Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Deflasi Lima Bulan Beruntun, Sinyal Apa?
10 Oktober 2024 11:22 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Ravi Choirul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perekonomian Indonesia terindikasi sedang mengalami gejolak, ditandai dengan deflasi lima bulan secara berturut-turut—pertama kali sejak 1999. Presiden RI sendiri sudah buka suara terkait dengan kondisi ini. Namun, mungkin sesuai ekspektasi kita, respon Jokowi terhadap kondisi negara seringkali adalah kaget atau tidak tahu. Pada kesempatan tersebut, Jokowi justru meminta untuk dicek betul penyebab deflasi ini—hal yang seharusnya beliau sudah tahu dan bisa menjelaskan kepada khalayak.
ADVERTISEMENT
Memahami situasi ekonomi saat ini memerlukan pemahaman yang baik terhadap deflasi—maupun inflasi—itu sendiri sehingga kita bisa memahami realitas ekonomi secara lebih jernih.
Katanya Deflasi, Kok Masih Ada Harga Barang Yang Naik?
Term inflasi sering diidentifikasi sebagai suatu kenaikan harga, nggak salah. Namun, apakah setiap kenaikan harga dapat disebut inflasi? Jawabannya adalah tidak. Kenaikan harga baru dapat disebut sebagai inflasi apabila kenaikan terjadi pada barang/jasa secara umum dan secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Jadi, kenaikan harga satu atau dua barang saja tidak bisa disebut sebagai inflasi. Kebalikan dari inflasi ini adalah deflasi, di mana harga barang/jasa secara umum mengalami penurunan.
Lalu, bagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) dapat menentukan apakah perubahan harga terjadi secara umum? Tentunya BPS memerlukan sample dari barang-barang tertentu. Barang-barang tertentu ini dipilih berdasarkan apa yang mencerminkan pola konsumsi masyarakat, yang kemudian dimasukkan ke dalam keranjang barang atau basket of goods. Isi keranjang ini dapat berubah seiring perubahan pola konsumsi, misalnya saat ini mesin ketik sudah tidak lagi dipilih karena pergeseran pola belanja ke laptop/komputer.
ADVERTISEMENT
Perubahan harga menyeluruh pada barang/jasa dalam basket inilah yang nantinya akan dipakai untuk menyimpulkan apakah sedang terjadi inflasi atau deflasi secara umum. Artinya, saat terjadi inflasi/deflasi secara umum, bukan berarti semua harga naik atau turun.
Harga Berubah, Gara-Gara Apasih?
Kita perlu memahami mengapa harga dapat berubah. Utamanya, perubahan harga dipengaruhi oleh faktor penawaran (supply side) dan permintaan (demand side).
Dari sisi supply, yang pertama, inflasi dapat terjadi karena naiknya biaya produksi—tentu. Untuk barang impor, kenaikan harga dapat terjadi akibat pelemahan rupiah. Misalnya, ketika dolar naik, harga yang harus dibayar untuk mengimpor gandum dalam jumlah yang sama akan lebih mahal sehingga nantinya harus dijual pula dengan harga lebih tinggi agar tidak rugi.
ADVERTISEMENT
Kenaikan harga juga dapat terjadi akibat penurunan jumlah barang yang bisa dijual. Apalagi, di saat yang bersamaan kebutuhan masyarakat terhadap barang tersebut tetap sama atau bahkan naik. Penjual dapat memanfaatkan situasi ini untuk menaikkan harga, karena toh tetap akan ada yang beli. Analogi sederhananya adalah ketika para fans K-Pop berebut untuk membeli merchandise limited edition, harga merchandise ini dapat melejit karena jumlahnya yang terbatas di tengah permintaan para fans.
