Konten dari Pengguna

Mengambil yang Baik?

Chris Wibisana
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Kontributor Reguler Tirto.ID. Humanis. Sosialis Demokrat.
19 Februari 2022 7:48 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chris Wibisana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Optimisme-Pesimisme (Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Optimisme-Pesimisme (Getty Images)
ADVERTISEMENT
ANDA tentu tidak asing dengan petuah satu ini: ambillah yang baik, buanglah yang buruk. Ungkapan yang membungkusnya saja yang ada bermacam-macam. Salah satu yang sering digunakan para motivator, misalnya, melihat sisi positif dari segala sesuatu, berpikir positif dalam segala situasi, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sebagian orang menyebut petuah itu berguna untuk membangkitkan seseorang dari pesimisme, menemukan harapan di balik keputusasaan yang mendera, atau menjadikan kesalahan sebagai pelajaran. Dalam istilah yang makin jamak digunakan dalam kebangkitan populisme Islam sejak awal abad ini, "Segala sesuatu ada hikmahnya".
Tanpa harus sibuk memperdebatkan arti filosofis "baik/buruk", petuah "ambil yang baik" sudah memiliki implikasi yang saling bertentangan. Ia mengajak orang menerima kenyataan yang, katakanlah, tidak sesuai harapan di satu sisi, tetapi di sisi lain, ia pun memanipulasi keadaan dengan mengajak orang berpaling dari realitas buruk, mengubah persepsi, dan berharap dapat menemukan sisi lain sebuah kecelakaan.
Pertanyaan mendasar yang sebenarnya harus diajukan bukan mampu atau tidak kita menemukan kebaikan di antara keburukan, tetapi lebih mendasar: apakah setiap "keburukan" memiliki "kebaikan", sekalipun itu terselubung? Dengan kata lain, benarkah setiap kecelakaan seketika berubah menjadi blessing in disguise, hanya apabila dilihat dari sisi lain?
ADVERTISEMENT
Saya mau memberi contoh untuk mengajukan hipotesis atas pertanyaan itu:
Pada 2014, Indonesia merayakan kemenangan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang terpilih resmi dalam satu putaran Pemilihan Umum 2014. Ada harapan besar yang diemban pasangan calon yang diusung Koalisi Indonesia Hebat itu.
Karenanya, menjadi wajar jika kemenangan JKW-JK membawa optimisme yang menyilaukan. Sederhananya, ia adalah optimisme yang membuat orang berhenti bertanya. Lima puluh empat persen rakyat Indonesia yang memilih pasangan ini pun merapatkan barisan di belakang sang pemimpin baru dengan harapan berseri-seri tentang hari depan tanah air yang lebih baik. Keterpesonaan itu menembus sekat: politikus daerah dan nasional, akademisi, seniman, pegiat media sosial, hingga aktivis ornop dan aktivis HAM paling kritis sekalipun.
Deklarasi kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, 9 Juli 2014 (Foto: TEMPO/Imam Sukamto)
Beberapa tahun kemudian, obor optimisme itu masih menyala, meski tidak sebesar saat pertama kali disulut. Yang menjaga nyala obor itu, tidak lain adalah orang-orang yang silau dan terpesona terus-menerus saat disuguhi agregasi angka-angka capaian pemerintah: sekian puluh bandar udara, sekian puluh pelabuhan, sekian belas bendungan, beribu kilometer jalan aspal.
ADVERTISEMENT
Oleh orang-orang yang terpesona inilah, "prestasi" pembangunan fisik itu dipompa sebagai bahan bakar untuk sebuah optimisme hari depan. Produk infrastruktur fisik yang tadinya menjadi program strategis, kini menjadi komoditas politik, dan berangsur-angsur menjadi materi propaganda dan mantra politik. Mereka yang semula skeptis, perlahan ikut terpesona dengan ragam kemungkinan indah yang ditawarkan hadirnya infrastruktur itu. "Pokoknya," kata mereka, "semua ini untuk kesejahteraan rakyat, kebahagiaan, dan kemakmuran seluruh bangsa."
Begitu dahsyatnya mantra politik itu, hingga sang empunya proyek menjadi semakin agresif membombardir ruang publik dengan slogan-slogan pembangunan seperti "Indonesia Emas", "Industri 4.0", dan yang mulai populer belakangan ini, "Pembangunan Berkelanjutan". Tanpa sadar, bisa jadi kita membeo slogan-slogan itu dalam percakapan sehari-hari, maupun menanamnya sebagai kesadaran baru dan preferensi kita.
ADVERTISEMENT
Slogan paling dahsyat di antaranya, misal, "Membangun Infrastruktur adalah Membangun Peradaban"—sebuah slogan yang mencipratkan lumpur ke muka para pemikir, seniman, intelektual, agamawan, dan siapa saja yang berdiri di pinggir proyek-proyek itu. Peranan mereka seketika hanya tinggal ornamen di tengah kemilau infrastruktur serba baru yang direalisasikan penguasa. Semua dipaksa tunduk pada kehendak pembangunan fisik. Sekali lagi, fisik.
