Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Resesi Dunia Dimulai dari Jerman?
3 September 2019 4:09 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Rayhan Naufal Hibatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kabar buruk datang dari ekonomi terkuat di Eropa, Jerman. Ekonomi Jerman mengalami kontraksi sebesar 0,1 persen di quarter terakhir. Kontraksi ekonomi adalah satu fase di mana siklus bisnis berada dalam ekonomi yang menurun. Jika kondisi ini terus berlanjut maka jerman akan mengalami technical recession. Technical recession adalah kondisi yang dialami sebuah negara ketika mengalami kontraksi selama dua kuartal berturut-turut.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, data dari Gesellschaft für Konsumforschung (GfK) menunjukkan bahwa sentimen konsumen berada di titik terendah selama 28 bulan terakhir. Kepercayaan bisnis di Jerman juga turun ke titik terendah selama 7 tahun terakhir, yaitu ke titik 94,3. Meskipun angka pengangguran saat ini masih rendah, hal ini bisa berubah setelah adanya resesi.
Beberapa ekonom memperkirakan bahwa Jerman yang diambang resesi. Dan kondisi Deutsche Bank sebagai bank terbesar di Jerman yang sedang diambang kehancuran dengan mem-PHK 18 ribu karyawannya di seluruh dunia, dan keluar dari bisnis equity global dapat menjadi kejadian awal resesi dunia yang disebabkan oleh perang dagang US-China. Di segmen kali ini saya akan membahas tiga faktor kenapa Jerman akan jatuh ke resesi.
ADVERTISEMENT
1. Perlambatan bisnis manufaktur dunia dan kondisi Politik Eropa yang tidak stabil.
Ekonomi Jerman sangat bergantung pada sektor manufaktur. Menurut Andrew Kenningham, seorang ekonom senior dari capital economics, 47 persen ekonomi Jerman bersumber dari kegiatan manufaktur. Dengan penurunan permintaan dari Amerka Serikat (AS) dan China, membuat ekspor mesin-mesin Jerman menurun.
Di sektor otomotif, kondisi ekspor Jerman juga sedang terpuruk dan turun sebesar 13 persen yang disebabkan kondisi politik yang tidak stabil di Eropa sendiri terutama Brexit. Perlu diketahui bahwa 27 persen ekspor Jerman ke UK adalah otomotif. Brexit sebenarnya sempat membawa berkah bagi Jerman sebelum Mei 2019, karena perusahaan-perusahaan di UK berusaha untuk mengisi inventori mereka sebelum deadline brexit pertama di 29 Mei 2019.
ADVERTISEMENT
Dengan gagalnya UK keluar dari EU pada deadine awal, membuat impor dari UK terhadap Jerman berkurang, karena perusahaan-perusahaan di UK sudah mengisi penuh cadangan mereka. Selain itu, dengan terpilihnya Boris Johnson sebagai Perdana Menteri UK yang sepertinya akan memilih hard exit bagi UK dengan no trade deal dapat memicu penurunan Gross Domestic Product (GDP) Jerman sebanyak 2,5 persen.
2. Turunnya consumer spending
Melihat kondisi ekonomi Jerman yang sedang mengalami kesulitan, konsumen memilih untuk lebih berhati-hati membelanjakan uangnya, dan lebih memilih untuk menabung uangnya di bank. Hal ini memicu perlambatan pasar. Savings rate pun naik menjadi 10,5 persen. (savings rate adalah rasio jumlah uang yang ditabung oleh individu dari pendapatan mereka). Sebagai perbandingan, personal savings rate di US hanya sebesar 8 persen.
ADVERTISEMENT
3. Tidak banyak yang bisa dilakukan
Biasanya, ketika akan menghadapi resesi, bank sentral akan menerapkan beberapa kebijakan seperti menurunkan suku bunga dan pemotongan pajak.
Bloomberg melaporkan bahwa Jerman akan memotong corporate tax sebesar 25 persen, dan sedang merencanakan untuk melakukan pemotongan pajak penghasilan untuk menstimulasi spending. Akan tetapi, efek dari kebijakan ini masih debatable di kalangan ekonom, melihat rendahnya consumer spending.
Selain itu, interest rate dari European Central Bank (ECB) sebagai Bank Sentral Eropa yang sudah di angka -0.4 persen, membuat langkah yang biasa dilakukan bank sentral menurunkan bunga untuk menghadapi resesi menjadi tidak berarti lagi.
Itulah tiga faktor yang membuat Jerman akan jatuh ke resesi pada 2019 ini. Semoga imbasnya tidak mengenai Indonesia dengan parah.
ADVERTISEMENT