", mereka menjawab "Muhammad Yamin". Pengetahuan sejenis itu seharusnya menjadi hal dasar yang semua orang tahu. Terlepas dari kebutuhan konten hiburan, sepertinya jawaban tersebut semakin menunjukkan bagaimana kualitas pendidikan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tambah mengejutkannya lagi, viralnya video tentang siswa SMP yang ternyata belum bisa membaca. Berbagai faktor menjadi penyebabnya, seperti pandemi Covid-19 yang menurunkan mutu pembelajaran, anak berkebutuhan khusus, dyslexia, kurangnya perhatian orang tua, terbatasnya sumber bacaan dan penggunaan gadget yang berlebihan. Beberapa pihak menyalahkan guru SD yang diduga tidak mengajarkan mereka membaca. Namun, hak tersebut bukanlah tindakan yang bijak, sebab penyebabnya perlu dilihat dari berbagai faktor secara komperhensif. Membingungkannya lagi, Indonesia berada di peringkat keempat pengguna aktif internet tetapi ternyata banyak pelajar yang belum bisa membaca. Perlu dipertanyakan, apa yang mereka lakukan selama berselancar di internet tetapi tidak bisa membaca?
Baru-baru ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim mengklaim bahwa transformasi pendidikan dalam payung "Merdeka Belajar" telah menjadi kunci meningkatnya kualitas pendidikan Indonesia. Sistem ini tidak lagi menyibukkan para guru dalam kegiatan administrasi dan hanya fokus kepada pembelajaran yang menyenangkan menggunakan teknologi. Tentu kurikulum ini tidak berjalan lancar, masih banyak daerah yang tidak terjangkau dengan dukungan internet, belum lagi para guru yang masih gagap teknologi sehingga mereka perlu belajar untuk menyampaikan materi kepada para siswa, ada lagi faktor finansial yang para siswanya belum tentu memiliki gadget yang mumpuni untuk digunakan belajar secara menyeluruh dan kompeten. Bagaimana bisa Mendikbud menilai bahwa pendidikan Indonesia meningkat kualitasnya sedangkan pengetahuan umum saja banyak yang masih tidak tahu dan pelajar tingkat SMP tidak bisa membaca?
ADVERTISEMENT
Melihat fenomena diatas, semakin mendalam pertanyaan saya terkait masa depan Indonesia sementara banyak pelajar yang jauh dari kata 'berhasil'. Tidak bisa lagi menyalahkan guru saja karena penyebabnya juga kompleks. Bukan hanya guru lagi yang kurang, tapi seluruh elemen mulai dari kebijakannya, lingkungannya, peran orang tua hingga fasilitas. Sudah sebaiknya kita sadar akan pentingnya perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia yang dimulai dari pendidikan pra-sekolah hingga pendidikan tinggi.