Tentu, seperti panggung pementasan seumumnya, akrobat slogan dan mantra politik serta goda-goda infrastruktur besar tersebut hanyalah etalase. Di balik jor-joran itu, ada kenyataan yang harus dibayar demi pembangunan: politik pecah belah yang dimainkan lihai di dunia maya; Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang makin canggih sebagai alat pembungkaman; korupsi yang tinggi dan makin mudah diakali; hingga integritas pejabat di lingkaran satu kekuasaan yang makin tipis, diamplas kepentingan jejaring bisnis yang dilicinkan jabatan publik.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, keadaan hancur-hancuran itu tidak perlu diambil pusing. Optimisme menjadi kunci. Kita diajak mengambil yang baik. Membiarkan apa yang ada di belakang panggung itu tetap di belakang panggung, seolah tidak terjadi apa-apa. Konon, ada musuh yang tidak terlihat dan harus dihadapi lebih dulu. Dengan ilusi itu, meski bayaran di belakang panggung sangat mahal untuk simsalabim pembangunan, kita memberikan sang aktor kepercayaan untuk bermain satu kali lagi.
Segerobak klaim memang bisa disodorkan. Sekarang, kata mereka yang masih terpesona, rakyat telah menikmati infrastruktur besar-besaran itu. Akses ke seluruh pelosok tanah air, konon lebih mudah dan nyaman. Rakyat, kabarnya, berbahagia. Sang aktor pun jadi malu-malu buaya saat diminta manggung untuk ketiga kalinya.
ADVERTISEMENT
Untuk menyelamatkan muka, sang aktor menegaskan tidak mau. Alasannya, manggung tiga kali berpotensi mengkhianati amanat Reformasi. Retorika penolakan yang wajar. Bukankah diktator terbesar yang pernah memimpin negeri ini juga menolak dicalonkan kesekian kalinya, tetapi ujung-ujungnya mengambil sumpah jabatan karena daripada rakyat, konon, menghendaki jabatannya diampuh sekali dan sekali lagi?
Mengambil yang Baik?
Dengan pemusatan kekuasaan pada orang-orang yang itu-itu saja (istilah beken dalam disiplin ilmu sosial, namanya konvergensi), tahun ketujuh kekuasaan yang sudah berjalan empat bulan perlahan mulai membasuh bedak putih di wajah sang aktor. Dosis opium yang sempurna membuat pembasuhan itu tidak disadari. Kita tetap akan menikmati akrobat, bukan?
Alhasil, optimisme tetap menyala, meski dilandasi kekosongan yang rapuh meski terlihat kokoh. Pendek kata, sehitam apapun coreng di wajah penguasa, selama kita bisa mengambil yang baik, yang hitam pun bisa disebut putih. Malah, boleh jadi, demi keterpesonaan pada sang aktor, kita menggugat arti hitam dan putih. Krisis kepercayaan bisa ditangguhkan. Kritik-kritik dan seruan moral bisa diabaikan. Anggap saja kaleng rombeng yang tidak sengaja tersepak langkah. Tak ada yang perlu dikhawatirkan untuk republik yang konon sudah menginjak serambi menjadi negeri gemah ripah loh jinawi.
ADVERTISEMENT
Di tengah ingar-bingar optimisme yang menyilaukan, capaian pembangunan yang dipompa terus-menerus, dan akrobat slogan yang memabukkan, bisakah kita menepi sejenak dari semua ini? Sekadar menenggak air tawar dan mencuci muka, paling tidak sampai kesadaran kembali dan penghormatan kepada akal budi dan hati nurani dikembalikan sesuai kedudukannya?
Barangkali sulit. Apalagi kalau kita harus menyibak tabir di balik panggung kekuasaan yang gemerlapan untuk sekadar menemukan ketidakadilan sebagai bayaran mahal sebuah atraksi politik yang melecehkan akal sehat dan menista integritas pribadi. Kita tidak mau berhenti menikmati optimisme dan "kebaikan" penguasa yang selama ini sudah kita sedot bersama-sama. Menerima keadaan dengan mata terbuka dan kesadaran penuh dianggap dapat merusak jalannya acara.
Pilihan untuk terjaga sadar dan menerima kepahitan atau tetap mabuk dalam keterpesonaan sepenuhnya ada di tangan. Dan kita memilih yang kedua. Konon, demi kebaikan bersama, sejarah sekalipun bisa kita pilih yang baik dan kita buang yang buruk, meski sejatinya selalu berakhir dengan upaya yang gagal dan terbalik-balik.
ADVERTISEMENT
Contohnya banyak. Kita mengambil kerumitan birokrasi beambtenstaat Hindia Belanda, tetapi membuang efisiensinya. Kita mengambil kekejaman, keangkuhan, dan kesewenang-wenangan militer Jepang pada orang tidak bersenjata, tetapi menggunting disiplin dan membuangnya ke tong sampah. Alhasil, birokrasi yang rumit dan aparatur yang angkuh saja yang kita punyai dan dengan bangga kita pelihara
Kita selalu ingin mengambil yang baik dan membuang yang buruk, sejatinya karena kita selalu gagal menerima segala sesuatu secara utuh, kebaikannya beserta keburukannya. Egoisme yang selektif menjadikan kita enggan menerima atraksi kekuasaan yang meriah berikut ketidakadilan dan perampasan yang dilakukannya untuk menegakkan kekuasaan itu. Kita ingin mengambil yang baik, ingin menikmati sesuatu dari pembangunan serba dahsyat dan mengagumkan, tetapi membebankan ongkosnya pada orang lain.
ADVERTISEMENT
Barangkali, sesudah riuh-rendah ini berlalu, sekolah dasar kita harus menambah satu lagi mata pelajaran tentang tanggung jawab sebagai warga negara untuk tidak hanya terpesona pada atraksi politik, tetapi juga menggunakan akal sehat dan hati nurani untuk melihat kaki-kaki kekuasaan yang berlumpur sebagai sesuatu yang pahit, tetapi sesungguhnya ada dan sepenuhnya bernyawa.