Analogi tersebut juga dapat menggambarkan dari sisi demand, di mana semakin banyak permintaan dapat meningkatkan harga. Analogi lainnya bisa kita lihat pada case batu akik. Batu yang sempat nge-trend ini pernah mencapai harga jual yang tinggi karena banyaknya orang yang minat. Sementara saat ini—ketika tren sudah pudar—harga batu akik tentunya sudah turun karena minta beli orang nggak lagi tinggi. Analogi ini dapat menjelaskan mengapa harga daging selalu naik saat lebaran, yang mana permintaan masyarakat terhadap daging tentunya meningkat dan vice versa, harga daging biasanya turun setelah masa lebaran karena permintaan daging sudah mulai turun juga.
ADVERTISEMENT
Sisi demand sendiri banyak dipengaruhi oleh daya beli masyarakat. Ketika penghasilan masyarakat meningkat misalnya, tentunya masyarakat dapat belanja lebih banyak. Sebaliknya, penurunan penghasilan, atau bahkan banyaknya PHK, akan membuat daya beli masyarakat turun sehingga harga barang mau tidak mau akan ikut turun supaya lebih laku terjual.
Memahami Disagregasi Inflasi
Sebelum memahami situasi deflasi saat ini lebih lanjut, kita perlu juga memahami disagregasi inflasi terlebih dahulu. Disagregasi inflasi merupakan pengelompokan inflasi berdasarkan karakteristik faktor yang memengaruhinya. Pengelompokan pertama yaitu inflasi inti—misalnya: mobil, handphone, dan pakaian—yang mana pergerakan harga cenderung lebih stabil karena tidak banyak faktor eksternal yang memengaruhi. Misalnya, harga mobil atau pakaian tidak akan terpengaruh ketika cuaca buruk atau adanya tensi geopolitik luar negeri.
ADVERTISEMENT
Sementara inflasi non inti, cenderung lebih bergejolak karena adanya faktor-faktor eksternal yang lain. Kategori non inti yang pertama yaitu inflasi volatile food (VF)—misalnya cabai dan beras—akan sangat terpengaruh apabila ada shock akibat cuaca buruk atau gagal panen. Sementara kategori satunya lagi yaitu inflasi administered price (AP) yang mana banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah seperti subsidi BBM, penetapan tarif listrik, dsb.
Tiga komponen ini akan diukur masing-masing untuk menentukan apakah komponen ini mengalami inflasi atau deflasi, kemudian akan ditarik secara umum. Bisa saja meskipun secara umum terjadi deflasi, ada komponen yang tetap mengalami inflasi. Perlu diingat kembali bahwa inflasi/deflasi adalah kenaikan/penurunan harga secara umum.
Deflasi Lima Bulan Beruntun, Sinyal Negatif?
Indonesia tengah mengalami deflasi secara bulanan selama lima bulan berturut-turut. Deflasi terakhir—bulan September—tercatat sebesar 0,12% (month to month/mtm) dibanding bulan Agustus. Andil deflasi sendiri didominasi oleh komponen inflasi volatile food yang mengalami deflasi sebesar 1,34% (mtm). Sementara komponen inti tetap tercatat inflasi sebesar 0,16% (mtm) di tengah deflasi secara umum.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi pertanyaan paling penting adalah “deflasi beruntun ini mencerminkan kondisi ekonomi yang seperti apa?”. Mungkin beredar pertanyaan seperti ini di benak sebagian masyarakat, “kalau harga turun, bukannya bagus? harusnya bisa belanja lebih banyak dong?”
Memang, logisnya apabila harga turun, daya beli akan meningkat. Hal senada juga datang dari Sri Mulyani yang menganggap deflasi yang terjadi adalah hal yang positif . Sri Mulyani menyatakan bahwa deflasi—terutama harga pangan—memiliki dampak positif karena masyarakat dapat membeli dengan harga yang lebih murah. Namun, tunggu dulu. Kita harus lebih kritis dengan menelisik penyebab deflasi itu sendiri. Jangan-jangan, saat ini, tidak seperti kata Sri Mulyani di mana deflasi dapat meningkatkan daya beli, melainkan penurunan daya beli lah yang terjadi sehingga menjadi penyebab deflasi.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Sri Mulyani akan benar apabila penurunan harga disebabkan hal-hal seperti peningkatan produksi, adanya efisiensi biaya produksi, ataupun penguatan rupiah, sehingga daya beli masyarakat meningkat karena terjadinya penurunan harga akibat supply side di tengah pendapatan masyarakat yang tetap. Namun, daya beli masyarakat sendiri tidak nampak mengalami peningkatan.
Salah satu indikasi penting datang dari pernyataan Bank Indonesia yang meminta masyarakat untuk lebih banyak belanja . Hal ini mengindikasikan adanya penurunan daya beli masyarakat sehingga perlu himbauan untuk spending lebih banyak. Yang menjadi pertanyaan, apakah masyarakat menahan belanja karena menunggu harga-harga lebih murah lagi atau memang karena kesulitan finansial?
Karena andil deflasi paling tinggi berasal dari komponen volatile food, artinya asumsi bahwa masyarakat menahan untuk tidak belanja karena menunggu harga lebih murah menjadi tidak valid. Orang tidak akan menunggu harga turun untuk membeli beras dan bahan pangan lain karena itu kebutuhan sehari-hari. Artinya, lebih kuat indikasi bahwa daya beli menurun akibat kesulitan finansial seperti turunnya pendapatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Indikasi ini semakin diperkuat dengan data banyaknya jumlah PHK pada tahun ini. Menurut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) kasus PHK hingga saat ini mencapai 52.993 orang. Bahkan jumlah kelas menengah menurun drastis dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Artinya, ada sekitar 9,48 juta orang yang keluar dari kategori kelas menengah dan turun ke kategori yang lebih rendah.
Banyak juga orang yang akhirnya beralih ke sektor informal seperti ojek online, yang mana ojek online sendiri sedang menjerit akibat penghasilan yang sedikit. Beralih ke sektor informal seperti ojek online tentunya dapat menurunkan daya beli, apalagi berdasarkan penelitian CELIOS (2024) sebanyak 50% responden driver ojol hanya mendapatkan penghasilan Rp50 ribu-Rp100 ribu per hari—tidak ada jaminan pula untuk bisa mendapatkan penghasilan di atas UMR.
ADVERTISEMENT
Bahkan untuk kondisi deflasi beruntun saat ini, banyak kelas menengah ke bawah yang harus memakai uang tabungannya untuk belanja. Istilahnya maktab—makan tabungan. Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, mengamini bahwa tingkat tabungan kelas menengah terus turun . Direktur BCA—Santoso—juga mengatakan bahwa rata-rata saldo tabungan kelas menengah relatif tidak tumbuh bahkan cenderung lebih rendah dalam enam bulan terakhir. Sebuah kondisi yang mengkhawatirkan di mana tabungan justru terus terkuras di tengah deflasi lima bulan beruntun.
Berbagai indikasi tersebut diperkuat juga dengan indikator yang mencerminkan aktivitas industri yaitu Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur. PMI Manufaktur Indonesia anjlok dari Maret 2024 sebesar 54,2 ke angka 49,2 pada September 2024. Angka di bawah 50 menunjukkan perekonomian berada pada level kontraksi. PMI Manufaktur yang rendah sendiri juga mencerminkan permintaan terhadap produk yang cenderung rendah dan dapat berdampak negatif pada perekonomian termasuk tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kenaikan inflasi inti di tengah deflasi yang terjadi di volatile food dan administered price juga perlu disorot karena dapat menjadi sinyal akan sesuatu yang cukup mencekam. Kenaikan inflasi inti sendiri salah satunya disumbang oleh kenaikan kelompok pengeluaran pendidikan. Artinya, ada indikasi bahwa masyarakat menahan atau mengurangi belanja makanannya untuk dapat membiayai pendidikan misalnya.
Deflasi yang beruntun seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah, bukannya malah menganggap hal yang biasa atau bahkan berusaha menampilkan sisi positifnya. Kita tidak perlu untuk menjadi ekonom hebat untuk mengetahui gentingnya kondisi ekonomi saat ini. Cukup pikirkan saja bahwa bahkan dalam kondisi harga-harga yang terus turun, masyarakat masih kesulitan untuk belanja hingga makan tabungan.